“ Mengharu biru hati ini melihat engkau kala itu. Mata berkaca memandang engkau terbaring lemah tak berdaya. Namun dengan tegar engkau masih berjuang menunaikan ibadah Sholat Dhuhur yang engkau jama’ dengan Ashar, yang telah ditakdirkan menjadi sholat terakhir dalam hidupmu. Pemandangan yang sangat mengharukan. Suara mesin detak jantung yang mengiringi suasana itu, seolah turut memicu detak jantung kami yang memandang. Alat medis lengkap menempel di tangan, kaki dan dadamu, ruang ICU itu menjadi saksi akan titik terendah manusia yang berjuang menjalankan ibadah terakhirnya kepada pencipta Nya… “
Perjalanan panjang dakwah ini dimulai tiga puluh empat tahun yang lalu. Tepat di Tahun 1982, seorang da’i mendapatkan tugas pertamanya di wilayah pelosok nusantara Onembute. Membabat alas dan menyebarkan risalah agama adalah tujuannya. Masa mudanya sangat berbeda dengan kaum remaja seusianya pada saat itu. Ia taat beribadah, disamping mempunyai karakter dan akhlaq yang mulia lagi bersahaja.
Dibesarkan dalam suasana pendidikan pesantren yang mengantarkannya menjadi seorang guru agama di kota kelahirannya, Lamongan Jawa Timur. Bahkan di usianya yang sangat muda, menginjak 24 tahun, ia telah ditugaskan untuk menyebarkan risalah Islam di pelosok nusantara Onembute. Menyampaikan kebaikan dan membangun awal nafas Islam di daerah pengabdian.
Onembute adalah sebuah kecamatan di wilayah terpencil di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Mungkin tidak pernah terdengar sebelumnya daerah ini di telinga kita. Memang ini bukan daerah yang penuh dengan fasilitas dan kenyamanan atau kota penuh destinasi wisata. Kondisi geografis yang cukup sulit, dikelilingi oleh perbukitan yang melingkari wilayah ini.
 Suasana pedesaan yang kental akan budayanya, jalan yang berdebu ketika kemarau namun menjadi sangat becek jika musim penghujan. Sebuah kecamatan dengan dua belas desa yang beraneka ragam sukunya.
 Suku Bugis, Tolaki, Jawa Transmigrasi dan Toraja membuat khasanah budaya daerah sangat beragam. Pun kisah seorang da’i yang berjuang puluhan tahun mengabdi kepada Allah SWT dan ummat yang nyaris tidak pernah muncul ke permukaan tak pernah terdengar di telinga kita. Namun apa yang terjadi di daerah ini begitu membuat takjub hati ini. Kedalaman kisah pejuang da’I sejati yang membuka mata hati akan kuasa Illahi. Pengorbanan dan ketulusan dalam mengabdi menyebarkan risalah Islam yang suci.
Beliau adalah Bapak Ahmad Shodiq atau biasa orang kampung memanggilnya Pak Shodiq. Awal kali dakwah beliau adalah bersama mengajak masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui pendekatan budaya yang mudah diterima. Tentunya sebagai pendatang beliau tahu dan mampu dalam menempatkan diri di masyarakat.Â
Pendekatan budaya yang luwes namun tetap sopan dalam menyampaikan dakwah yang lurus adalah kekhasan beliau. Bapak kelahiran 59 tahun yang lalu ini adalah da’i sekaligus guru yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat Onembute. Berawal dari diniyyah dan majelis ta’lim, ditemani istri tercinta yang dinikahi setahun sebelum mengabdi, Pak Shodiq mampu mengambil hati masyarakat dan dakwah beliau diterima oleh warga.
Ijin Allah turun melalui pesan dan tauladan Pak Shodiq yang akhirnya menggerakkan hati warga untuk  bersama membangun secara mandiri sekolah dengan mengutamakan pendidikan Islam. Latar belakang sebagai guru semakin mempermudah jalan dakwah beliau dalam tarbiyah. Masyarakat dengan sukarela menyumbangkan bahan bangunan, genteng dan tenaga dalam membangun tempat ibadah dan pendidikan. Pendekatan kultural yang dibangun lebih dari sepuluh tahun telah meyakinkan masyarakat akan pentingnya pendidikan agama.
 Sehingga pada 14 Juli 1994 lahirlah secara resmi Yayasan Mujahidin, yang menjadi cikal bakal pendidikan formal berbasis agama di Kecamatan Onembute. Buah manis dari perjalanan dakwah puluhan tahun telah menghasilkan beberapa sekolah keagamaan yang dinikmati hingga sekarang. Mulai dari tingkat RA, MI, MTS dan MA serta masjid yang di dalamnya terlantun ayat suci tempat anak-anak belajar mengaji bersama sang da’i.
Sebagai seorang Muballigh, ia dikenal memiliki karakter yang khas. Kemampuan komunikasi yang dihiasi oleh sentuhan sastra yang unik, acap kali membuat masyarakat terkesima sebagaimana kemampuan ia membangkitkan semangat yang menggelora untuk kebaikan. Bakat seni dan sastra menjadi anugrah Allah dalam menjalankan tugasnya. Terutama pendekatan ke masyarakat yang berbeda budaya dan kebiasaan , termasuk suku asli Onembute, suku Tolaki. Bakat itu menjadi bagian yang tak pernah lepas dalam dirinya. Berirama dengan semangat yang melekat. Dzikir dan fikir melebur menjadi satu kesatuan yang melahirkan karya sastra. Karya sastra berjudul Bismillah ini adalah salah satunya.
Bismillah
Bila engkau mulai mengerjakan sesuatu
Bacalah Bismillah walaupun di dalam hati
Karena dengan Bismillah segala usahamu
Akan direstui oleh Allah Rabbul Izzati
Seandainya kau lupa di awal pekerjaan
Nabi menganjurkan agar di baca di akhirnya
Tapi kalau Bismillah tak pernah kau ucapkan
Semua yang engkau lakukan jauh dari rahmat Nya
Bahagialah manusia yang sepanjang hidupnya
Selalu ingat dan menyebut nama Allah
Itulah suatu tanda keimanan yang nyata
Pasti balasannya pahala berlimpah
Penyampaian dakwah yang sederhana namun lugas, tidak berbelit belit menjadi mudah diterima oleh masyarakat pedesaan. Selaras dengan rerata pendidikan terakhir masyarakat desa yang memang mayoritas sekolah dasar. Sebagai da’i sejati, ia habiskan waktu, tenaga serta pikirannya untuk kegiatan da’wah di masyarakat. Bersama istri dan 4 orang anaknya,  purnama demi purnama dilaluinya, sekolah satu persatu dibangunnya, pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh kesah. Ia menjadi tempat masyarakat berkonsultasi, berbagi rasa, curahan hati tanpa ada batas waktu pelayanan ummat. Itulah peran yang diperankannya dengan baik, bak oase dalam gurun pasir yang tandus. Tak kenal henti hingga lelah yang lelah mengikutinya.
Pengabdian yang tulus ke masyarakat seirama dengan baktinya kepada orang tuanya, sering kali beliau menjadi imam sholat malam bersama ibunya. Ridho Allah selaras dengan ridho orang tua, Â Ia tidak ingin ibunya tertinggal sholat malam yang selalu dirindukan Allah SWT. Sebuah kenikmatan dunia yang terabadikan di akhirat.Â
Sebuah puncak ibadah menghadap Tuhannya bersama orang yang oleh Rasullullah sabdakan menjadi orang yang paling diutamakan dalam hidup di dunia. Hingga setelah kepergiannya, ibunya senantiasa menceritakannya. Surau kecil di samping rumah yang dibangunnya dan adzan yang ia kumandangkan sayup-sayup masih terdengar oleh Ibunya, yang merasa rindu akan kehadiran anaknya. Sebuah amalan yang sangat sunyi jauh dari keramaian dan popularitas dunia.Â
Namun menjadi amalan yang terkenal di malaikat dan di mata Allah SWT, nikmat dunia rasa surga sebagai bekal amal menghadap Tuhan Sang Pencipta. Sesuai dengan firman Nya di surat Al Ahqaaf ayat 15, Wa wasshoinaal insaana biwaa lidaihi ihsanah hamalat’hu ummuhu kur haaw wawa dhongat’hu kurhaah. Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Senin 13 Juni 2016, dalam suasara Ramadhan, masih terngiang kala itu, suara lemah beliau, meminta adiknya agar mau menjadi imam sholat terakhirnya. Walau berwudhu sudah tidak mampu, tayamum pun beliau tak mampu hingga adiknya yang mentayamuminya. Bacaan sholat samar-samar terlihat dalam gerak bibirnya, tatapan mata yang ikhlas dalam menerima takdirnya, membuat hati ini malu akan sholat yang tak sekhusyu’ itu.Â
Sebuah gambaran bahwa sholat adalah tiang agama yang harus selalu setiap saat ditegakkan dalam kondisi apapun. Puncak kenikmatan dunia tertinggi yang pernah ada, meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Yaitu orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka) : "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." Fa amma in kaana minal muqorrobin, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
Ratusan pasang mata yang hadir di tengah hari Bulan Suci itu. Ribuan langkah sepanjang jalan berbatu sejauh tiga kilometer menuju pemakaman desa itu. Menjadi saksi bersama amal jariyah, ilmu dan doa-doa anakmu yang mengiringi kepergian guru kami untuk selamanya. Ribuan murid telah merasakan manfaat dakwah yang tulus dan lurus. Bapak Shodiq, tidak penting bagimu terkenal di mata manusia namun yang paling penting adalah engkau terkenal di mata Allah dan Rasul-Nya.
 Walaupun engkau telah tiada di dunia ini, muridmu, keluargamu serta masyarakat Onembute akan meneruskan cita-cita mulia di jalan dakwah Illahi. Sholat yang selalu engkau tegakkan hingga akhir hayat tanpa kalah oleh keadaan. Bakti kepada Ibu dengan senantiasa mengajak sholat malam berjamaah yang terus engkau jaga. Serta, dakwah dan cintamu yang tulus kepada ummat ini telah memancarkan Cahaya Surga di bumi Tolaki yang menerangi kami ke jalan yang lurus, jalan menuju Ridho Illahi.
*Penulis adalah seorang sarjana kesehatan masyarakat yang mengabdi dalam gerakan Pencerah Nusantara yang ditugaskan di daerah terpencil Puskesmas Onembute, dan menjadi saksi detik-detik beliau menjalankan ibadah terakhirnya di ruangan ICU yang menginspirasi agar senantiasa menjaga sholat dan kekhusyu’annya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H