Mohon tunggu...
alwindo Colling
alwindo Colling Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sindiran yang elegan adalah sindiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan ~ Aku Menulis Maka Aku Ada***

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Opini Hukum - Pemberantasan Korupsi Masih Sebatas Slogan Pencitraan

12 Maret 2021   17:01 Diperbarui: 12 Maret 2021   17:15 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Indonesia adalah Negara Hukum, begitulah bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Penyelenggara negara pejabat pemerintah harusnya mematuhi bunyi dari Pasal tersebut serta mengamalkan spirit daripada Negara Pancasila. 

sangat di sayangkan para pejabat yang telah mengangkat sumpah setianya bahwa akan mengabdikan dirinya bagi Nusa dan Bangsa malah mengingkari sumpah jabatannya dengan melakukan praktik-praktik kotor di luar dari tugas dan fungsinya, mengatasnamakan jabatan dan kedudukannya untuk melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Pejabat yang korup tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia karena telah menjadi suatu budaya yang telah mengakar serta mustahil di musnahkan. lebih tidak asing lagi bahwa mereka sering mendapat vonis hukuman yang terbilang sangat ringan, lebih berat hukuman si pelaku pencuri ayam, pencuri sendal, pencuri singkong. Lebih tragis lagi bahwa terkadang pertimbangan majelis hakim pincang dan mengecewakan, karena menjatuhkan vonis hukuman yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat Indonesia.

Korupsi adalah musuh kita bersama begitulah ucapan Mantan Mensos Juliari P Batubara, sebab tindak pidana korupsi merupakan "Serius Crime" atau di bahasakan secara general sebagai "ekstra ordinary crime" "Kejahatan yang luar biasa" karena dampak yang ditimbulkan sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, serta merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat secara luas, serta dapat mempengaruhi suatu putusan dari seorang hakim agung sekalipun.

Penulis kaget membaca salah satu portal media yang memberitakan bahwa mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, di vonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Nurhadi terbukti melakukan perbuatan dengan melawan hukum (kejahatan korupsi ) merima suap dan gratifikasi sebesar 35,726 miliar untuk mengatur sejumlah perkara dilingkungan peradilan, hal itu dilakukannya saat menjabat sebagai sekretaris MA.

Penulis Kaget karena putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR terbilang sangat ringan bagi mafia hukum di lembaga yang sangat terhormat itu. Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR Jakarta yang di ketuai Saifudin Zuhri, ia menjatuhkan vonis 6 (enam) tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara, pertimbangan majelis hakim bahwa terpidana telah berjasa untuk kemajuan lembaga tinggi tersebut (MA). Hukuman itu terbilang sangat ringan karena lebih ringan tuntutan yang di ajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, yakni pidana 12 tahun.

Penulis berpendapat bahwa terpidana layak diberi hukuman maksimum seumur hidup serta dirampas seluruh harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi. Sebagaimana bunyi Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana telah di rubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. 

Terpidana berstatus sebagai sekretaris Mahkamah Agung saat menjalankan aksinya, MA adalah benteng terakhir bagi para penggiat hukum dan keadilan, jika pemangku kepentingan berwatak Korup dan berkompromi dengan para mafia hukum bagaimana bisa bangsa ini mampu mewujudkan pemerintahan yang baik bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme? 

Oleh sebab itulah JPU (KPK) harus melakukan upaya hukum selanjutnya agar supaya hukuman bagi  terpidana mantan sekretaris MA tersebut dapat diperbaiki oleh pengadilan di atasnya karena terpidana telah melecehkan lembaga penegak hukum dan  untuk memberikan dampak bagi pejabat-pejabat penyelenggara negara untuk  tidak melakukan perbuatan  tidak sesuai tugas dan fungsinya, sederhananya dapat memberikan (deterrent effect) efek jerah bagi terpidana dan juga calon-calon pelaku korupsi.

Poin penting yang penulis mau sampaikan bahwa Mahkamah Agung harus mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) atau sejenisnya untuk dipedomani oleh setiap aparatur hukum yang ada dalam lingkungan Mahkamah Agung, bahwa aparatur hukum yang ada di lingkungan Mahkamah Agung ketika terbukti melakukan korupsi maka akan ditindak secara tegas lebih berat daripada pejabat penyelenggara negara lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun