Menjelang waktu Asar, aku tiba di rumah. Cepat kutenggak segelas air mengusir dahaga, aku mengernyitkan dahi sambil tersenyum saat membuka tudung saji, tak ada makanan yang tersisa, kulirik pintu kamar ayah masih tertutup. Ck...plastik hitam di sudut dapur mengeluarkan aroma tak sedap menusuk hidungku, sudah beberapa hari aku tak membuang sampah. Cepat kuraih kantong hitam itu, tapi diatasnya tertumpuk kantong plastik berawarna putih yang diikat rapat, membuatku penasaran saja, kantong belum terbuka sempurna, tapi..mataku menangkap corak itu, ya corak yang tak asing lagi, karena kulihat hampir setiap pagi, ya..sarung ayah! Segera ku buang sampah dan kantong putih. Tiba – tiba ada perasaan lega yang melapangkan, nyeri di hati yang bersekutu berangsur surut, nampaknya ayah benar –benar berpikir keras untuk melepaskan sarung itu, sehingga ia harus memeram diri hingga beberapa hari di kamar yang temaram.
Jum’at yang manis, dengan hati – hati aku merapikan rambut dan jenggot tipisku, mengelap kaca mata minus, kuraih peci hitam yang tergantung di belakang pintu kamarku, amboi…aku tersenyum tipis, kupastikan sekali lagi penampilanku, sarung berwarna abu – abu dan baju koko berwarna senada. Aku terkejut saat pintu kamarku bergetar – getar digedor ayah “Syarif...cepatlah, apo wa’ang indak dengar khotbah Jum’at hampir dimulai, indak parlu berdandan lagi, Syuhada la tepikat dengan wa’ang” mendengarnya aku hampir tak percaya, seketika aku langsung sujud syukur penuh kemenangan layaknya striker yang usai mencetak gol tunggal di injury time…
Senja Andalas, awal Juli 2013
Tidak ada mediator, perantara, atau broker untuk berhubungan dengan Allah SWT, mempercayai benda – benda yang dianggap keramat tidak lebih dari pada lambang keraguan seseorang yang menghadapi realitas hidup tanpa adanya confidence ( keyakinan diri )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H