Saat meninggalkan Masjid, tak sengaja telingaku menangkap pembicaraan kecil yang sepertinya teman ayah dari payakumbuh, pemilik toko manisan di samping masjid “onde...buyung sekarang semakin sibuk sajo , sampai tak sempat sholat jum’at, ambo dengar kabar Buyung itu punyo kain sarung keramat peninggalan eteknyo, itulah yang menjadikan rumah makannyo semakin top, tapi...ambo indak picayo” “alah... ambo jugo indak picayo dengan hal – hal semacam itu, sasek itu ha...” suara lain menimpali “alamakjang....” suara sosok yang bertubuh ramping dan berkumis rimbun dengan wajah tak menentu, mendengarnya wajahku pias seketika, begegas kuayunkan langkah.
Terpaan angin yang mengawali musim kemarau menggetar – getarkan bilah daun pisang di sudut belakang rumah, sejenak aku terpaku di depan pintu bayangan sosok ayah dan sarungnya terus berkelebat kian kemari. Tak kuhiraukan temaram lampu dapur yang berkedip – kedip dan mulai meremang hendak putus, kupandangi nasi dan lauk karyaku, tak beselera...terkenang sambal buatan amak, sambal dari cabai hijau yang digiling kasar dan berlinang minyak, enak dan pedasnya membuatku melayang, dua hingga tiga piring nasi kandas olehku, kuakui amak memang pandai meracik sambal, ayah saja kalah dengannya.
Kulirik toples tinggi di meja sudut dapur bermuatkan keripik balado yang disiapkan ayah, agak malas kuraih toples itu. Sunyi tak ada suara, kecuali bunyi gerahamku yang asyik melindas keripik, jelas sekali suaranya hingga memecah malam yang beranjak tua.
Dengan setelan kemeja dan celana dasar yang agak kusut, aku menyambangi cinto kampuang, perasaan ragu dan kesal timbul tenggelam dalam benakku. “Assalamualaikum” suaraku bergetar, tak ada jawaban dari ayah, tangannya tetap asyik mengaduk nasi dalam termos besar berwarna merah, ayah seolah tak memperhitungkan kehadiranku. Sejenak kuperhatikan tubuh ayah kian kurus, matanya cekung, rambut tipis yang kucai tak lagi mengenal minyak kemiri sepertinya. Ayah melirikku dengan ekor mata. Tak lama datang beberapa teman dekat ayah “ai..ado Syarif anak wa ‘ang Yung, la bujang iko, tambah ganteng sajo wa’ang Rif” aku tersenyum tipis dan menyalami mereka.
Obrolan kecil terjadi di antara mereka, namun lagi – lagi obrolan itu tak ayal membuatku sesak, lantaran yang mereka perbincangkan adalah perihal sarung ayah yang kian berkhasiat, sebentar – sebentar mereka cekikikan sambil asyik mengunyah kacang tojin, dihiasi irama pop minang yang bersemangat, sesekali ayah melirikku yang membisu dengan ekspresi tak menentu.
Menjelang cinto kampuang tutup , aku mengajak ayah duduk, dengan sangat hati – hati aku buka pembicaraan “ayah ...ambo minta maaf karena menyakiti perasaan ayah, tapi permasalahan ini indak boleh dibiarkan berlarut – larut, sekali lagi ambo minta maaf yah, mengenai kain sarung ayah” suaraku terhenti, ragu kian menyergap tapi aku berusaha untuk melanjutkannya “dalam aturan islam itu sudah dianggap menyimpang, kito indak boleh picayo dengan benda – benda semacam itu, sasek itu yah, dan itu berarti syirik” plong sekali rasanya usai mengeluarkan kalimat itu.
Seperti yang kuduga, tangan kurus ayah menggebrak meja, “ hei...Syarif, wa’ang tau sarung ayah tu peninggalan pa etek ayah, jadi sudah sepatutnyo kalu ayah pelihara sarung itu dengan baik, wa’ang indak parlu mengajari ayah, apo wa’ang la meraso hebat? Bapikialah Rif..berkat siapo wa’ang pacak jadi urang cadiak tu, berkat ambo Rif..berkat ambo ko ha...” suara ayah meninggi dan tangannya menepuk – nepuk dada, nafasnya turun naik berserabutan, mata ayah menajam bak sembilu dan menembus kaca mata minusku, semua pertahananku luruh, aku pulang dengan langkah terseok – seok dan tubuh sedikit oleng, berkali – kali aku menyeka rambut dan membenarkan letak kaca mata yang baik – baik saja.
Rinai – rinai gerimis merebak dan mulai merapat membalut subuh yang menggigil, di bawah temaram lampu jalanan kupercepat langkah pulang dari masjid, berkali – kali aku beristighfar meredam perasaan yang tak menentu. Fajar yang mencekam, meskipun rinai hujan telah menyerah, dari kejauhan mataku menangkap gumpalan asap tebal, jantungku berdegub kencang saat beberapa orang mulai berlarian sambil meneyebut – nyebut cinto kampuang, spontan aku melesat menyingkap kabut yang masih menggeliat.
Berdiri tepat di depan cinto kampuang, hampir aku tersungkur, aku berharap ini mimpi, namun teriakan orang – orang disekitar menyadarkanku ini bukanlah mimpi. Ini benar, aku menyaksikan cinto kampuang yang meregang nyawa berselimutkan kobaran merah yang mengganas, bukan...bukan cinto kampuang yang aku khawatirkan, tapi ayah...sirine pemadam kebakaran meraung – raung menyayat fajar yang membisu, jiwa ragaku benar – benar luruh tak kuasa melawan gelombang.
tegak di depan pintu rumah, terus kurayu lisanku untuk beristighfar meski kelu, menekan gagang pintu terasa begitu berat. Aku benar – benar tersungkur saat pintu terbuka sempurna, kudapati sosok itu, ayah...wajah dengan lukisan beribu cemas itu ditekuk dalam, kedua tangan memeluk lutut, benarkah itu ayah? Tanpa ba bi bu kupeluk ayah, tak ada reaksi sedikitpun dari ayah, “ambo cemas yah...” tangisku pecah “apo yang wa’ang tangisi Rif? Ayah indak tau dari mano asal api itu, harusnyo ayah indak parlu menyelamatkan diri” suara ayah terdengar parau, seperti mengutuk diri sendiri, “ayah” !!! suaraku meninggi.
Awan hitam masih menyelimuti rumah serta penghuninya, sudah dua hari ayah memeram diri di kamar yang temaram, tiap kali aku mengetok pintu selalu jawaban yang sama kuterima. “wa’ang indak parlu hiraukan ayah Rif “. Ini sudah hari ketiga ayah memeram diri, keluar hanya untuk keperluan buang air dan mengambil sepiring nasi. Aku sudah lelah membujuk ayah, pagi ini aku berencana ke kota untuk mencari peralatan bengkel yang tak kuperhatikan belakangan ini, nasi dan lauk serta sambal hijau telah kusiapkan, meski aku tak bisa menjamin rasanya.