Filosofi Adler
Alfred Adler adalah seorang filsuf abad 19 yang mengemukakan filsafat tentang bagaimana manusia sebaiknya menjalani hidupnya. Sampai disini mungkin Adler tidak berbeda dengan filsuf-filsuf lainnya yang banyak merenungkan hal yang sama. Tapi buku ini akan khusus membahas tentang teori Adler, yang saya rasa banyak mengadopsi filsafat Socrates (sedikit banyak membandingkan juga dengan teori Sigmund Freud), dan bagaimana kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Gaya penyampaian buku ini cukup berbeda dari buku kebanyakan. Dari awal sampai akhir buku ini berisi dialog antara seorang filsuf dengan seorang pemuda yang punya kecenderungan depresi, denial, keras kepala. Maksud penulis mungkin agar buku ini lebih to the point dalam menguraikan poin-poin yang dibahas.
Manusia secara umum selalu ingin disukai, ini hal yang wajar. Namun, menurut Adler, hal ini yang umumnya menjadi sumber ketidakbahagiaan seseorang. Singkatnya, kita tidak seharusnya melakukan sesuatu karena ingin diakui/disukai oleh orang lain, namun kita melakukan sesuatu karena memang sudah sewajarnya dan seharusnya kita berkontribusi sebagai bagian dari masyarakat. Itu tugas kita sebagai individu. Bagaimana kita dinilai itu tugas yang menilai, yang sepenuhnya diluar kekuasaan kita. Bahkan ketika itu berarti kita jadi tidak disukai oleh orang lain.
Mengenai pembagian tugas dan kontribusi ini yang seharusnya bisa menjadi panutan kita untuk merasa bahagia. Menjadi berguna bagi sosial (tidak hanya sosial manusia tapi alam secara luas), dan mengakui kontribusi atau tugas orang lain. Karena pada dasarnya kita semua adalah kawan seperjuangan dalam hidup, bukan musuh.
Percaya, atau Yakin?
Bagaimana kita bisa menganggap orang lain sebagai kawan dan bukan lawan? Karena pastinya dalam hidup kita ga selalu bertemu dengan orang-orang baik kan? Disinilah perlunya 'keyakinan', tidak hanya 'percaya'. Bedanya, percaya itu harus didasari oleh sesuatu, misalnya saya percaya dia karena dia baik pada saya. Namun yakin itu unconditionally. Yakin berarti tidak perlu bukti apapun, tapi kita juga tidak ragu sedikitpun.
Let me put it this way : 'Percaya' itu lihat dulu, baru kita bisa percaya. Kalau 'Yakin' kita harus yakin dulu, baru kita akan diperlihatkan. Bukan bermaksud religius tapi ini mengingatkan saya akan konsep keimanan dalam agama. Faith in a greater good. Di sisi lain, segala ilmu apapun (termasuk filsafat) memang pada dasarnya harus mendekatkan kita pada Tuhan juga, bukan? I personally believe so.
Konsep percaya dan yakin ini diterjemahkan ke istilah aetiologi (sebab-akibat, identik dengan konsep 'percaya' karena...), yang dipopulerkan oleh Freud, dan teleologi (fokus pada tujuan, identik dengan yakin) oleh Adler.Â
Apa tujuan kita?
Bahagia? Maka segala tindakan dan pikiran kita harus fokus dan yakin untuk menjadi bahagia, terlepas bagaimana orang menilai kita, di level ekstrimnya bahkan ketika orang lain menyakiti atau menjahati kita.
Sekilas hal ini seperti sikap tidak mau peduli. Hedon. Egois. Bahkan Naif. Tapi buku ini terus menerus mengingatkan bahwa kita bagian tak terpisahkan dari masyarakat, dan tidak bisa hidup sendiri. Jadi, walaupun memiliki kebebasan untuk bertindak bukan berarti kita boleh serampangan terhadap makhluk lain. Karena itu berarti mengingkari tugas kita. Disini kalimat "Manusia sebagai Khalifah di muka bumi" terus terngiang-ngiang di kepala saya.
Segala yang terjadi dalam hidup kita pada dasarnya tidak bermakna positif maupun negatif, tapi kita sendiri yang memberi makna pada kehidupan kita. Jadi keputusan untuk menjadi bahagia mestinya tidak tergantung pada orang lain, tapi sepenuhnya keputusan kita sendiri.