Hiruk-pikuk jagat perpolitikan lokal di tengah Pilkada Taliabu dan turbulensi politik yang sarat caci maki dalam pertarungan perebutan opini publik sudah sampai pada titik nadir kutukan demokrasi yang membahayakan. Kutukan demokrasi itu hadir ditengah pertempuran memperebutkan wacana publik (public discourse) di saat medan tempur yang sarat kebencian dan memuakkan itu.
Alih-alih para actor politik mengedepankan keadaban berpolitik, justru lebih mempertontonkan banalitas politik dan kedunguan ditengah fragmentasi politik publik yang semakin liar. Ditengah banalitas dan keliaran politik, massa rakyat tidak bisa lagi dimobilisasi dan didikte seenaknya menurut kehendak para elite politik yang sedang merebut simpatik suara publik.
Pragmatisme politik membuat nilai suara publik saat ini nyaris tidak lagi sebagai refleksi yang menggambarkan rasional politik. Yang terjadi justru terbangun rasionalitas palsu ditengah absurditas perebutan panggung politik. Pesta sedekah suara publik pada pilkada Taliabu mendatang, publik pun tidak peduli bahwa suara itu mau jadi apa dan kemana akhir ceritanya. Yang hadir dalam imajinasi sosiologi publik bahwa inilah yang disebut pesta demokrasi yang menghabiskan puluhan triliun duit.
Apatisme dan pragmatisme politik yang terstruktur dalam imajinasi politik publik, sesungguhnya sebuah bentuk kegagalan dalam membangun kecerdasan berdemokrasi setelah sekian lama negeri ini berada dalam sangkar turbulensi demokrasi.
Ditengah transisi demokrasi saat ini, panggung institusi kekuasaan semakin menarik diperebutkan para politisi yang memiliki kekuatan modal. Panggung demokrasi tersandera oleh kuasa modal karena faktanya hanya orang-orang yang memiliki modal besar yang berpeluang menguasai panggung demokrasi. Inilah yang disebut kutukan demokrasi (democracy curse) yang menjelma di tengah dahsyatnya turbulensi politik.
Pertanyaannya adalah, mengapa kutukan demokrasi itu hadir? Mengapa politisasi kebencian dalam memperebutkan opini publik itu menjadi iklan yang menarik? Memproduksi kebencian dalam dunia politik bagi sebagian orang mungkin dianggap hal yang biasa saja dan bahkan perlu dalam rivalitas kekuasaan. Pemandangan seperti ini telah hadir dan menjadi tontonan sehari hari bagi rakyat di negeri hemung sia sia dufu. Rakyat pun menjadi penikmat setia dari perdebatan-perdebatan politik itu. Bahkan bisa menjadi hiburan yang menarik. Di warung kopi dan kerumunan rakyat, narasi-narasi politik keluar dari mulut mereka dengan bangunan argumentasi rasional.
Mengapa mendukung 01 dan kenapa tidak mendukung 02 dan 03, atau sebaliknya? Publik punya nalar politik sendiri yang lahir secara natural sebagai hasil interakasi keseharian para komunitas-komunitas (pedagang, petani, nelayan, komunitas ana-anak muda dllnya) yang nyaris tidak pernah bersentuhan atau tidak pernah di didik koleh partai-partai politik yang ada.
Ya, konstruksi sosial atau imajinasi sosio-politik dinegeri ini lahir secara natural karena partai politik yang ada tidak pernah memperlakukan massa rakyat sebagai bagian dan kontruksi demokrasi. Absurditas kontruksi demokrasi itu baru hadir disaat merindukan suara rakyat untuk kepentingan caleg, pilbup, pilgub.
Dalam sejarah Indonesia modern seperti ditulis Ben Anderson, kekuatan rakyat selalu dihadirkan manakalah negara itu memerlukan dukungan politik atau semangat nasionalisme rakyat dan setelah itu rakyat ditinggal pergi. Selanjutnya, para demagog penguasa akan berpesta pora dalam sangkar kekuasaannya. Tidak aneh, bila sinisme Sebagian public di Pulau Taliabu muncul ketika para demagog menyampaikan titah-titah politiknya di ruang publik. Perebutan ruang publik telah penuh sesak dengan bungkus janji-janji politik. Janji-janji politik telah memuakan nurani public Taliabu.
Nurani publik sudah terasah, mana narasi omong kosong dari para pembual. Alih-alih mewakili kepentingan publik, partai politik telah menjadi kartel, arena pesekongkolan para demagog yang haus kuasa. Partai politik yang sejatinya menjadi instrumen demokrasi justru meredukasi substansi demokrasi menjadi kutukan di negeri hemung sia ini. Tengok saja, berapa banyak elite partai yang berani bicara tegas soal kebijakan pemerintah daerah yang tidak berpihak kepada rakyat bawah. Semua diam dalam mengamankan kepentingan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H