Pemilihan Umum 2019 telah berakhir. Pemenangnya sudah ditentukan oleh KPU. Langkah pamungkas melalui MK sudah ditempuh. Tinggal satu langkah lagi untuk memungkaskan proses panjang yang melelahkan itu: pelantikan Presiden dan Wakil Presiden beserta para anggota DPR, DPRD, dan DPD terpilih.Â
Saya rasa Pemilu kali ini adalah rangkaian pesta demokrasi NKRI yang paling menguras energi bangsa, memantik sentiment dan polarisasi yang paling tajam di antara anak bangsa, serta memunculkan banyak sekali pembelajaran yang sangat berharga yang pada pemilu sebelumnya tidak pernah terfikirkan ada.
Singkatnya, Pemilu kali ini sungguh sangat menyebalkan.
Sebut saja penggunaan Media Sosial yang semakin massif sebagai sarana kampaye. Meskipun pemilu sebelumnya penggunaan media sosial sudah dimanfaatkan, namun di pemilu tahun ini semburan informasi yang sangat deras melalui media sosial demikian kuat.Â
Dan yang menjadi bintang dari semua derasnya informasi itu sudah jelas: Hoax atau informasi menyesatkan. Info hoax tentang pasangan calon presiden (paslon) menyembur deras dalam kanal media sosial, bahkan info-info busuk ini mengontaminasi layanan perpesanan digital seperti Whatsapp yang sangat banyak penggunanya di Indonesia. Bisa jadi banyak keluarga Indonesia yang terpecah belah gara-gara WA group.
Belum lagi banyaknya buzzer (pemegang akun media sosial yang memiliki pengikut sangat banyak yang dibayar---kadang lebih banyak yang tidak dibayar alias sukarela---untuk tujuan tertentu) yang turut menggelontorkan informasi-informasi yang menyesatkan hingga yang bersifat rasis sekalipun.Â
Yang tak kalah mencengangkan, akun-akun media sosial yang dikontrol oleh algoritma tertentu (robot atau biasa disngkat bot) ikut 'mencemari' jejak-jejak digital tersebut.
Di satu sisi, maraknya dunia digital selama tahun politik memberi gambaran yang menarik untuk kita kepo-in. Beragam informasi yang diproduksi bisa menjadi gambaran besar tentang konstelasi pemilu 2019 (kalau tidak mau disebut carut marut).
Tapi di sisi lain, jejak digital yang ada banyak sekali tercemari oleh hoax dan akun media sosial yang 'mengendalikan' informasi, seolah di antara mereka berlomba-lomba berusaha 'menguasai' area digital yang diharapkan bisa mempengaruhi netizen dalam menentukan pilihan politiknya. Bahasa kasarnya, tagar sampah bertebaran dimana-mana.
Hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan krusial bagi saya secara pribadi: bagaimana sesungguhnya yang terjadi dalam fikiran publik selama Pemilu 2019? Apakah mereka sudah memiliki pilihan sendiri atau masih belum menentukan pilihan sama sekali? Bagaimana kita bisa memprediksi pilihan publik melalui jejak digital yang ditinggalkannya?
Mari kita coba jawab.
Metode Pengumpulan Data
Tiga pertanyaan itu terus terang akan sangat sulit dijawab apabila basis datanya adalah media sosial yang sudah demikian chaotic selama Pemilu 2019. Namun ada sumber data terbuka lainnya yang bisa menjadi acuan dalam menjawab tiga pertanyaan tadi dan sumber data ini sangat kredibel: Google.
Mengapa Google? Jawabannya sederhana: hampir semua pertanyaan yang kita cari ada di Google. Kadang pertanyaan-pertanyaan konyol sering sekali coba kita tanyakan.Â
Dan percayalah, Google selalu bisa menyediakan sejumlah jawaban alternatif yang bisa kita pilih. Mulai dari pertanyaan 'cara beternak lele' hingga pertanyaan absurd macam 'bagaimana hidup tanpa mantan'.
Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan tentang politik. Seringkali kita berusaha mencari jawaban atau mencari tahu latar belakang calon presiden atau calon wapres melalui Google.Â
Tidak hanya itu, kadang juga kata-kata kunci pencarian yang kita ketikkan bisa sangat jelas menunjukkan preferensi pilihan politik kita tanpa disadari. Yang menakjubkannya lagi, kita cenderung menjadi 'lebih jujur' kepada Google karena sifatnya yang anonym tanpa ada siapapun yang tahu apa yang kita ketik.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Seth Stephens-Davidowitz dalam bukunya yang sangat provokatif 'Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Can Tell Us about What We Really Are'.Â
Seth Stephens yang pernah bekerja di Google sebagai Data Scientist mengatakan bahwa jejak-jejak yang ditinggalkan dalam mencari informasi dan pengetahuan di internet menyingkap banyak sekali hal.
Kata dia, pencarian informasi yang dilakukan adalah merupakan bentuk informasi tersendiri. Kapan dan dimana mereka mencari fakta, kutipan, lelucon, tempat, orang, benda, atau bantuan ternyata bisa memberi tahu kita banyak hal tentang apa yang sesungguhnya mereka fikirkan, yang sesungguhnya mereka inginkan, yang sesungguhnya mereka takutkan, dan yang sesungguhnya mereka kerjakan lebih daripada yang bisa kita duga.
Begitu juga dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2019. Saya percaya Google masih menjadi tempat 'bertanya' dan 'menumpahkan' perasaan publik terhadap perhelatan pesta demokrasi 5 tahunan itu.Â
Asumsi saya, ketika derasnya informasi---baik yang hoax maupun yang bukan---menghujam media sosial sehingga membuat jenuh dan jengah masyarakat, maka sebagian dari mereka akan mengalihkan pencarian kepada sumber informasi yang lebih terkontrol dan terpercaya. Google adalah salah satu pilihan logis tersebut.
Dari sinilah saya coba mengorek dan menganalisis sejumlah jejak digital berupa kata-kata kunci pencarian mengenai Pemilu 2019. Saya menggunakan Google Trends yang sangat membantu dalam mengumpulkan sejumlah kata kunci yang diperlukan.Â
Untuk meningkatkan akurasi data, saya batasi hasil pencarian dari tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan tanggal 16 April 2019, sehari sebelum hari pencoblosan. Kata kunci pencarian pun saya batasi hanya untuk kata kunci yang terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Analisis dan Interpretasi
Langkah pertama adalah mencari tahu data pergerakan pencarian kata kunci  'Jokowi' dan 'Prabowo'. Hasilnya sebagai berikut:
Data ini menunjukkan bahwa kata kunci 'prabowo' adalah kata kunci yang paling banyak dicari dibanding 'jokowi'. Apakah itu menunjukkan bahwa lebih banyak yang menunjukkan preferensi untuk memilih Prabowo? Masih terlalu dini untuk disimpulkan.Â
Mengetik nama orang bukan berarti dia suka dengan yang bersangkutan. Bisa jadi karena benci, penasaran, atau mencari informasi tentang orang yang berbeda dengan nama yang sama.
Tapi kalau dilihat dari sebarannya, pencarian terhadap dua kata kunci itu semakin meningkat menjelang hari pencoblosan. Ini menunjukkan bahwa pada awal tahun publik belum begitu intens mencari informasi tentang Capres dan Cawapres, dan baru dilakukan secara intens beberapa hari sebelum pencoblosan.Â
Ini seharusnya menjadi petunjuk yang bagus bagaimana para manajer kampanye bisa memaksimalkan eksposur media sosial maupun media online lainnya pada hari-hari akhir masa kampanye.
Ada yang menjadi perhatian ketika terdapat lonjakan pencarian kata kunci 'prabowo' pada tanggal 14 dan 15 Januari 2019. Hal ini bisa dipahami karena pada tanggal 14 Januari adalah hari dimana capres nomor 02 melakukan Pidato Kebangsaan di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat. Di sisi ini, kubu pasangan 02 berhasil memantik perhatian publik dan itu bisa dilihat dari lonjakan pencarian di tanggal tersebut.
Sedangkan lonjakan besar pada tanggal 17 dan 18 Januari 2019 saya rasa tidak mengherankan karena pada tanggal 17 Januari merupakan hari dimulainya Debat Capres pertama. Sekali  lagi, kata kunci 'prabowo' adalah kata kunci yang paling banyak dicari ketimbang kompetitornya.Â
Dugaan saya, starting point di tanggal 14 Januari adalah kuncinya. Pidato Kebangsaan Prabowo berhasil mendorong publik memantik perhatian yang intens.
Teknik ini juga digunakan pada tanggal 2 Februari 2019 yang mana pada tanggal tersebut terjadi lonjakan minor. Pada tanggal tersebut, Relawan Prabowo melakukan aksi memutihkan jalan Ibu Kota DKI Jakarta yang bertajuk Jalan Sehat dan Reuni Akbar sebagai bentuk kampanye dukungan terhadap pasangan Prabowo - Sandiaga. Walaupun tidak sebesar sebelumnya, namun berhasil mencuri perhatian publik walau hanya sebentar.
Untuk lonjakan pada tanggal 17 dan 18 Februari 2019, proporsi kata kunci 'prabowo' dan 'jokowi' cukup berimbang. Untuk tanggal 17 kata kunci 'prabowo' mengunggul pesaingnya, sedangkan pada tanggal 18 kata kunci 'jokowi' berhasil menyalip.Â
Dari proporsi ini bisa dilihat bahwa pada Debat kedua yang dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2019, kubu pasangan 01 berhasil menarik perhatian publik dengan berani 'menyerang' Capres 02 mengenai kepemilikan lahan yang dimilikinya.
Untuk Debat ketiga, meskipun ada lonjakan minor namun itu bisa dipahami karena tidak berkaitan dengan kedua kata kunci tersebut. Untuk debat ketiga ini para calon presiden tidak melakukan debat, namun para calon wapreslah yang melakukan debat. Bisa dimengerti bila dampaknya minimal pada kata kunci pencarian tersebut.
Intensitas pencarian kedua kata kunci itu mulai meningkat signifikan ketika memasuki Debat keempat. Meskipun secara kuantitas pencarian kata kunci kalah, pencarian kata kunci 'jokowi' mengalami peningkatan cukup banyak dibanding beberapa minggu sebelumnya.Â
Nampaknya isu pertahanan Indonesia yang rapuh mampu menarik perhatian publik terhadap paslon No.02 ini. Hal ini terlihat kata kunci 'prabowo' unggul di tanggal 30 dan 31 Maret 2019.
Tensi semakin meninggi di ranah digital ketika BPN melaksanakan Kampanye Akbar Terbuka di GBK pada tanggal 7 April 2019. Hal itu bisa terdeteksi pada jejak kata kunci pencarian 'prabowo' pada tanggal tersebut yang meningkat sangat signifikan yang (lagi-lagi) mengalahkan paslon 01. Dan puncak dari panasnya pertarungan Capres Cawapres 2019 adalah pada tanggal 13 April 2019.
Paling tidak itulah yang tampak pada jejak pencarian kata kunci 'jokowi' dan 'prabowo' pada tanggal tersebut. Kata kunci 'jokowi' akhirnya mengungguli 'prabowo' setelah beberapa debat sebelumnya kata kunci 'prabowo' selalu unggul. Isu ekonomi dalam debat ini ternyata menjadi kunci kemenangan paslon No.01.Â
Yang perlu diingat bahwa pada tanggal tersebut TKN mengadakan Kampanye Akbar Jokowi-Ma'ruf di GBK yang turut mendongkrak perhatian publik terhadap paslon ini.
Lalu bagaimana dengan kata kunci Cawapres keduanya?
Apakah keunggulan dari Cawapres nomor 02 mampu mendongkrat popularitas Prabowo? Mari kita lihat:
Lalu apakah hal di atas bisa menunjukkan preferensi pilihan politik publik terhadap kedua paslon ini? Saya mencoba mengkombinasikan beberapa kata kunci yang bisa menunjukkan preferensi pilihan paslon tertentu. Yang pertama menggunakan kata kunci 'jokowi prabowo' dan 'prabowo jokowi'. Mengapa menggunakan dua kata kunci tersebut?
Menurut riset, penggunaan nama calon yang mendahulu nama calon yang lain bisa menunjukkan bagaimana preferensi terhadap nama calon tersebut. Bila nama calon yang disukai, maka nama calon tersebut ditaruh di depan atau mendahului  nama calon yang lain. Format ini yang akan saya coba terapkan untuk mengetahui preferensi yang dimaksud.
Untuk itu, saya coba menggunakan pendekatan yang lain. Saya menggunakan kata kunci 'pilih jokowi' dan 'pilih prabowo'. Terkadang publik sering kali menunjukkan kecenderungan politiknya secara langsung dalam menggunakan kata-kata pencarian di Google.Â
Seperti yang dikatakan Seth Stephens-Davidowitz, kata-kata kunci yang terekam oleh Google bisa memberi tahu kita banyak hal tentang apa yang sesungguhnya mereka fikirkan, yang sesungguhnya mereka inginkan, yang sesungguhnya mereka takutkan, dan yang sesungguhnya mereka kerjakan.
Kalau kita gali lebih lanjut dari kedua kata kunci tersebut, maka ada sejumlah hal menarik yang bisa kita lihat. Coba kita lihat kata kunci yang terkait dengan kata kunci 'pilih jokowi' dan 'pilih prabowo':
Faktor agama atau figure pemuka agama ternyata masih menjadi trigger atau pendorong publik untuk menentukan pilihan politiknya (riset yang lebih mendalam soal ini mungkin akan dibahas tersendiri).
Kesimpulan
Apa yang coba saya paparkan di sini adalah pendekatan yang berbeda dalam melihat alam fikiran publik di tahun politik ini. Dan hasil yang didapat sangat menarik untuk diamati. Mungkin hasilnya akan lebih menarik lagi apabila menambahkan sejumlah kata-kata kunci lain yang berhubungan dengan Pemilu 2019.
Sebenarnya hasilnya sudah bisa diprediksi. Pengaruh paparan media tentang informasi paslon atau kegiatan selama masa kampanye masih merupakan senjata yang efektif untuk meningkatkan ketertarikan publik.Â
Kepopuleran paslon juga ikut mendorong ketertarikan publik untuk mencari tahu informasi tentang mereka di Google. Data yang ada membuktikan hal tersebut.
Hal itu menjadi berbeda apabila bicara tentang preferensi politik publik. Data yang ada justru menunjukkan preferensi politik tidak berbanding lurus dengan popularitas. Data ini bisa jadi terlalu dini untuk menentukan pemenang Pilpres 2019.Â
Namun bagi saya data ini bisa menjadi salah satu 'quick count' alternatif yang paling cepat sembari menunggu data quick count Lembaga Survey yang membutuhkan waktu (bahkan bisa diketahui sebelum hari pencoblosan).
Berdasarkan hal itu, muncul pertanyaan baru: Mengapa popularitas paslon 02 tidak mampu mendongkrak tingkat elektabilitas dirinya? Dugaan saya, kunci kemenangan paslon 01 ada pada strategi komunikasi yang tepat pada hari-hari terakhir masa kampanye.Â
Coba diperhatikan kembali pada data-data sebelumnya. Terlihat bahwa paslon 01 mampu 'mencuri' kemenangan pada hari-hari terakhir masa kampanye dengan grafik peningkatan yang signifikan dan mengalahkan paslon 02.
Akhir kata, data-data yang ditunjukkan ini sebenarnya adalah cerminan bagaimana gambaran alam fikiran publik tentang kontestasi Pemilu 2019. Bisa jadi ini merupakan representasi masyarakat Indonesia dalam memandang para paslon capres/cawapres yang berkompetisi. Dan semua ini terekam jelas dalam jejak digital yang ditinggalkan pada sebuah platform yang tidak kita duga sebelumnya: Google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H