Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketuhanan atau Tuhan Yang Maha Esa?

30 Oktober 2024   14:21 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pancasila merupakan dasar dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti halnya fondasi merupakan yang pertama dalam membangun suatu gedung, seperti itulah Pancasila bagi bangsa Indonesia. Tanpanya, sulit dibayangkan suatu negara yang adil makmur sentosa. Sebagai suatu tujuan, Pancasila merupakan nilai-nilai yang menjadi cita-cita seluruh Rakyat Indonesia: bahwa bangsa ini menghayati dan mempraktikkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial.

Dalam tulisan ini, saya membatasi diri pada sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hal ini tidak berarti saya mengesampingkan keempat sila lain, sebab Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Mustahil seseorang mengatakan bahwa "saya hanya taat pada salah satu perintah Allah dan menolak yang lain".

Tulisan ini adalah sebuah refleksi tentang kata "TUHAN" dan KETUHANAN". Dalam beberapa literatur, sila pertama Pancasila langsung dikaitkan dengan kepercayaan terhadap "TUHAN YANG MAHA ESA". Memang kaitan ini penting, mengingat mayoritas penduduk Indonesia menyatakan diri bertuhan dan beragama. Namun, apakah memang kata "TUHAN" itu sama saja (identik) dengan "KETUHANAN"?

Dari segi kebahasaan, kata TUHAN merupakan nama bagi yang Tertinggi. Konsep ini juga masih belum bisa mewakili semua pemeluk agama. Ada banyak pendekatan yang bisa diberikan agama-agama tentang TUHAN. Anselmus Canterbury menyebut TUHAN sebagai "yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya." Artinya, Tuhan-lah yang terbesar. Kata "TUHAN" seharusnya menjadi kata yang Istimewa, tidak bisa didekati melulu secara akal budi, tetapi dihayati dalam pengalaman hidup sehari-hari. Itulah mengapa agama bukan hanya tentang ortodoksi (ajaran benar), tetapi juga ortopraxis (Tindakan yang benar). Immanuel Kant mengatakan bahwa TUHAN berbicara melalui suara hati manusia sebagai kebenaran mutlak yang menjamin tindakan moral.

 Lalu, apakah kata TUHAN itu sama dengan KETUHANAN? Saya pikir tidak sesederhana itu. Sebab, jika pendekatan terhadap TUHAN merupakan domain agama, maka KETUHANAN bisa menjadi pengakuan publik, dalam hal ini negara, terhadap suatu relasi terhadap yang Tertinggi. Kata KETUHANAN inilah yang menjembatani pandangan berbagai agama dan kepercayaan yang tumbuh di Indonesia. KETUHANAN tidak membuat agama sebagai suatu KEWAJIBAN, PAKSAAN dan TEROR, melainkan kebebasan untuk menganut agama sesuai dengan kebebasan dan hati nuraninya masing-masing.

Suatu contoh bisa membantu meskipun terbatas. Kita tahu buah yang bernama "Apel". Apel sebagai suatu buah juga bisa dilihat secara nyata: bentuk, warna, rasa dan ragam variannya. Tetapi, bisakah kita mengetahui "Ke-apel-an", yaitu ciri-ciri fundamental yang perlu ada supaya kita mampu membedakan "apel" dengan "yang bukan apel"? Dalam arti tertentu, KETUHANAN adalah nilai-nilai yang membedakan orang "BERTUHAN" dan yang menyebut TUHAN sambil hatinya menjauh dari Tuhan, bahkan penuh rencana jahat.

Maka, KETUHANAN merupakan ciri-ciri yang menandai seorang yang "BERTUHAN". Menjadi orang bertuhan berarti mengakui suatu relasi dengan yang Mahabaik dan Mahatinggi, yang mengatasi keterbatasan dan keberdosaan dirinya. Pengakuan ini tidak melahirkan sikap sombong dan ambisius, sebab dua sifat ini mendorong kita berusaha menjadi seperti TUHAN atau menjadi TUHAN bagi sesama kita. Sebaliknya, KETUHANAN membangkitkan SIKAP rendah hati, mau mengampuni dan berusaha menjauhkan diri dari "Yang bukan TUHAN", yaitu kejahatan.

Sungguh sebuah ironi apabila sebagai bangsa yang mengaku "BERKETUHANAN", kita dibanjiri oleh perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan nilai ini. Jika sampai pemahaman seperti ini, saya memilih untuk memukul dada dan menyesal sambil berkata: "saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa". Kemudian saya berusaha menjalin relasi yang otentik dengan Tuhan, sesama dan alam ciptaan. Sila ini mengantar kita untuk menghayati dan mempraktikkan empat sila yang lain.

Salam Pancasila!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun