Mohon tunggu...
aibnu zaeni
aibnu zaeni Mohon Tunggu... -

Pekerja swasta di perusahaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

#Lakon Jokowi: Petruk Dadi Watu

26 Februari 2015   16:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

oleh: AIBNU ZAENI

Kegaduhan belum sepenuhnya akan mereda. Masih di seputar krisis leadership dan blunder yang sengaja diciptakan sendiri oleh Presiden Jokowi. Setelah mengusulkan Badrotin Haiti untuk calon baru  Kapolri ke DPR—bukan  melantik BG yang semula diusulkannya dan sudah disetujui DPR—sekarang Jokowi tak bisa mencegah terkuaknya beberapa kebenaran yang disembunyikannya di balik kegadu- han yang sudah berlangsung lebih sebulan itu.

Terkuaknya kebenaran ini membuka tabir yang selama ini menutup siapa sejati- nya mantan Gubernur DKI yang kerap disebut Petruk itu. Selama ini mesin pencitraannya telah secara massif dan sistimatis mengebiri nurani dan nalar publik.  Instrumen itu bekerja  efektif mengangkat, mempertahankan, dan meng- optimalkan persepsi baik dan penerimaan publik terhadap Jokowi. Sukses mencitra- kan pemihakannya pada publik murni tulus semata untuk kepentingan publik. Padahal nyatanya Jokowi cuma bak tamsil musang berbulu domba, tak lepas dari pemihakan- nya  pada  kepentingannya sendiri serta para kroni dan begundalnya dengan seli- mut pemihakan pada kepentingan publik.

Salah satu kebohongan publik dan tinda kan manipulatifnya dalam menunggang dukungan publik adalah tentang pengusu- lan dan pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri baru pengganti Jenderal Sutarman. Pada mulanya, pengusulan itu sebenarnya adalah kreasi dan inisiatif Jokowi sendiri. Kisahnya berawal sejak secara mendadak dan terkesan mencuri-curi kesempatan—bahkan Wapres JK kabarnya mengaku terkejut—Presiden pada 31 Desember 2014 melaksanakan niatnya yang sudah lama tertunda, melantik sobat karib dan kongsi bisnisnya selama hampir 20 tahun terakhir, yaitu Luhut Binsar Panjaitan sebagai  Kepala Staf Kepresidenan. Jabatan setingkat menteri kabinet yang mengelola dan mengoordinasikan sebagian besar tugas presiden. (Baca Majalah Tempo edisi 9 – 15 Februari 2015).

Sebelum dan sesudah melantik Luhut,  Jokowi menduga Ketua Umum PDIP Megawati, partai yang mengusungnya ke kursi presiden, tidak nyaman dengan posisi Luhut sepenting itu di lingkaran terdalam Istana. Memang sejak masa kampanye pilpres Jokowi sudah mendengar rumor bahwa Megawati telah bertahun-tahun lamanya memendam kesal pada Luhut yang dulu mundur dari posisi Menteri Perdagangan & Perindustrian bersamaan dengan naiknya Megawati sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur. Itulah yang membuat Jokowi maju mundur melantik Luhut. Toh Jokowi akhirnya melantik Luhut dengan kalkulasi memiliki alat tawar menawar yang kuat kepada Megawati bila kemudian hari timbul soal serius.

Padahal buat apa alat tawar menawar, sebab realitasnya Megawati tak pernah sama sekali menyoal rencana  jabatan Luhut. Sesudah Luhut dilantik pun tidak pernah Megawati memprotes pelantikan dan posisi penting Luhut tersebut. Namun, agaknya, Jokowi merasa dikejar-kejar oleh dugaannya tentang ketidaknyamanan Megawati. Seorang teman pribadi Jokowi, yang kerap jadi teman curhatnya bila menghadapi benturan psikologis dengan Megawati yang justru bertanya kepada Jokowi. “Sudah mengira akan ganggu perasaan Jenengan, lha kok masih tetap melantik Luhut?” Jokowi kontan menjawab, “Mas….Luhut itu sahabat lama dan kongsi dagang saya sudah puluhan tahun.”

Setelah melantik Luhut, Jokowi meminta sobatnya itu bergerilya mendekati Megawati melalui berbagai pintu. Jalur-jalur resmi PDIP maupun jalur anak-anak Megawati ditempuh sang jenderal. Namun semua tak menembus dinding. “Karena memang tidak ada yang harus diselesaikan dengan Luhut. Dia menjabat apapun ya itu urusan presiden, bukan urusan PDIP atau Ibu,” kata seorang sumber dalam di kediaman Megawati, jalan  Teuku Umar, Menteng.

Namun bagi Jokowi tak ada yang tidak mungkin untuk seorang kroni bisnis dan sobat lamanya. Untuk seorang Luhut dan untuk yang kuat diduganya akan ganggu posisi Luhut, Jokowi bisa melakukan apapun. Maka datanglah Jokowi menemui Megawati pada 8 Januari 2015. Sebelum menuju Teuku Umar, Jokowi lebih dulu memerintahkan Andi Widjajanto membuat surat pengajuan BG sebagai calon Kapolri kepada DPR. (Baca Majalah Tempo edisi 9 – 15 Februari 2015, hal.38).

Dengan ekspresi tubuh kadang gemulai kadang kukuh laiknya ekor kebo, Jokowi sekonyong-konyong melisankan proposal- nya: mengangkat BG sebagai Kapolri baru menggantikan Sutarman. Ya, benar. Jokowi—yang publik tahu lugu dan kadang cengengesan tanpa sebab itu---sedang melancarkan pertukaran besar dan sepadan demi jabatan dan wewenang besar pula yang dipercayakannya kepada kroni bisnisnya tadi.

Terkesan melayani dan mengabdi bahkan menjilat PDIP serta Megawati, padahal Jokowi sedang menjalankan agendanya sendiri: memantapkan Luhut pada posisinya untuk rekan seiring (bersama Rini Soemarno dan Andi Widjajanto) mengawal berbagai kebijakan yang memihak asing dan Neolib—yang sudah memasok dukungan besar dalam pilpres. Nyata dengan gamblang Jokowi tidak sedungu wajahnya. Indikasinya, di tangan Jokowi Triksakti berubah menjadi Liberalisasi, Deregulasi, dan Privatisasi

Merespon proposal lisan dari Jokowi, dengan enteng Megawati menukas: “Lha  Pak Joko kok aneh to. Waktu bentuk kabinet, ingat lho KPK sudah kasih rapor merah lho.” Tapi bukan Jokowi kalau menyerah mengamankan agenda pribadi dan kroninya. “Maaf Ibu, rapor merah itu hanya untuk menteri. Beda Bu, ini Kapolri prerogatif saya, tidak pake KPK,” pungkas Jokowi kepada Ketua Umum PDIP. Sembari melipat-lipat tissue di jemarinya, Megawati masih menyatakan ketidaksetujuannya pada proposal lisan Jokowi. “Mbok yo ndak  buru-buru.  Lebih baik bertahap saja to.’’

Jokowi pamit dengan menyatakan tetap akan mengangkat BG sebagai Kapolri. Sebagaimana kita tahu, benar Presiden Jokowi resmi mengusulkan BG sebagai Kapolri ke DPR—dengan surat yang diperintahkan pembuatannnya kepada Andi Widjajanto tadi.

Keputusan pengusulan pencalonan itulah yang memulai semua ingar bingar kagaduhan yang merembet ke mana mana. Itu juga lantaran dibocorkannya surat pengajuan tersebut dengan sengaja kepada pers justru oleh Andi Widjajanto sendiri. (Baca Majalah Tempo edisi yang sama).

Semasa hidupnya, ayah Andi yaitu Letjen Theo Safe’i pernah secara kekeluargaan menitipkan anaknya ini menjadi anak politik Megawati. Kepenti- ngan Neolib membuat Andi Widjajanto tega membalas Megawati dengan air tuba

Sepanjang kegaduhan itu berlangsung Megawati menjadi sasaran tudingan sebagai biang keladinya, sebagai pihak yang sangat menekan presiden dan mengharuskan presiden mengangkat dan melantik BG sebagai Kapolri baru. Padahal jauh panggang dari kenyataan. Megawati lagi-lagi menjadi sasaran kezaliman para pemain politik dan pemain opini.

Megawati membisu, menerima semua tohokan dari mayoritas opini publik yang dikreasikan untuk menudingkan salah dan bobrok kepadanya. Presiden RI ke-5 itu dalam sekejap menjadi musuh bersama. Ternista dan dianiaya secara politik. Ia praktis sendirian menahan semua kezaliman dan kekerasan politik yang dikreasikan oleh instrumen enjinering opini kubu Jokowi untuk dihantamkan kepada Megawati. Banyak yang menyesalkan tidak adanya inisiatif dari Presiden Jokowi untuk berterusterang kepada publik bahwa dirinyalah yang seharusnya dituding sebagai biang keladi semua kekisruhan yang terjadi. Bukan Megawati. Sebab sesungguhnya adalah Jokowi yang menyodorkan inisiatif mengangkat BG sebagai Kapolri untuk tujuan terselubung pemantapan posisi kongsi dagangnya di kursi Kepala Kantor Kepresidenan.

Setelah Megawati teraniaya oleh enjenering opini dari mesin opini kubu Jokowi, puteri Bung Karno itu hanya ingin melihat adanya sikap gentleman dan tanggungjawab Jokowi atas apa yang sudah dimulai dan sudah dilontarkan mantan Walikota Solo itu. Nyatanya Jokowi bersama Trio Macan Istana dengan sangat sengaja telah melempar batu lantas sembunyi tangan. Seluruh akibat busuknya kemudian dikreasikan untuk ditudingkan kepada Megawati. Pada saat-saat sedemikian, ke mana gerangan menghilangnya para tokoh yang baru lalu secara kompak menyodorkan Jokowi dan mendesak Megawati agar memilih Jokowi sebagai anak kandung terbaik PDIP untuk calon Presiden RI. Ya kemana mereka para tokoh pendukung dan para pelobbi untuk Jokowi itu?  Sabam Sirait, James Riady,  Cornelis Lay, Andi Widjajanto (yang kini sudah bersama Luhut di jantung Istana)...... Mengapa mereka tidak berinisiatif mengingatkan jagoannya yang kini presiden agar tidak membangun popularitas dan dukungan publik dengan melempar salah dan bobroknya sendiri kepada ketua partai yang mengandungnya sebagai kader terbaik dan melahirkannya sebagai presiden?

Atau jangan-jangan posisi dan jalan sebagai anak durhaka—jadi tuli, buta, lantas membatu sebagaimana legenda Malin Kundang atau Sangkuriang—dengan sengaja kini telah dipilih Jokowi dan para tokoh pendukungnya itu (bersama mesin pencitraannya). Tentu dengan maksud membusukkan Megawati sehingga menemui aral melintang menduduki kembali kursi Ketua Umum PDIP dalam kongres April nanti. Sebagai penguasa baru, mudah bagi Jokowi  (dengan Luhut, Andi W, dan Rini yang mampu mengonsolidasikan puluhan trilyun dari pundi BUMN) untuk membangun kekuatan guna menggerus dan menjungkir Megawati dari pucuk PDIP. Dengan mereka, Jokowi tidak sedungu wajahnya. Mudah pula bagi mereka melakukan pembusukan kepada Megawati—dengan issue apa pun yang mereka hendak kreasikan. Terbukti instrumen opini mereka yang sangat mahal dan canggih itu telah sukses memutar balik dari seharusnya Jokowi menjadi Megawati sebagai biang bobrok sasaran tudingan publik dalam soal KPK-POLRI.

Kegaduhan belum sepenuhnya akan mereda. Dengan berjuta para korban penipuan mesin pembentuk opini kubu Jokowi, yang akan disebut oleh Jokowi sebagai opini publik dan lantas menjadi landasan dan tunggangan Jokowi sebagai Presiden (seluruh rakyat) Republik Indonesia untuk menentukan berbagai keputusannya kelak—sebagaimana ia melandaskan keputusannya tentang calon baru Kapolri 18 Februari lalu. “Mengingat pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan telah menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat…,” begitu saja klausul pertimbangan Jokowi (yang pura-pura bengong itu) mendasarkan keputusannya bagai dalang memainkan atau tidak memainkan wayangnya.

Bandul sejarah memihak siapa, Jokowi dengan para kroninya atau publik mayoritas yang sebenarnya? Waktu akan menjawabnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun