Politisi sebagai aktor yang juga diamati publik. Menurut penulis mereka akan selalu menunjukkan wajah kebaikan, namun sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk mendapatkan tepuk tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha memainkan peran, baik oleh aktor dan politisi ini, yang menurut Runciman, disebut sebagai kemunafikan yang menyuguhkan penipuan jenis tertentu
Pada pilkada Taliabu tahun 2024 ini, rakayat sebagai pemilih mulai disuguhkan dengan janji politik dari wajah-wajah polos para hipokrit seperti halnya pahlawan dalam serial film hollywood. Alhasil wacana politik Taliabu lebih banyak diwarnai dengan pengungkapan sisi negatif pihak lain daripada mempromosikan sisi positif yang dimiliki. Banyak yang sibuk dengan mengorek-ngorek kekurangan pihak lain ketimbang menaburkan benih-benih keunggulan yang dapat menjadi nilai jual didepan publik. Maka, di era post-truth ini, dunia bisa terbalik-balik. Ketidakjujuran bisa menjadi kejujuran. Kekeliruan juga bisa berarti kebenaran. Karena, fakta tidak dipedulikan. Opini yang dibangun bukan atas dasar fakta kebenaran, melainkan cara-cara manipulatif dan sudah barang tentu hasilnya adalah wabah politik yang melahirkan permusuhan, kebencian, atau balas dendam. Ini tentuhnya akan menjadi ancaman serius pada setiap momen pesta demokrasi yang seharusnya dipenuhi dengan nuasa gembira ria.
Wabah Praktik Politik Hipokrit Pada Gelaran PILKDA Taliabu 2024
Politik Hipokrit dapat kita temui saat masa-masa menjelang Pemilu, baik PILEG dan PILKADA. Janji politik, obral janji, tanpa peduli dan tanggungjawab.
Hipokrit dalam Pemilu dimulai tepat saat ketika calon pemimpin lebih sering menonjolkan diri daripada menunjukkan hal baik yang telah dan akan dilakukan di masyarakat. Calon lebih peduli pencitraan dirinya dibanding mengurai berbagai permasalahan warganya, lebih memikirkan dirinya ketimbang memikirkan rakyatnya. Politik artificial dilakukan, mereka nampak baik pada tampilan namun buruk pada kenyataan, atau bagus dalam “pencitraan”.
Politik pencitraan kemudian dibungkus dengan politik tak tahu malu, politik muka tembok. Sebuah kenyataan didepan mata hadir dimana-mana. Seorang politisi yang sedang berkontestasi akan dengan mudah menyebut kesalahan yang dilakukannya dengan kata Khilaf. Seorang politisi bisa tanpa malu dan masih tersenyum disaat sudah dinyatakan dan terbukti bersalah atau terbukti korupsi.
Kadang, ada model politisi kutu loncat. Keluar masuk partai politik, tak memiliki visi dan ideologi. Seorang mantan narapidan koruptor bisa masih menjadi penguasa melalui jalur kontestasi politik. Ada pula para selibriti yang nayata-nyata pernah terkena kasus asusila, masih memiliki pengemar dan memenangkan kontestasi. Boleh dibilang hipokrasi masih menjadi politik yang menghiasi negeri Dari sisi perilakunya misalnya. Politisi yang sering hanya memberi janji surga masih memnangkan kontestasi. Bahkan politisi yang praktik kampanye hitam, politik identitas, SARA, politik uang bisa memenangkan kekuasaan. Praktik yang demikian oleh Akbar Tandjung disebut dengan istilah praktik politik tak bermoral tak berperadaban atau uncivilized. Perilaku politik demikian mengabaikan etika, orientasi kekuasaan tanpa memperhatikan moralitas. Menghalalkan segala cara untuk menuju kekuasaan. Tak heran apabila di Indonesia ajaran agama, adat, budaya, etika politik tak pernah dianggap adanya. Saat inilah terjadi apa yang disebut dengan hiperrealitas dan hipokrisi politik.
Praktik hipokrasi politik menjalankan bahwa Politisi dan elite kekuasaan bergerak massif untuk mengelabui dan memanipulasi kesadaran masyarakat sebagai objek sasaran. Politik digunakan sebagai seni berbohong dan memanipulasi. Tujuan akhir politik bergeser, kekuasaan bukan lagi soal strategi pengambilan kebijakan penting untuk kemaslahatan ummat melainkan untuk kepentingan individu dan kelompok. banyak pertanyaan kemudian muncul, dimana letak moral dan akhlak. Apakah sebatas teori belaka, atau hanya jadi tuntunan individu saja tanpa terkonsespsikan dalam aturan sosial yang mengikat, kemana sangsi sosial, dimana moral bangsa dan bagaimana memulihkannya. Praktik yang demikian adalah praktik politik tak bermoral tak berperadaban atau uncivilized.
Pada gelaran Pilkada Taliabu Tahun 2024 ini, hal serupa perlahan mulai muncul panggung para hipokrit. Mereka hadir dengan dua misi yaitu cari duit dan cari panggung. Alhasil yang mucul adalah saling debat kusir, dan kalaim mereka adalah pemilik mutlak dari apa yang disebut kedaulatan rakyat. Ancaman seriusnya adalah Pilkada tidak menjadi tidak bermoral dan ruang argumentasi gagasan terkait arah dan kemajuan daerah menjadi ajang saling klaim dan serta hujatan yang bersifat negative. Lalu rakyat; terkontaminasi dengan hal serupa sehingga ruang-runag konflik ibarat bola salju yang bisa meledak kapan saja.
Sikap Kritis
Apa yang harus dilakukan menghadapi semua itu, langkah nyata yang harus diambil adalah rakyat harus segera mengambil sikap cerdas. Masyarakat harus segera sadar dan disadarkan melalui edukasi politik agar mulai tumbuh sikap kritis.