Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekelumit Perbandingan Relasi Intersubjektif Martin Buber dan Emmanuel Levinas

26 April 2022   08:00 Diperbarui: 26 April 2022   08:04 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Martin Buber (1875-1965) dan Emmanuel Levinas (1906-1995) merupakan dua filsuf Yahudi yang membahas intersubjektivitas atau relasi antar pribadi. Bagi keduanya, relasi antar pribadi merupakan suatu hal yang sangat esensial.Paling kurang ada dua kesamaan pandangan di antara keduanya. Pertama, mereka melihat bahwa Aku tidak pernah ada untuk dirinya sendiri. Bagi mereka, Aku hanya bisa menjadi Aku karena Engkau

Mengikuti fenomenologi, Levinas memandang bahwa Aku senantiasa berciri intensional, yaitu terarah pada yang lain. Sementara itu, Buber memandang bahwa Aku selalu berada dalam relasi dengan benda-benda (Ich-Es); dengan sesama manusia (Ich-Du) dan dengan Allah (Ich-Du). Martin Buber melihat bahwa orang lain itu merupakan rahmat bagiku.

Kedua,relasi antar pribadi selalu terjadi di dalam pengalaman perjumpaan dengan yang lain. Bagi Levinas, perjumpaaan itu terjadi dalam penampakan wajah (l’epiphanie du visage). Sementara itu, Buber berpandangan bahwa Aku tidak menguasai atau menggunakan Engkau. Sebaliknya, Aku menjumpai Engkau. Perjumpaan merupakan salah satu kategori khas bagi dunia ini.

Adanya kesamaan pandangan tidak meniadakan perbedaan di antara keduanya. Kiranya beberapa perbedaan bisa ditunjukkan di sini. Pertama, ada perbedaan pandangan yang mencolok tentang bagaimana mereka memandang yang lain. Levinas memandang bahwa orang lain itu bersifat otonom dan berada di luar cengkeraman Aku.

Dalam bukunya, Totalitas dan Tak Berhingga, Levinas mengkritik subjektivitas yang selama ini dipahami dalam filsafat. Bagi Levinas, seluruh filsafat Barat adalah filsafat dari Yang Sama: dari Ego (aku) kembali pada Ego (aku). Menurut Levinas, dalam perjumpaan dengan yang lain, Totalitas atau Ego itu didobrak. Aku berjumpa dengan Tak Berhingga karena penampakan wajah yang mempunyai makna secara langsung. Sementara itu,  yang dimaksud dengan Eksterioritas adalah bahwa orang lain adalah orang asing, suatu transendensi.

Kedua, dalam hal relasi antar pribadi. Bagi Levinas, relasi antar pribadi adalah relasi etis yang bertumpu pada tanggung jawab terhadap orang lain. Aku tidak bisa menuntut tanggung jawab dari orang lain. Sebaliknya, Aku bertanggung jawab terhadap orang lain. Kewajiban itu tidak bersifat timbal balik atau non-resiprok. Inti pemikiran filosofis Levinas adalah Substitusi. Di hadapan wajah orang lain, aku bertanggung jawab. Lebih daripada itu, aku bersalah atas kesalahan orang lain.

 Sementara itu, Buber memandang bahwa relasi antar pribadi itu bersifat simetris dan timbal balik (resiprok). Namun, relasi itu juga bisa mengalami kemunduran (regresi) menjadi relasi Aku-Benda (Ich-Es). Hal ini bisa terjadi jika Aku memanfaatkan orang lain demi kepentingan diriku. Aku tidak memandang orang lain sebagai sesama, melainkan sebagai alat. Relasi antar pribadi memuncak dalam relasi dengan Allah sebagai Engkau yang kekal. Di hadapan Allah, manusia hanya bisa mengenal Allah dalam ketaatan dan iman.

 Evaluasi kritis:

 Martin Buber dan Emmanuel Levinas merupakan dua filsuf Yahudi yang tetap mempertahankan identitas mereka dalam pemikiran filosofis. Terhadap pandangan mereka berdua mengenai intersubjektivitas, saya memberikan sebuah catatan kritis.

Jika Heidegger mengatakan, “Seluruh sejarah pemikiran filsafat Barat adalah sejarah pelupaan akan Ada”, maka pemikiran Levinas bisa dibahasakan dalam ungkapan “Seluruh sejarah filsafat Barat adalah sejarah pelupaan akan Wajah Orang Lain.” Saya mengutip Michael Barnes yang menjelaskan perbedaan sudut pandang Heidegger dan Levinas dalam memandang Orang Lain. Bagi Heidegger, orang lain juga ikut serta dalam projek pembentukan subjektivitas secara berdampingan (side-by-side). Di lain pihak, Levinas menempatkan orang lain berhadap-hadapan dengan Aku.

Relasi antar pribadi dalam pemikiran Martin Buber masih setara. Sementara itu, relasi antar pribadi dalam pemikiran Levinas tidak sejajar atau tidak setara. Di satu sisi, hal ini membuka perspektif baru bagi kita untuk melihat orang lain. Jika kita masih memandang orang lain sebagai Aku yang lain, maka Aku selalu bertindak sebagai ukuran dan hakim bagi orang lain.

Kedua filsuf ini tidak bisa dilepaskan dari komunitas Yahudi yang berpegang pada tradisi tertentu. Komunitas Buber berbeda dengan Levinas. Karena itu, tekanan pada pemikiran mereka juga berbeda. Buber tinggal di dalam komunitas yang memegang teguh loyalitas terhadap tradisi dan guru (pengajar). Karena itu, “yang lain” sebisa mungkin direngkuh menjadi bagian dari komunitasku supaya mendapat pembinaan menjadi manusia yang utuh.

 Menurut Buber, relasi antar manusia itu dinamakan relasi Ich-Du. Kedua kata ini adalah satu kesatuan. Saya tidak bisa ditempatkan di luar relasi. Pada mulanya adalah relasi. Relasi ini disebut Perjumpaan dan bersifat spontan, menerima dan melihat orang lain sebagai subjek. Relasi itu juga bersifat terbuka dan timbal balik.

Di samping itu, manusia mudah sekali jatuh ke dalam relasi Ich-Es. Relasi ini sedianya terjadi antara manusia dengan yang bukan manusia. Ciri relasi seperti ini adalah Pengalaman. Aku melihat yang lain sebagai objek, sarana, dan sesuai dengan kepentinganku.

Emmanuel Levinas mengkritik pemikiran Buber. Baginya, Aku sama sekali berbeda dengan Engkau. Menurut Levinas, pada mulanya adalah tanggung jawab. Di hadapan penampakan wajah orang lain, aku dipanggil untuk bertanggungjawab. Jika Martin Buber melihat bahwa relasi antar pribadi ditandai dengan pengenalan/jasa, Levinas berpendapat bahwa tanggung jawab itu bersifat cuma-cuma. Dengan demikian, etika menjadi filsafat pertama dan bersifat ontologis.

Kendati berbeda, pemikiran kedua filsuf Yahudi itu masih memiliki tekanan terhadap adanya relasi dengan Yang Absolut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari religiositas mereka sebagai orang Yahudi.

Sebagai pembanding, pemikiran Martin Heidegger itu berbeda sama sekali. Ia melihat manusia sebagai Dasein yang terlempar begitu saja ke dalam dunia. Manusia itu egois dan sendirian. Di sampingnya ada das man, manusia yang tidak otentik dan impersonal. Dasein berusaha untuk mencapai kepenuhan potensi dirinya lewat persaingan atau perlombaan yang bersifat positif. Orang lain ikut dalam proyek pengembangan diriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun