Mohon tunggu...
alwindo Colling
alwindo Colling Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sindiran yang elegan adalah sindiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan ~ Aku Menulis Maka Aku Ada***

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK dan Harapan Pemberantasan Korupsi

20 Mei 2021   16:49 Diperbarui: 21 Mei 2021   08:41 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara khusus dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi serta bersifat independen. KPK sendiri lahir pada era reformasi yang artinya lembaga ini adalah buah perjuangan daripada reformasi tahun 1998. 

Lembaga anti korupsi ini dibentuk untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga sebelumnya "Kepolisian dan Kejaksaan", karena dinilai kurang efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Sejarah 

Menurut Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik, bahwa Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah ada sejak 1960-an dan pada tahun 1971 lahirlah Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Pada Tahun 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari KKN. Ketetapan tersebut ditindak lanjuti menjadi Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari KKN.

Seiring berkembangnya masyarakat, Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dipandang tidak relevan lagi dengan kebutuhan hukum di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan hukum ini, maka pada masa reformasi Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam perkembangannya ditemukan bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial, hak ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karenanya pemberantasan korupsi harus dilaksanakan dengan cara yang spesial karena tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).

Korupsi dimata masyarakat dikonotasikan sebagai kejahatan yang serius dan luar biasa, karena dampak yang ditimbulkan kemudian. Maka dari itu undang-undang 31 dirasa masih kurang sehingga Pemerintah dan DPR RI menetapkan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 43 mengamanatkan bahwa perlu dibentuk Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus untuk menangani skandal korupsi yang ada di Indonesia.

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sejak dibentuk, KPK telah melaksanakan tugas penindakan yang cukup signifikan, namun KPK belum mampu melakukan fungsi pencegahan secara optimal dan mengakibatkan belum terbangunnya sistem pencegahan yang komprehensif dalam upaya menghentikan tren korupsi yang marak terjadi baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Indonesia itu unik, adanya lembaga pemberantas korupsi bukan berarti tren korupsi di kalangan pejabat tinggi negara semakin berkurang. Sejak dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi pada 27 Desember 2002 , di tahun yang sama Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masuk di peringkat 96 dan pada tahun 2020 Indonesia mencapai peringkat 102 Negara bersih di Dunia.

Revisi Undang-Undang KPK

Sejak berdirinya lembaga KPK, beberapa politisi mengkritik kerja-kerja daripada lembaga tersebut karena dinilai  sebagai lembaga yang terlalu Superbody, sehingga perlu direvisi. Namun banyak kalangan profesional mengkritisi kebijakan untuk merevisi UU KPK, karena akan melemahkan kinerja daripada lembaga anti rasuah tersebut. 

Di kalangan masyarakat sipil (civil society) mulai bergejolak, penolakan demi penolakan di sampaikan, mulai dari narasi-narasi yang bertebaran di jagat maya, sampai melakukan demonstrasi. Mulai dari depan Istana Negara, sampai Gedung DPR RI. Walaupun di kritik habis-habisan, regulasi tersebut tetap ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penjegalan Revisi UU KPK tidak stagnan sampai di situ, masyarakat penggiat anti korupsi melayangkan gugatan (Judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun Putusan Majelis Hakim seia-sekata dengan pemerintah, Mahkamah Konstitusi menolak uji formal yang dilayangkan dan mengabulkan sebagian uji materiil.  

Tentu putusan MK tersebut harus di hormati karena sudah final. Dengan begitu tidak ada lagi upaya  secara konstitusional untuk menjegal revisi undang-undang tersebut.

Penutup

Sejatinya tujuan reformasi tahun 1998 menumbangkan Rezim Suharto (Orde Baru) semata-mata untuk mengubah sistem pemerintahan otoriter ke arah demokratis. 

Namun kenyataan politik, sosial, ekonomi, hukum pasca reformasi tak seindah visi dan misi daripada reformasi, sehingga pemberantasan korupsi masih jauh dari kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi rakyat Indonesia.

Sebagai masyarakat yang menginginkan bangsa ini maju sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa, penulis melihat bangsa ini harus berbenah dan pemerintah juga dituntut proaktif dalam menyikapi pemberantasan korupsi yang semakin masif dilakukan oleh pejabat tinggi. 

Jika hal ini di abaikan maka bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada fase tidak percaya lagi terhadap penegak hukum bahkan pemerintahan yang sah, itu akan membahayakan bangsa ini di kemudian hari.

Pemerintah harus banyak-banyak mendengar aspirasi dari masyarakat untuk dijadikan pertimbangan dalam membentuk suatu kebijakan, agar supaya kebijakan-kebijakan yang di lahirkan itu sesuai dengan cita-cita daripada proklamasi kemerdekaan, Pancasila, dan UUD 1945.

Penegak hukum terkhususnya pemberantasan tindak korupsi sudah seharusnya di perkuat! entah UU KPK yang baru itu di asumsikan oleh pemerintah dan DPR dapat menguatkan kerja-kerja daripada lembaga itu, namun pada kenyataannya, masyarakat masih berteriak, itu tandanya ada yang salah dalam memberantas korupsi. 

Ditambah lagi di internal Komisi Pemberantasan Korupsi  dalam proses peralihan status ke Pegawai Negri Sipil ( PNS) bermasalah, ini akan menambah daftar panjang konflik internal lembaga tersebut.

Kalau kita melihat "Indeks Persepsi Korupsi" di Indonesia setiap tahun melambung tinggi, itu artinya kita butuh undang-undang yang kuat, lembaga pemberantasan korupsi yang superbody, dan aparatus hukum yang berintegritas.

Lembaga anti rasuah harus didesain secara khusus dan harus independen! karena yang diberantas adalah korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif oleh oknum-oknum pejabat tinggi negara.

"Suatu Bangsa akan maju peradabannya, kalau Bangsa tersebut terbebas dari pejabat dan aparatus yang berwatak Korupsi, Kolusi, Nepotisme."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun