Mohon tunggu...
Poe Three
Poe Three Mohon Tunggu... Arsitek - citizen of the world

Keep Calm and Write It On..

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Buku "Berani Tidak Disukai" Karya Ichiro Kisimi dan Fumitake Koga

17 April 2020   12:12 Diperbarui: 9 April 2021   09:42 5569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kishimi & Koga | berani tidak disukai | 2020 | dok. Gramedia Pustaka Utama | ISBN : 978-602-06-3321-3 | Cetakan Ketiga | hal 323 | Self-Improvement

Filosofi Adler

Alfred Adler adalah seorang filsuf abad 19 yang mengemukakan filsafat tentang bagaimana manusia sebaiknya menjalani hidupnya. Sampai disini mungkin Adler tidak berbeda dengan filsuf-filsuf lainnya yang banyak merenungkan hal yang sama. Tapi buku ini akan khusus membahas tentang teori Adler, yang saya rasa banyak mengadopsi filsafat Socrates (sedikit banyak membandingkan juga dengan teori Sigmund Freud), dan bagaimana kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Gaya penyampaian buku ini cukup berbeda dari buku kebanyakan. Dari awal sampai akhir buku ini berisi dialog antara seorang filsuf dengan seorang pemuda yang punya kecenderungan depresi, denial, keras kepala. Maksud penulis mungkin agar buku ini lebih to the point dalam menguraikan poin-poin yang dibahas.

Berani Tidak Disukai

Manusia secara umum selalu ingin disukai, ini hal yang wajar. Namun, menurut Adler, hal ini yang umumnya menjadi sumber ketidakbahagiaan seseorang. Singkatnya, kita tidak seharusnya melakukan sesuatu karena ingin diakui/disukai oleh orang lain, namun kita melakukan sesuatu karena memang sudah sewajarnya dan seharusnya kita berkontribusi sebagai bagian dari masyarakat. Itu tugas kita sebagai individu. Bagaimana kita dinilai itu tugas yang menilai, yang sepenuhnya diluar kekuasaan kita. Bahkan ketika itu berarti kita jadi tidak disukai oleh orang lain.

Mengenai pembagian tugas dan kontribusi ini yang seharusnya bisa menjadi panutan kita untuk merasa bahagia. Menjadi berguna bagi sosial (tidak hanya sosial manusia tapi alam secara luas), dan mengakui kontribusi atau tugas orang lain. Karena pada dasarnya kita semua adalah kawan seperjuangan dalam hidup, bukan musuh.

Percaya, atau Yakin?

Bagaimana kita bisa menganggap orang lain sebagai kawan dan bukan lawan? Karena pastinya dalam hidup kita ga selalu bertemu dengan orang-orang baik kan? Disinilah perlunya 'keyakinan', tidak hanya 'percaya'. Bedanya, percaya itu harus didasari oleh sesuatu, misalnya saya percaya dia karena dia baik pada saya. Namun yakin itu unconditionally. Yakin berarti tidak perlu bukti apapun, tapi kita juga tidak ragu sedikitpun.

Let me put it this way : 'Percaya' itu lihat dulu, baru kita bisa percaya. Kalau 'Yakin' kita harus yakin dulu, baru kita akan diperlihatkan. Bukan bermaksud religius tapi ini mengingatkan saya akan konsep keimanan dalam agama. Faith in a greater good. Di sisi lain, segala ilmu apapun (termasuk filsafat) memang pada dasarnya harus mendekatkan kita pada Tuhan juga, bukan? I personally believe so.

Konsep percaya dan yakin ini diterjemahkan ke istilah aetiologi (sebab-akibat, identik dengan konsep 'percaya' karena...), yang dipopulerkan oleh Freud, dan teleologi (fokus pada tujuan, identik dengan yakin) oleh Adler. 

Apa tujuan kita?

Bahagia? Maka segala tindakan dan pikiran kita harus fokus dan yakin untuk menjadi bahagia, terlepas bagaimana orang menilai kita, di level ekstrimnya bahkan ketika orang lain menyakiti atau menjahati kita.

Sekilas hal ini seperti sikap tidak mau peduli. Hedon. Egois. Bahkan Naif. Tapi buku ini terus menerus mengingatkan bahwa kita bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan tidak bisa hidup sendiri. Jadi, walaupun memiliki kebebasan untuk bertindak bukan berarti kita boleh serampangan terhadap makhluk lain. Karena itu berarti mengingkari tugas kita. Disini kalimat "Manusia sebagai Khalifah di muka bumi" terus terngiang-ngiang di kepala saya.

Segala yang terjadi dalam hidup kita pada dasarnya tidak bermakna positif maupun negatif, tapi kita sendiri yang memberi makna pada kehidupan kita. Jadi keputusan untuk menjadi bahagia mestinya tidak tergantung pada orang lain, tapi sepenuhnya keputusan kita sendiri.

Jika orang lain jahat terhadap kita bagaimana? Ada satu paragraf di buku ini yang menjelaskan bahwa sebaik-baiknya kita pasti ada saja yang tidak suka pada kita. Dari 10 orang, 1 orang akan menjadi musuh kita, 2 orang akan menjadi teman kita, dan 7 orang lainnya akan bersikap sama saja. Pertanyaannya kita mau fokus ke yang mana? Dalam konteks ingin bahagia tentunya.

Overall

Buku yang seru untuk penikmat genre non-fiksi. Saran saya pribadi, buku ini akan lebih mudah dipahami (dan dinikmati) jika sebelumnya kita punya gambaran tentang filosofi Stoisisme atau Socrates. Namun, diluar itu pun buku ini tetap menyegarkan untuk dibaca.

See you at my next review.

Happy reading and lets get inspired!

My Overall Rating : 4/5 stars

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun