Menurut Rousseau, pendidikan memiliki tugas yang sangat penting yaitu mengubah "kehendak partikular" dari setiap individu menjadi "kehendak umum". Rousseau sangat menekankan pendidikan yang bersifat transformatif (pendidikan yang membentuk watak orang lain agar sesuai volonta generale atau kehendak umum). Rousseau melihat bahwa manusia pyang pada mulanya baik mulai merosot karena adanya kemajuan dalam ilmu pengetahuan.Â
Salah satu kesulitan dalam filsafat pendidikan Rousseau adalah menemukan titik keseimbangan antara pendidikan yang "membawa orang kembali pada alam" dengan otonomi yang menjadi ciri khas manusia dewasa. Pertanyaan dasarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: "Bagaimana men-denaturalisasi-kan kehendak partikular manusia tanpa merusak otonomi manusia?" Menurut Rousseau, pendidikan menarik kita dari kecenderungan egoistik menuju kebaikan umum. Sementara itu, "kehendak" mendasari tindakan moral. Tanpa kehendak, tidak akan ada kebebasan dan kemampuan untuk menentukan diri.
Menurut Rousseau, kehendak umum itu bukanlah suatu hal yang alamiah, melainkan suatu hal yang bersifat artifisial (dipaksakan, dibangun, diusahakan). Melalui pendidikan, seorang anak dibawa kembali pada kondisi alaminya, yaitu bebas. Hal ini sejalan dengan adagium Rousseau: Â "Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu." Kendati demikian, Rousseau sulit mendamaikan konsep mengenai kebebasan dengan imperatif sebagaimana dimaksudkan oleh Kant. Artinya, kebebasan itu tidak bisa didamaikan begitu saja dengan "apa yang seharusnya" dilakukan oleh seorang manusia.
Tanpa kehendak, tidak akan ada yang namanya kebebasan, penentuan diri, dan kausalitas moral, bahkan kewajiban itu sendiri. Namun tanpa kualitas "umum" pada kehendak, seorang anak hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang egoistis, penuh ambisi dan licik. Satu-satunya hal yang bisa membedakan manusia dari binatang buas adalah kehendak bebasnya.
Rousseau sering diberi label sebagai seorang filsuf yang menganut paham voluntarisme (paham yang menekankan pentingnya kehendak bagi diri manusia). Selain itu, baginya, pendidikan hasrat menjadi suatu hal yang sangat penting. Konsekuensi pemikirannya mengenai kehendak bebas tampak dalam pemikirannya dalam filsafat politik. Rousseau mengusung suatu "republikanisme radikal", dimana asosiasi sipil menjadi penampakan paling jelas dari kebebasan manusia.
Dalam karyanya yang berjudul Emile (1762), Rousseau menyatakan bahwa pendidikan berlangsung sejak dini dan terjadi melalui tahap-tahap. Dalam setiap tahap, ada kualitas umum yang berkembang pada setiap anak. Kualitas itu adalah keniscayaan, kegunaan, dan moralitas. Ketiga hal ini berada dalam urutan yang tidak dapat dilompati.
Pemikiran Rousseau tentang pendidikan menyimpan ambivalensi. Di satu sisi, ia menekankan pentingnya otoritas seorang pendidik (yang sering diasosiasikan dengan "ibu Sparta"). Di sisi lain, setiap individu dipandang sebagai pribadi yang bebas dan memiliki otonomi pribadi. Ketika manusia sudah di-denaturalisasi-kan (kembali ke alam), ia akan memiliki kualitas yang sesuai dengan kehendak umum. Rousseau menyatakan bahwa ada tahap-tahap yang tidak bisa dilompati dalam pendidikan seorang manusia.
Rousseau menekankan pentingnya menunggu hingga anak-anak mencapai kedewasaan supaya bisa tunduk pada hukum. Filsafat pendidikan Rousseau juga bisa dinamakan sebagai suatu "pem-biar-an". Sebab, otonomi akan menjadi akhir dari proses pendidikan. Mungkin itulah alasannya menitipkan semua anaknya di panti asuhan semasa hidupnya.
Sumber:Â
Patrick Riley and Jennifer Welchman, "Rousseau, Dewey and Democracy" dalam Blackwell Companions to Philosophy of Education (hlm 94-103)
Randall Curren (Editor). 2003. A Companion to The Philosophy of Education. Oxford: Blackwell.