Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Sakramen Tobat/Pengakuan Dosa: Review Buku

24 April 2022   08:00 Diperbarui: 24 April 2022   08:02 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul Buku: Making Sense of Confession: A New Approach for Parents, Teachers and Clergy.

Editor: Otto Betz

Diterjemakan ke dalam Bahasa Inggris oleh: Hilda Graef

Kota/Penerbit: (Chicago: Franciscan Herald Press), 1968

Buku ini berisi pendekatan baru bagi penghayatan Sakramen Pengakuan Dosa (Sakramen Tobat, Rekonsiliasi). Pesan Kristus yang paling utama adalah: "Bertobatlah"! Dalam Injil Lukas 24: 47 tercatat, "Dalam nama Yesus Kristus, berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa." Sakramen Tobat merupakan salah satu tanda dan sarana kerahiman Allah bagi umat beriman yang ingin berdamai dengan Allah setelah renggang relasi akibat dosa.

Akan tetapi, sakramen ini tidak selalu dihayati secara mendalam. Perjumpaan dengan Kristus tidak jarang membawa "Krisis". Karena itu, adalah kewajiban bagi semua pendamping dan pembina iman untuk mampu mengambil kesempatan ini demi perkembangan pribadi menuju kedewasaan.

Kebaruan yang ditawarkan oleh buku ini adalah cara pandang terhadap "Sakramen Tobat". Sebelumnya, penekanan diberikan pada upaya "rekolektif" yaitu melihat ke belakang. Padahal, tujuan utama "berbalik dan kembali pada Tuhan" adalah perkembangan pribadi di masa yang akan datang. Karena itu, penulis buku ini menawarkan beberapa usulan.

  • Penitensi tidak hanya fokus pada apa yang sudah terjadi, tetapi juga apa yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Dosa pertama-tama adalah penolakan atas pesan keselamatan Allah dan rencana-Nya bagi kehidupan setiap umat beriman.
  • Pengakuan dosa yang "formal" saja tidak cukup. Harus ada pendampingan di luar konteks Sakramen agar meningkatkan rasa percaya lewat percakapan penuh persahabatan. Dalam hidup religius, hal ini dikenal dengan nama "Bimbingan Rohani, Colloquium, dsb".
  • Pembentukan suara hati adalah seni yang terbentang di antara dua tegangan yaitu: "Keketatan prinsip-prinsip iman" dan "kebebasan pribadi atau pilihan manusiawi". Yang satu tidak meniadakan yang lain.
  • Tak dapat dipungkiri bahwa ajaran-ajaran moral Kristiani kurang dibawakan hingga "kena" dan "menggigit". Selain itu, "pemeriksaan batin" bukanlah kebiasaan yang rutin dilakukan oleh setiap orang.

Sakramen Tobat dan hati nurani adalah dua sisi tak terpisahkan. Hati Nurani merupakan sebuah kapasitas manusiawi (keterarahan pribadi pada Tuhan) yang dapat dibentuk. Pembentukan itu terkait erat dengan kemampuan "mencintai". Hindari garis kaku (paksaan dan dibuat-buat) dan garis lembek (ikut-ikutan). Seorang pendamping memberi bantuan untuk pertumbuhan dan perkembangan suara hati dengan cinta, yaitu dengan kombinasi dinamis antara kedua "garis" di atas.

Seorang anak dalam arti tertentu perlu menerima "Batasan" yang wajar dalam bentuk "tekanan". Tekanan itu bisa berupa anjuran, pertanyaan reflektif, teguran persaudaraan dan intervensi yang wajar atas tindakannya. Benarlah hukum berikut ini: jika yang ditekan adalah kebaikan maka keburukan akan muncul. Jika kejahatan ditekan, kebaikanlah yang akan muncul. Karena itu, tidak benar bahwa seorang anak dibiarkan berkembang seorang diri dan dibiarkan bertindak sebebas-bebasnya.

Pada usia awal (1-3 tahun), suara hati dibentuk melalui afeksi. Orang tua (ayah, dan terutama ibu) tidak boleh tidak konsisten dalam memberi didikan terhadap suara hati. Setelah tiga tahun, sosok orangtua mulai "berpindah" menjadi "suara di dalam hati".

Mulai usia 7 tahun, seorang anak biasanya mulai "memberontak". Orangtua perlu mulai memperkenalkan "garis-garis moral" pada anak. Pada usia ini, seorang anak bisa mengenali aturan dalam permainan secara ketat. Karena itu, mereka juga pasti bisa mengenali aturan "moral" secara bertahap. Inilah saat yang tepat untuk mulai mengajarkan "minimun sense of justice". Hal ini merupakan bantuan orangtua yang sangat penting agar anak tidak bertumbuh menjadi "koruptor, pencuri, penjahat, dsb.  

Usia remaja biasanya dihiasi dengan rasa enggan pada "kritik". Proses menuju kedewasaan adalah proses seumur hidup. Melalui evaluasi atas pilihan-pilihannya, seorang anak dituntun menuju kedewasaan moral yang menjadi tujuan dan penunjang utama hidup yang baik. Seorang remaja bisa memahami perbedaan-perbedaan istilah seperti "rasa sesal" (contrition), "repentance" (melakukan kebajikan), kejahatan, rasa bersalah, dsb.

Beberapa hal perlu dihindari. Seorang anak tidak bisa menerima tekanan moral terlalu keras pada usia di bawah 7 tahun. Karena itu, Kitab Hukum Kanon baru menyatakan bahwa seorang anak dikatakan dewasa (artinya mampu menggunakan akal budi) terhitung pada usia 7 tahun. Waspadai juga bahaya Legalisme (melihat sakramen tobat sebatas hukum, tuntutan, absolusi dan bebas-lepas dari dosa, untuk nantinya berbuat dosa yang sama). Tak bisa dipungkiri bahwa praktik ini bisa menuntun pada sikap "Farisi Kristiani".

Seorang anak juga perlu menerima Sakramen Pengakuan Dosa sebelum Komuni. Sebab, yang akan ia terima adalah Yesus Sang Penyelamat. Tuhan Yesus datang pertama-tama sebagai penyelamat atas dosa-dosa yang tak akan mampu dibayar oleh manusia. Mengaku dosa ibarat membuka tutup pasta gigi. Suara hati menekan jiwa agar mau mengakui kesalahan dan mohon ampun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun