selain Abak dan Amak yang menanggung  malu, siapo lagi Ned kalu bukan guru, guru Ned..guru! berat tugas guru tu Ned, 'ang sanggup menanggung malu kalu itu murid 'ang?" "zaman la berubah Ned, siswa sekarang indak seperti siswa dulu" Amak bersandar di lemari. Adzan Zuhur selesai, "Ned ke surau Mak" dengan perasaan gusar kuturuni anak tangga.
Kutenggak isi botol minum hingga separo, usai menutup saluran air di setiap bagian, aku dan Abak duduk di bawah pohon Randu besar, Abak melepas caping birunya, kulihat peluh mengalir lancar dari dahi ke lehernya, leher yang mulai mengendur. "Apo alasan 'ang ingin jadi guru Ned?" Abak menyandarkan punggungnya di pohon randu dengan kaki ditekuk sebelah.Â
Aku diam beberapa saat, kuseka dahiku yang berkeringat. "Ned ingin jadi orang bermanfaat Bak" jawabku lirih "manfaat apo yang Ned ingin berikan?" Abak menatapku, "Ned ingin mendidik Bak" "apo Nagari ini kekurangan tenaga pendidik?" "Nagari ini indak kekurangan tenaga pengajar Bak, tapi kalu tenaga pendidik..Ned bimbang" "maksud Ned?" "Mendidik lebih berat dari mengajar Bak, Ned ingin jadi guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik" aku berhenti sejenak.
"Orang cerdas akal di negeri ini la banyak Bak, setiap tahun, sekolah -- sekolah dan perguruan tinggi bahkan ada yang berstandar internasional menghasilkan orang - orang cerdas akal, tapi orang yang cerdas akal dan cerdas budi pekerti..." kugantungkan kata -- kataku, "itu karena siswa hanya dipupuk dengan ilmu pengetahuan intelektual Ned, sabanarnyo sudah banyak lembaga pendidikan yang memiliki visi "cerdas religius, spiritual dan moral" Â
Abak sering baco tu di surat kabar Ned" aku mengangguk "disinilah permasalahannyo Bak, indak mudah berjalan di atas visi itu, Ned pun ragu" mataku nanar menatap bulir -- bulir padi yang mulai ranum.
Abak menepuk bahuku, "dah..indak paralu ragu, Abak yakin Ned mampu memulainyo" Abak berkata mantap, "Abak picayo dengan Ned? Tapi Amak?" "Abak picayo sepenuhnyo, nanti Abak bicara dengan Amak, cepat selesaikanlah kuliah 'ang" Abak bangkit, kembali memasang caping. Seperti mendapat energi baru, aku langsung bangkit berjalan di belakang Abak.
Entah ada angin apa, malam ini Amak masak istimewa. Randang kariang jo kantang, ikan bilih jo karambia, menantang di atas tikar pandan. Di sela -- sela makan, Amak berdehem membuka percakapan, "cak mano Ned? 'ang mau pindah jurusan?" seketika selera makanku hilang. "Indak Mak, Ned tetap ingin lanjutkan kuliah keguruan" jawabku agak tegas.
 Amak mendesah mengurut dada. Abak meraih cangkir berisi air, perlahan menenggak isinya. "Ned, Abak tahu jalan pikiran 'ang, mulai sekarang, Abak menyerah dengan keputusan 'ang, selesaikanlah kuliah" Abak mengangguk, aku plong. "Indak bisa!!" Amak menukas. Sejak awal, Amak ingin aku kuliah Ekonomi, biar nanti bisa jadi pegawai Bank kata Amak, tapi..keinginanku untuk jadi guru tak terbendung pula.
Di luar dugaan, Amak mengeluarkan ransel pakaianku dari kamar, ditaruhnya dekat pintu. Tanpa kata Amak memeram diri di kamar yang temaram. "Sudahlah, Amakmu hanya emosi sesaat, menginaplah tempat Inyiak malam ini" Abak mengusap bahuku, ingin kembali ke Limau Manis, tapi libur masih dua hari lagi. Lepas Isya, Abak mengantarku ke rumah Inyiak.
TV di rumah Inyiak nyaris tidak pernah berganti channel, TVRI selalu. Menikmati Dunia Dalam Berita sambil mengunyah sirih, itulah kegermarannya. Sejak Anduang meninggal, Inyiak tinggal sendirian. Meski sudah tua, Inyiak ku ini masih lincah dan gesit, mata tuanya selalu bergerak cepat.
Melihat kedatanganku, Inyiak langsung memeluk dan mengusap -- usap wajahku, sigap dibentangnya tikar pandan. Setoples kacang Tojin dan roti Gabing dikeluarkan Inyiak dari lemari kecil.Â