Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bedah Novel Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer)

22 April 2022   08:00 Diperbarui: 22 April 2022   17:01 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. Ia pernah menjadi juru ketik kantor berita Domei milik Jepang di Jakarta (1942-1945) dan menjadi Redaktur Balai Pustaka (1950-1951). Di masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), Pram menjadi Letnan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dalam Resimen 6 Divisi Siliwangi. Selama revolusi, Pram sempat ditawan tentara Belanda. Pada masa Orde Baru, Pram sempat mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Trisakti). Keikutsertaannya dengan Lekra membuatnya harus mendekam belasan tahun dalam pembuangan, termasuk di Pulau Buru. Di sana ia berhenti menulis mahakaryanya yaitu Tetralogi Buru. Beliau meninggal pada tanggal 30 April 2006.

Denys Lombard menyebut dua jenis mutasi yang menentukan sejarah Indonesia, yakni "indianisasi" dan "islamisasi". Lombard mengatakan bahwa serangan Demak bukanlah satu-satunya alasan keruntuhan Majapahit.  Ia menunjukkan bahwa runtuhnya Majapahit sebenarnya disebabkan oleh perubahan-perubahan mendalam yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan-perubahan itu antara lain: (1) kaum agama yang menjauh dari raja dan melanjutkan politik pembukaan tanah sendiri; (2) para bhre yang ingin memperoleh otonomi; (3) munculnya kaum pedagang dan lalu lintas uang, (4) munculnya klien-klien atau kawula yang merupakan bagian dari jaringan swasta, dan akhirnya (5) munculnya pemilik tanah yang lolos dari sistem kemasyarakatan.

Selain tesis utama itu, kelompok juga akan menampilkan dua hal menarik di dalam percaturan kekuasaan yang terjadi di wilayah bekas kerajaan Majapahit yaitu: (1) Tegangan antara kekuasaan mutlak raja dengan dinamika dunia pinggiran; dan (2) Peran Islam dalam kemunduran pengaruh Hindu-Buddha dan mutasi masyarakat.

Demak dan Runtuhnya Majapahit

Lombard mencatat sebuah nukilan yang mengatakan bahwa Mojopahit benar-benar runtuh pada tahun 1527 akibat serangan tentara Demak. Dengan dalih "bungkam-nya" prasasti, sejarawan pada umumnya berpuas diri dengan penjelasan yang terlampau sederhana bahwa runtuhnya Majapahit itu disebabkan oleh serangan pasukan Demak. Namun Lombard mengatakan bahwa runtuhnya Majapahit tidaklah sesederhana itu. Hal senada disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam gaya novelnya yang menghidupkan peristiwa sejarah tersebut. Dalam Arus Balik, diceritakan bahwa Tuban telah menjadi andalan Majapahit di darat maupun di laut selama masa jayanya.

Alkisah, Tuban merupakan salah satu bandar yang termasyur di Jawa. Orang-orang Tionghoa (Atas Angin) menamainya Permata Bumi Selatan. Mojopahit telah lama runtuh, namun bekas-bekasnya masih terasa. Tetangga Tuban yakni Demak merupakan kerajaan Islam yang cukup kuat. Pemimpin Tuban pada waktu itu bernama Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Ia menyokong perdagangan antarpulau, khususnya dengan Maluku. Sementara itu, pelabuhan Tuban diurus oleh Syahbandar Tuban bernama Rangga Iskak.

Kekuatan Portugis mulai terasa di Tuban melalui tokoh bernama Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa. Ia adalah seorang Moro yang telah menjadi antek-antek Portugis untuk menjatuhkan Malaka. Adipati Tuban memberinya jabatan sebagai Syahbandar Tuban yang baru menggantikan Rangga Iskak. Tidak terima dengan mutasi itu, Rangga Iskak menyingkir ke pedalaman Tuban, mengumpulkan pengikut, lalu memimpin pemberontakan melawan Adipati Arya Teja.

Setelah selesai dengan perang melawan pemberontakan Rangga Iskak alias Kiai Benggala di pedalaman, Tuban masih harus menghadapi dua kekuatan sekaligus: serangan Portugis dan pasukan berkuda dari Demak. Kisruh di dalam tubuh kerajaan Demak baru dimulai pada tahun 1518 ketika Sultan Demak, Raden Fatah mangkat. Trenggono, adik dari Adipati Unus, naik takhta setelah membunuh kakak kandungnya sendiri. Ia sudah bertekad menguasai seluruh daratan Jawa. Bahkan ibunya sendiri, Ratu Aisah, tidak mampu menahannya.

Sementara itu, Raden Fatahilah dari Pasai datang dan bersekutu dengan Trenggono. Ia mengambilalih pelabuhan Sunda Kelapa dan memblokade jalur perdagangan. Adipati Tuban mangkat sesaat sebelum pasukan Demak memasuki Tuban. Pada akhirnya, penyerangan Demak bisa dibendung. Trenggono dibunuh oleh seorang prajuritnya sendiri bersama dengan anak "haram" Syahbandar Almaasawa yang bernama Gelar. Anak ini juga membunuh ayahnya sendiri di Tuban.

Kisah Bhre Paramesywara

Rangga Iskak, Syahbandar Tuban yang lama menyimpan catatan yang lengkap mengenai hikayat kerajaan Malaka. Dalam catatan itu ia mendapat kisah berikut ini:

Bhre merupakan gelar kehormatan yang dipakai oleh para penguasa Jawa abad ke-15. Bhre Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan isterinya sendiri, Suhita yang saat itu menjabat sebagai kaisar Majapahit. Bhre Paramesywara berkeinginan untuk menjadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui, bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. Tetapi komplotan itu diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre Wirabumi.

Perang tersebut mengakibatkan Majapahit jatuh miskin. Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam Syu'bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antarbenua.

Berdirinya Malaka berarti hancurnya Majapahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu'bah diangkat sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya, dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat Iskandarsyah.

Ilustrasi di atas menggambarkan usaha bangsawan di Jawa untuk melepaskan diri dari kekuasaan kaisar Majapahit. Perang yang terjadi antara Wiranggaleng dan Rangga Iskak mengingatkan para pembaca tentang peristiwa Perang Paregreg. Selain itu, bandar-bandar di Jawa memiliki ikatan historis yang kuat dengan Malaka. Pengaruh pedagang-pedagang Islam juga membawa pengaruh yang kuat dalam perubahan sosial di Majapahit.

Rangga Iskak menyadari betul bahaya yang dibawa oleh Sayid Habibulah Almasawa. Bahkan kedatangannya ke Tuban jauh lebih berbahaya daripada jatuhnya Malaka. Bahaya yang dimaksud adalah bahaya bagi kedudukannya sendiri sebagai Syahbandar Tuban.

 Musafir Demak sebagai "Kaki Tangan" Kerajaan

Dari mulut tokoh Kiai Benggala alias Sunan Rajeg alias Rangga Iskak, pembaca akan mendapat suatu kesan tentang musafir. Kiai benggala membutuhkan legitimasi untuk menguatkan posisinya di tengah para pengikutnya. Karena itu, ia berupaya memojokkan posisi Demak sebagai kerajaan Islam yang tidak murni, sebab yang murni hanya dirinya.

Ia mengatakan bahwa para musafir itu adalah "ratusan orang yang dikirimkan oleh Demak ke seluruh penjuru untuk bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak, pembesar-pembesarnya, Majelis kerajaan dan anggota-anggotanya." Ada seorang musafir yang kehadirannya tidak diduga-duga. Sebagai seorang tokoh, perannya berhasil menghidupkan perhatian pembaca untuk bertahan hingga akhir cerita. Ia bernama Firman alias Pada.

 Tokoh ini muncul di awal cerita dengan nama Pada. Ia masih remaja dan menjadi penjaga asrama puteri yang digunakan oleh para peserta pesta tahunan yang berasal dari desa-desa pedalaman Tuban. Ia berjasa besar dalam menjaga relasi antara Wiranggaleng dengan Idayu dengan menjadi kurir di antara keduanya yang saat itu terpisah dalam asrama yang berbeda. Ia dihukum mati oleh Adipati Tuban, tetapi dibiarkan pergi oleh Wiranggaleng yang pada saat itu telah memimpin armada laut Tuban.

Pada kemudian pergi ke Demak dan menjadi seorang musafir. Ia ditugaskan untuk mengawasi pergerakan Sunan Rajeg. Ia mengganti namanya menjadi Muhammad Firman. Ia berdebat dengan Sunan Rajeg perihal asal-usul Sultan Demak yang bernama Sultan Al-Fatah. Sunan Rajeg mengatakan bahwa Sultan itu bukan keturunan raja jawa dan bukan Islam, sebab ia keturunan Tionghoa.

Firman inilah yang kemudian akan membunuh Sunan Rajeg yang melarikan diri dari serangan Wiranggaleng dan bersembunyi di Gowong. Firman mengetahui kelicikan Sunan Rajeg yang ingin menghabisi sisa-sisa pengikutnya dengan racun makanan. Setelah membunuh Sunan Rajeg, ia menyelamatkan isteri Wiranggaleng yaitu Idayu.

Firman juga menjadi penghubung cerita ketika ia menghadap ratu Aisah, ibu dari almarhum Adipati Unus. Ia membawa pesan Ratu Aisah kepada Wiranggaleng untuk memimpin armada laut yang telah dibangun oleh Unus. Firman harus pergi ke Jawa Barat dan bertemu dengan pujaan  hatinya di sana. Mereka pergi ke Sumatera dan menyerahkan amanat itu kepada Wiranggaleng yang telah berangkat dan memimpin pasukan kecil. Sebenarnya pasukan Wiranggaleng tidak bisa mengusir Portugis di Malaka. Pada alias Muhammad Firman ini merupakan tokoh yang banyak memberikan keterangan kepada Wiranggaleng perihal pergerakan pasukan Demak.

Wiranggaleng vs Almasawa

Kedua tokoh ini berada di bawah kekuasaan mutlak Adipati Tuban. Wiranggaleng terpaksa naik jabatan menjadi Senapati Tuban karena pendahulunya enggan bertindak melawan pemberontakan Sunan Rajeg. Hingga akhir cerita, pembaca akan menyadari bahwa sebenarnya Adipati Tuban itu tidak menentukan posisi yang pasti di hadapan tiga kekuatan besar: Warisan Kerajaan Hindu, serangan Demak, serta kekuatan Portugis.

Pada suatu hari, datanglah Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa ke bandar Tuban. Ia adalah seorang Moro yang telah menjadi antek-antek Portugis untuk menjatuhkan Malaka. Ia membujuk Adipati Tuban untuk mengangkatnya sebagai Syahbandar Tuban yang baru. Ia menguasai bahasa Portugis dan Spanyol. Ia meyakinkan Sang Adipati bahwa melalui dirinya, Tuban bisa bersekutu dengan Portugis dan Spanyol yang sudah menguasai Malaka.

 Wiranggaleng merupakan seorang juara gulat dari desa Awis Krambil. Pada pesta rakyat di kota, Galeng hadir sebagai peserta lomba gulat, sementara Idayu ikut lomba menari untuk mempertahankan gelar juara yang ketiga kalinya. Setelah keduanya memenangkan pertandingan, mereka melangsungkan pernikahan meriah di kota Tuban.

 Kedatangan Almasawa mulai membawa masalah. Ia menghampiri Idayu yang akan melahirkan anak bernama Gelar. Sementara itu, Wiranggaleng diminta untuk memimpin armada Tuban dalam penyerangan gabungan bersama Adipati Unus, penguasa Jepara. Pasukan gabungan itu gagal menandingi kekuatan meriam Portugis. Namun Adipati Unus pulang dengan membawa keyakinan bahwa Portugis bisa dilawan.

 Wiranggaleng masih harus memimpin pertempuran melawan Sunan Rajeg dan Portugis di Tuban. Para pembaca diajak merenungkan kisah-kisah wong cilik yang naik ke puncak kekuasaan karena keahliannya, misalnya Ken Arok dan Gajah Mada. Namun akhirnya Wiranggaleng sendiri merasa bahwa kekuatan arus dari utara itu terlalu kuat untuk bisa dibalikkan oleh dirinya seorang.

Dari mulut tokoh Wiranggaleng, pembaca akan bisa memahami arti judul novel Arus Balik. Ia mengatakan bahwa pada zaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Tiongkok. Majapahit pada saat itu merupakan kerajaan maritim terbesar di antara bangsa-bangsa lain. Namun makin lama orang tidak bisa membuat kapal besar. Kapal itu makin kecil seperti kerajaannya. Hal itu membuat arus tidak bergerak ke utara, melaikan sebaliknya. Bangsa-bangsa lain termasuk Tiongkok dan Portugis membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan.

 Arus Balik -- judul novel ini -- menjadi simbol dari perubahan mendasar yang sedang terjadi di bumi Nusantara. Pada masa jayanya, Majapahit merupakan kerajaan laut yang termahsyur. Segala-galanya -- kapal-kapal, muatan, manusia, cita-cita -- bergerak dari selatan ke utara. Setelah Majapahit jatuh, arus tidak lagi bergerak ke utara. Sebaliknya, arus bergerak dari utara ke selatan. Atas Angin (kerajaan-kerajaan yang ada di utara: Arab, Tionghoa, Portugis) lebih unggul dan membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan.

 Karena itu, selama jalur laut tidak dikuasai, bangsa-bangsa lain akan membuat Nusantara terdesak hingga ke pedalaman. Pada zaman itu hanya Adipati Unus sendiri yang berani melawan dan membendung arus itu. Arus selatan (Portugis) sebenarnya tidak lebih kuat seandainya saja Nusantara tidak tenggelam dalam konflik internal.

 Sementara itu, kedudukan Syahbandar Tuban masih terus terjaga hingga Portugis tiba dan membangun benteng di daerah bandar. Namun Almasawa akan dibunuh oleh Gelar yang telah tumbuh menjadi seorang prajurit. Setelah semua hal yang dilakukannya, agaknya kematian di tangan anak sendiri menjadi satu-satunya balasan yang setimpal bagi dirinya.

Pengaruh Islam dan Portugis dalam Jalur Perdagangan Laut

Pada tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque (Kongso Dalbi) menyerang dan menaklukkan Malaka. Kerajaan-kerajaan di Nusantara resah karena jalur perdagangan rempah-rempah mulai dimonopoli. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem Padroado ketika Spanyol dan Portugis menjadi penguasa lautan. Nusantara harus menentukan sikap di depan hal ini. Tokoh Wiranggaleng adalah salah satu di antaranya.

 Kedatangan Islam membawa banyak perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan yang terasa di wilayah Tuban adalah dalam aturan berpakaian. Para wanita diwajibkan memakai kemban. Selain itu, makin banyak orang mengenakan baju berwarna putih menggantikan warna batik. Perubahan yang cukup penting adalah dihilangkannya upacara Sati. Karena itu, para janda yang tidak beruntung bisa terjebak dalam "kehidupan yang sulit" di daerah pelabuhan.

 Dua kali armada gabungan dikirim ke Malaka untuk mengusir Portugis, namun keduanya gagal. Penyebab kegagalan itu adalah perbedaan pendapat di antara para pemimpin Nusantara. Adipati Tuban masih mengharapkan adanya kemajuan dengan kedatangan Portugis di Tuban. Karena itu, ia menunda keberangkatan Armada Tuban dalam penyerangan yang pertama. Adipati Unus kalah, tetapi ia berjasa besar meninggalkan semangat perlawanan. Serangan yang kedua tidak didukung oleh armada yang memadai, melainkan hanya jung-jung milik orang-orang keturunan Tionghoa yang tergabung dalam kelompok Naga Selatan.

 Serangan Demak terhadap seluruh daratan Jawa meninggalkan bekas yang mendalam bagi sejarah. Peristiwa itu membuat Tuban seperti diminta memakan buah simalakama. Jika Demak dihadapi, Portugis hanya akan menonton dan bisa menyerang di saat Tuban melemah. Namun jika Demak tidak diserang, ia akan membahayakan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Kematian Trenggono merupakan satu-satunya jalan keluar yang diharapkan dari dilema tersebut.

 Relevansi Arus Balik

Arus Balik memberi pesan penting bagi kehidupan berbangsa di zaman sekarang. Novel itu memberi suatu visi terhadap bangsa kita mengenai betapa pentingnya jalur laut di Nusantara. Jalur itu sudah menjadi incaran di masa lalu dan masih terancam hingga saat ini. Karena itu, Indonesia perlu mengubah cara pandang atas dirinya. Ia bukan lagi "pulau-pulau yang dikelilingi laut," melainkan "lautan yang ditaburi pulau-pulau".

Cara pandang semacam ini tidak dimaksudkan untuk bernostalgia pada kejayaan masa lalu. Sebaliknya, visi ini mengingatkan generasi penerus bangsa untuk menanamkan kesadaran kemaritiman yang kuat di dalam sanubarinya. Seperti kata Wiranggaleng, sekali jalur perdagangan terancam, bubarlah sudah kekuatan bangsa. Dengan kata lain, jalur perdagangan laut itu sama pentingnya dengan urat nadi.

Pesan lain yang bisa dipetik dari novel ini adalah betapa pentingnya persatuan bangsa. Persatuan itu dirongrong bukan oleh kekuatan dari luar, tetapi dari ambisi dan kepentingan diri sendiri. Wiranggaleng harus menunggu beberapa abad lagi hingga arus selatan itu tidak lagi menekan bangsa Indonesia, tepatnya ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Kini tugas kita sekalian sebagai warga negara untuk menjaga persatuan Indonesia.

Sumber:
 Denys Lombard, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya Buku 2 (Jaringan Asia), Jakarta: Gramedia
 Denys Lombard, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya Buku 3 (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta: Gramedia
 Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16, Hasta Mitra (1995)

NB: Tulisan ini pernah dipresentasikan pada Kuliah Alam Pikir Indonesia, STF Driyarkara, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun