Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Tak Harus Disertai Kekerasan: Akhir Tragis Cromwell

28 April 2022   08:00 Diperbarui: 28 April 2022   08:07 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Upaya Oliver Cromwell (1599-1658) untuk mereformasi bentuk pemerintahan Inggris (monarki) yang dinilainya korup dapat disaksikan dalam film To Kill a King (2002). Ia mendesak Raja Inggris untuk melakukan reformasi hukum sebagai dasar akan adanya kebebasan bagi rakyat. Ia juga mengingatkan sang raja akan mandat Magna Carta, dimana raja berjanji untuk melindungi segenap rakyatnya.

Jenderal Fairfax, rekan seperjuangan Cromwell menjadi saksi kegagalan upaya Cromwell karena bentuk pemerintahan Inggris tidak berubah pasca sang raja dipenggal. Raja Charles I dipenggal setelah dinyatakan bersalah di depan parlemen Inggris. Raja mati-matian mengklaim bahwa kekuasaannya diperoleh langsung dari Tuhan.

Cromwell merupakan seorang komandan militer yang berasal dari keluarga non-bangsawan. Hal ini berbeda dengan Jenderal Fairfax yang berstatus bangsawan. Setelah Raja Charles I dipenggal, Cromwell melakukan banyak serangan ke wilayah koloni Inggris, termasuk Skotlandia. Ia bertindak brutal dengan menganeksasi banyak wilayah. Tindakannya tidak jauh berbeda dari raja Charles yang sudah digulingkannya. Pada akhirnya, Cromwell menduduki jabatan sebagai Lord Protector of England, Ireland and Scotland hingga akhir hayatnya.

Perjuangan Cromwell berakhir naas. Jenderal Fairfax dan Holles (pemimpin Parlemen Inggris) mendapat pengampunan dari raja Charles II. Mayat Cromwell digali dari kuburnya dan digantung di pintu gerbang kota sebagai peringatan kepada rakyat yang berani melawan kekuasaan raja. 

Revolusi yang dibuat oleh Cromwell, meskipun singkat, berhasil menorehkan babak baru dalam sejarah Eropa. Revolusi Perancis pecah 130 tahun kemudian dan melahirkan zaman politik modern.

Saya merefleksikan peristiwa ini dengan bantuan pemikiran politik Rousseau mengenai negara. Menurut Rousseau, negara (dalam hal ini pemerintah) merupakan representasi dari kehendak umum (volonta generale). Rousseau mengajukan suatu konsep negara demokrasi yang radikal. Dalam praktiknya, demokrasi semacam itu akan ditandai oleh The Age of Terror. Cromwell di Inggris dan Robessphiere di Prancis akan menjadi pengawal aksi teror yang mengatasnamakan revolusi.

Negara terdiri atas tiga unsur yang tak terpisahkan satu sama lain yaitu daya pemaksa, kekuatan hukum dan otoritas legitim. Kaum revolusioner berupaya memenuhi kedua aspek pertama tetapi mereka tidak sanggup memenuhi unsur ketiga. Cromwell kehilangan kepercayaan baik dari kalangan Parlementaria maupun kalangan Royalis Kerajaan akibat brutalitasnya. Robessphiere meninggal di bawah pisau guillotine akibat Reaksi Thermidor. Kedua tokoh ini mengajarkan kita untuk menghindari jalan kekerasan sebagai upaya penyelesaian persoalan politik. Kekerasan akan kembali pada tubuh inisiatornya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun