Mohon tunggu...
Nita Harani (Syamsa Din)
Nita Harani (Syamsa Din) Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyah

I'm Nothing Without Allah SWT. Guru Madrasah Ibtidaiyah. pengagum senja, penyuka sastra. Love to read, try to write, keep hamasah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai di Hati Saprol

20 April 2018   16:34 Diperbarui: 20 April 2018   16:45 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Alamak! Kau yakin Prol?"  Burhan berhenti menghisap kreteknya.

"Aku harus bisa menaklukkan Zurai, lihat saja nanti dia bakal tergila -- gila padaku" Saprol cengengesan sambil menyeka rambut gondrongnya.

"Prol..Prol..jangankan Zurai, Sonia yang gila itu saja belum tentu mau sama kamu, cih!"  Bagio terpingkal -- pingkal.

"He! Sampeyan ojo dumeh! Saprol menunjuk muka Bagio dengan mata berkilat lalu beranjak meninggalkan permainan gap yang baru dimulai, seketika Bagio bungkam. Jalanan mulai remang, Adzan Maghrib baru selesai dikumandangkan

"Kesempatan! Bapak pasti ke Mushola" Saprol mempercepat langkah. Akhir -- akhir ini, Saprol menghindar bertemu Bapak. Bapak pun agaknya tak mau bertatap muka dengan Saprol. Tepatnya sejak lima hari lalu. Bapak uring --uringan hingga dadanya sakit, usai menenggak obat Bapak duduk bersandar di tiang tengah rumah, nafasnya tersengal.

"Prol, maafkan Bapak, mulai hari ini Bapak nyerah menghadapi kamu, Bapak  ndak akan uring -- uringan lagi kalo kamu mau main gap sampai pagi terus disambung mengadu ayam seharian, Bapak ndak kuat lagi Prol, kamu sudah dewasa malah sudah tua, kau sadar umurmu baru saja genap 32? Bapak dan Emakmu tidak kurang mendidikmu sejak kecil, tapi mulai hari ini Bapak menyerah, ingat! Kelak di hadapan Tuhan jangan menuntut dan menyalahkan Bapak" dengan perasaan hancur lebur Bapak terhuyung -- huyung masuk kamar, sementara Emak menatap Saprol dalam -- dalam tanpa kata. Saprol berdehem lalu masuk kamar.

"Mak! Mak!" Saprol mengetuk pintu

"Pelankan suaramu, Bapak lagi ngaji" Emak menepuk lengan Saprol

"Lho..Bapak nggak ke Mushola?" Saprol kaget

"Kakinya nyeri, jadi Sholat di rumah" Emak melepas mukena.

Saprol cekatan byar -- byur mandi sekenanya, lalu menyelinap ke kamar, mengobok -- obok lemari tua mencari pakaian.

"Mak, Saprol keluar" Saprol setengah berbisik pada maknya, belum sempat Emak menjawab, Saprol sudah lenyap.

"Bukne, Saprol main gap lagi?" Bapak duduk bersandar di bale -- bale depan rumah, Emak tak menjawab, hanya berdehem pelan.

"Pakne benar -- benar nyerah menghadapi Saprol?"  Emak melirik Bapak. Bapak diam, mata tuanya menatap jauh di keremangan malam, bilah -- bilah daun kelapa gading samping rumah bergesekan dimainkan angin malam.

"Saya nyerah Bukne, tapi sampeyan jangan ikut -- ikutan nyerah lo" Bapak melirik Emak.

"Prol..Prol..bangun Subuhan" Emak menggedor pintu kamar Saprol. Saprol bangkit dengan raut kusut, terhuyung berjalan ke belakang. Usai mencuci muka, Saprol mengintip ke arah dapur, hati -- hati membuka pintu belakang lalu menyelinap keluar. Sambil cengengesan Saprol mengeluarkan ayam jagonya dari kandang, menoleh ke arah dapur sekali lagi, lalu berlari kecil menuju lapangan dekat pos ronda untuk mengadu ayam. Beberapa pemuda Tempur Sari sudah siap dengan ayam jagonya. Tiap minggu pagi, lapangan kecil itu ramai oleh para pengadu ayam. Emak hanya bisa mengurut dada saat menyadari Saprol tak ada di kamar dan pintu belakang sudah terbuka. 

"Ngadu ayam lagi?" Bapak tiba -- tiba muncul, Emak bungkam.

Menjelang pukul sepuluh, Saprol pulang, berjalan mengendap ke belakang rumah, memasukan jago kesayangannya ke kandang.

"Mau sampai kapan begini terus Prol?" Emak berdiri di belakang Saprol, Saprol gelagapan.

"Sampai kapan? Sampai kamu dikafani?" tangan Emak bergetar menahan emosi

"Kalo kamu sudah dikafani nanti, gantian kamu yang di adu sama jagomu ini" Emak menunjuk jago Saprol yang berkedip -- kedip dalam kandang.

"Emak ndak tau mesti ngomong dan marah dengan cara apa lagi Prol! Rasa -- rasanya Mak ndak kuat lagi" mata Emak memerah lalu bergegas masuk dapur. Tak ada bantahan dari Saprol. Saprol memang tak pernah membantah, tapi tingkanya terus saja membantah.

 "Sekian lama ku dirantau orang, ingin kucepat pulang ke kampung halaman..Delima...Abang pulang..Aduh mak, abang pulang tuh mak. Tanam tebu ditanam, tanam di tanah Deli.."

Lagu dangdut lawas mulai mengalun di kedai kopi mbak Sum. Di kedai itulah pemuda -- pemuda Tempur Sari berlabuh kala malam, untuk membanting kartu, main gap, minup kopi atau sekedar nongkrong.

Saprol langsung menuju kursi sudut. Burhan dan Bagio sudah menunggu, segera mbak Sum menyajikan tiga cangkir kopi hitam beraroma kental. Saprol mengeluarkan bungkusan kretek dari balik jaket. Cepat saja Bagio menyambar bungkusan itu.

"Kenapa wajahmu? Bapakmu uring --uringan lagi?" Bagio menyulut kretek. Saprol menggeleng, diam beberapa saat.

"Ck..sampai kapan ya aku jadi lelaki tak berguna seperti ini?" Saprol menyandarkan tubuhnya, menghisap dalam kretek hingga matanya setengah terpejam, ada segumpal badai yang ingin dihalau. Burhan dan Bagio saling menyikut.

"Kenapa dia?" Burhan berbisik

"Kena sawan kali" seringai Bagio

"Sampai kapan? Ck..yang jelas aku nggak mau nunggu sampai dikafani" Saprol mematikan kretek yang masih panjang, menenggak kopi hingga separo lalu beranjak. Burhan dan Bagio melongo.

Adzan Subuh belum berkumandang, Saprol bangkit dari kasur lusuhnya, berjalan pelan ke belakang. Tepat saat Adzan berkumandang, Saprol sudah siap di atas sajadah hujau bludru.

"Mak, mak mau kan punya mantu macam Zurai?" Saprol menyeruput pelan teh manis di atas meja, Emak yang tengah mengaduk nasi menoleh dengan tatapan kesal, menyambar panci, segera panci itu mendarat di punggung Saprol.

"Adaww...sakit mak!" Saprol menjerit.

"Itu teh bapakmu!" Emak menukas sengit, lalu bergegas ke ruang tamu, mengambil sesuatu di samping TV.

"Nih.." Emak menyodorkan undangan biru muda itu di hadapan Saprol.

"Zurai dan Komar?" Saprol mengeja nama di undangan itu.

"Keduluan Komar Prol..Prol.." Emak terpingkal. Seketika wajah Saprol pias, menghela nafas dalam lalu dihempaskan begitu saja.

"Mak! Ayam jagoku mana?" Saprol berteriak di muka kandang

"Ini,  Mak adu di dalam kuali" aroma sedap gulai ayam menyeruak dari arah dapur. Saprol diam, tak bereaksi.

"Genap sudah perasaan ini hancur" Saprol duduk bersandar di kandang ayam dengan mata kosong.

"Ha..ha..ha..Saprol patah hati?" Burhan terkekeh mengerjapkan mata nakal

"Tak kusangka lelaki sepertimu bisa patah hati, ck..ck..?" Bagio berdecak heran. Lagi, Saprol meninggalkan permainan gap yang baru dimulai.

            Jauh sebelum Subuh, Saprol sudah bangun, bahkan mendahului bapaknya. Usai mengambil wudhu, Saprol mengunci pintu kamar, tak mau dilihat emaknya, padahal maknya sudah tahu.

            "Doamu terkabul Pakne" Emak membangunkan Bapak

            "Doa sampeyan juga Bukne" Bapak mengusap wajah menghilangkan kantuk lalu bangkit

            Usai sholat Subuh, Saprol berkemas memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas bahan kain dengan gambar sang maestro. Tas sudah siap, Saprol berdiri di depan cermin kusam, mendapati wajahnya yang tak biasa. Rambut gondrong itu dipangkas habis.

            "Mak, Saprol pamit" Saprol mendekati maknya yang tengah menyeduh teh di dapur

            "Pamit?" Emak menatap lekat tas saprol

            "Iya mak, sudah saatnya, Burhan mau pulang ke Sumatera pagi ini, dia menawari Saprol untuk merantau, Saprol mau coba menjejakkan kaki di tanah Sumatera mak, Saprol usahakan nanti pulang bawa menantu yang lebih baik dari Zurai untuk Mak dan Bapak" Saprol meraih tangan Emaknya yang dingin.

            "Maafkan Saprol Mak" suara Saprol tertahan, air matanya mengalir. Bapak mengintip dari balik tirai kamar menahan isak pula, ingin benar ia keluar dan memeluk Saprol.

            "Ah..bujangku yang keras ini ternyata bisa melankolis juga" Batin Bapak.

            "Pak, Saprol berangkat" Saprol pamitan dengan bapaknya dari balik tirai kamar, tak ada jawaban dari Bapak, hanya terdengar isak yang tertahan. Tak ada kata -- kata dari emak untuk melepas anak bujangnya yang ingin merantau tiba -- tiba. Tapi, ada rona bahagia yang tersirat di wajah tua Emak. Saprol melangkah mantap meninggalkan pelataran rumah

            "Tin..tin.." mobil Pick up hitam yang mengangkut sayur ke kota menepi di hadapan Saprol.

            "Ayo Prol!" teriak Burhan.

            Saprol menoleh sekali ke rumahnya, lalu bergegas melompat ke mobil. Pick up hitam itu melaju kencang membelah kabut yang masih menyelimuti Tempur Sari. Angin pagi terus menampar wajah Saprol. Ada ruang kosong yang menjelma di sudut hati, lantaran meninggalkan rumah dengan perasaan yang mengambang. Tapi, Saprol yakin badai itu akan segera menepi.

Palembang, 9 April 2018, 22 Rajab 1439 H

Teruntuk diriku, tanpa usaha dan doa yang serius

Kau tak kan mendapatkan apa - apa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun