Sambal tempe kering, sebelah telur rebus, tumis bayam, lengkap dengan segelas susu. Perempuaan -- perempuan paro baya itu tetap sabar dan tersenyum meski meladeni banyak santri. menciduk nasi, lauk, dan menuang susu. Aku duduk menghadapi hidangan yang menantang usai mengantri. "Dari aroma, sepertinya menjanjikan" desisku, perlahan ku angkat sendok, "ah.." mataku menyala menoleh kanan kiri, "selama ini aku salah, kupikir masakan ibu tak tertandingi'
"Makanlah..kita perlu energi cukup untuk menghadapi kelas pertama hari ini' perempuan anggun itu lagi, dia duduk di sisiku, lembut dan ramah menyapa, sikapnya dewasa dan keibuan, Aku tersenyum tipis. Suapan kedua, ketiga dan selanjutnya terus kunikmati hingga kandas tak bersisa, agaknya resah semalaman menguras banyak energi.
Ruangan ini sederhana, tapi rapi dan bersih, cukup menenangkan. Beberapa tulisan kaligrafi menghiasi dinding. Aku duduk paling belakang, sendiri. Seorang ustadzah masuk dengan derap langkah tenang, mengucap salam seraya melempar senyum royal. Gamis abu -- abu dipadu jilbab putih yang menjulur hingga ke bawah dada, harus ku akui..ustadzah itu cantik dan anggun, ramah pula.
Setiap pelajaran di hari pertama ini selalu di awali dengan perkenalan, ck..aku lelah dibuatnya. 30 santri di kelasku berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari pulau nun jauh di seberang sana, pulang Bangka Belitung, yang lebih dikenal dengan Babel. Namanya Ulum. "Dari daerah Buyan Kelumbi" jawab Ulum sambil memilin -- milin ujung jilbab saat ustadzah Chumaiza menanyakan daerahnya.
Komariyah, nama perempuan anggun itu, teman -- teman memanggilnya Kokom, Ia berasal dari Tasikmalaya. Lemah gemulai benar perempuan Tasik ini. Giliranku memperkenalkan diri, beberapa mata menyorot, entah kenapa, mungkin karena bicaraku terlalu cepat. Biarlah.
Ada yang menghapal kosa kata bahasa arab, kosa kata bahasa inggris, ada yang muroja'ah hafalan, sesekali terdengar cekikikan, batuk, bersin hingga cegukan. Suara khas mengantri mandi. Suara -- suara itu bergumul menjadi satu, macam sekawanan tawon yang di usik sarangnya. Aku berdiri di barisan paling belakang, bersandar malas pada dinding batu bata yang belum diplester, asyik kumainkan ujung handuk.
Satu bulan sudah aku disini, di pesantren Assalam. Tapi, aku masih saja menyimpan radang pada bapak, radang yang hanya bisa keperam, sendiri. Ulum, perempuan Kelumbi, tiba -- tiba memotong antrian, kontan saja barisan riuh. Rubiah, perempuan atletis, Â mendorong Ulum karena kesal, nyaris Ulum terjerembab, oleng barisan dibuatnya. Sesaat aku tak perduli, tapi Ulum masih berusaha memotong barisan. Sejurus kutatap tajam Ulum, tanpa suara aku merangsek, keras kulepsakan Chudang Maegeri(tendangan perut) ke arah Ulum, perempuan Kelumbi itu tumbang tanpa ampun, dingin kutatap Ulum yang tertunduk. Anehnya, ia tak menunjukkan perlawanan, ia hanya mengepal -- ngepalkan tangannya dengan nafas naik turun. Agaknya, itulah caranya melampiaskan kesumat.
Suara teman -- teman yang tadinya riuh nggerundel, seketika lenyap, tak ubanhya radio rusak kemerosok yang dimatikan. Tanpa dikomando, mereka merapat ke dinding, mungkin ngeri dengan kemuntabanku yang tiba -- tiba. "Dia anak tentara ya? Jangan -- jangan dia bawa pistol" samar kutangkap suara tertahan itu. Derap langkah tenang mendekat, aku akan segera di adili.
Prilaku gilaku menghajar Ulum tadi pagi tergolong pelanggaran berat, hukuman pelanggaran berat adalah dipulangkan, tapi pimpinan pondok baru akan memutuskan besok. 'Fiuh..." hati dan pikiranku terus berseteru, aku yakin bapak sudah menerima kabar ini, dan mungkin bapak akan menjemputku besok.
Untuk kesekian kali kuseka dahi. Bilah -- bilah daun kelapa gading samping kamar bergetar dimainkan angin malam, gemerisiknya merisaukan. Kulirik jam tangan sampil bantal, 22:20, teman -- teman sudah terlelap. Ck..resahku kian menjadi, aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku khawatir dipulangkan, padahal, pertama tiba di sini aku ingin dipulangkan. Tapi, saat menendang Ulum pagi tadi, aku benar -- benar tak memikirkan perihal dipulangkan.
"Jangan dipaksakan tidur kalau tidak bisa" tiba -- tiba suara serak menyapaku. Aku menatap ke sekeliling, itu suara Ulum, posisi kasurnya dekat jendela. Perlahan ia duduk menselonjorkan kaki, "kau cemas dipulangkan?" Ulum menatapku dalam keremangan, "apa maksud perempuan Kelumbi ini?" batinku heran, aku duduk bersila di atas kasur, "sedikit cemas" jawabku dingin. "Boi, berdoalah sungguh -- sungguh saat Qiyamul Lail nanti, mintalah agar pimpinan pondok ini memberi toleransi" Ulum berkata setengah berbisik, "namaku Kuntari, bukan Boi!" aku menukas sengit, aku masih heran, kenapa dia tak marah padaku. "Tenang..Boi itu sapaan akrab di daerahku" Ulum menahan tawa.