Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Kebenaran yang Wajar bersama Michael Lynch

11 April 2022   08:00 Diperbarui: 11 April 2022   08:29 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebenaran merupakan sebuah nilai yang mampu membawa perdamaian maupun perpecahan. Michael Lynch dalam karyanya yang berjudul True to Life (2004) membahas tentang kebenaran yang wajar secara umum. Dalam konteks manusia di era digital, kebenaran objektif perlu tetap diraih tanpa jatuh ke dalam dua ekstrem: tidak ada kebenaran sama sekali (skeptisisme) atau hanya mengakui satu kebenaran mutlak (dogmatisme). 

Michael Lynch menganut truisme wajar, yaitu klaim yang membela pentingnya kebenaran dalam arti yang wajar. Hal ini tidak berarti bahwa semua orang harus setuju pada satu kebenaran. Paling tidak, Lynch ingin menyatakan bahwa kita seharusnya yakin bahwa kebenaran itu memang penting.

Menurut Lynch, ada empat asumsi mendasar mengenai kebenaran dalam arti yang wajar:  

  • Kebenaran itu Objektif

Rene Descartes telah menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui. Fakta akan adanya kekeliruan tidak menghapus adanya kebenaran objektif. Revolusi sains menunjukkan kepada kita bahwa para pakar sekalipun pernah meyakini hal yang keliru (misalnya: bumi itu datar). 

Percaya pada sesuatu tidak berarti apa yang kita yakini itu benar. Sebaliknya, benarnya suatu hal juga tidak berarti kita selalu percaya padanya. Realitas merupakan alasan mengapa kebenaran itu penting. Keyakinan kita harus menyesuaikan diri dengan realitas dan bukan sebaliknya. 

Manusia tidak bisa mengetahui segala-galanya. Manusia juga bisa keliru. Dalam arti ini, objektivitas kebenaran merupakan sesuatu yang sudah jelas ada.

Teori korespondensi merupakan suatu teori yang menyatakan objektivitas kebenaran secara sangat radikal. Sebab, tolak ukur keyakinan kita adalah relasi pikiran kita dengan objek-objek bendawi. Selain itu, kita tidak pernah bisa mengetahui secara penuh mengenai objek apapun, misalnya Hard Drive (ingat pembedaan Noumena dan Fenomena pada Kant). 

Kita tidak tahu segalanya tentang HD. Namun, keyakinan kita pada kinerja HD bisa menjadi ilustrasi bagi keyakinan akan adanya objektivitas kebenaran. Keyakinan kita yang benar bisa "menjadi potret" dunia sebagaimana adanya dan bukan dunia yang kita harapkan, takutkan, atau angan-angankan. Karena itu, objektivitas kebenaran menurut Lynch mengambil jalan tengah antara subjektivisme dan teori korespondensi.

  • Kebenaran itu Baik

Kita membedakan apa yang benar dari apa yang keliru karena kita membutuhkan suatu dasar untuk memberi penilaian benar-salah. Penilaian itu sesungguhnya hanya bisa terjadi karena adanya dorongan yang lebih mendasar. Misalnya, kita perlu bukti yang memadai untuk keyakinan kita karena kita yakin bahwa kadar kebenaran pada keyakinan yang mendasarkan diri pada bukti-bukti yang memadai itu lebih terjamin.

Karena itu, "kebenaran" memiliki ciri evaluatif. Kaitan antara keyakinan kita dengan kebenaran itu sangat erat. Kita hampir tidak bisa menyatakan sesuatu sebagai benar tanpa meyakini bahwa itu memang benar. "Meyakini sesuatu itu sama dengan menganggapnya benar." Atau dengan cara yang lebih longgar: "Lebih baik meyakini sesuatu yang benar daripada sesuatu yang salah". Baik-buruk di sini bukan melulu dalam arti moral, sebab menyangkut juga berbagai jenis kebaikan.

  • Kebenaran Merupakan Nilai yang Pantas Dikejar

Sama seperti menepati janji itu lebih baik daripada ingkar janji, demikian pula kebenaran layak untuk dicari. Namun, tidak berarti kita akan menempuh jalan lurus yang langsung membawa kita pada kebenaran. Menurut Lynch, pencarian kebenaran itu selalu berciri tidak langsung. Kita memiliki kendali tidak langsung atas apa yang kita yakini. Metode kerja ilmiah merupakan salah satu jalan yang dapat membawa kita pada kebenaran. Jika tidak ada keyakinan bahwa kebenaran ilmiah itu mungkin diperoleh, tidak usah kita bersusah-susah mencarinya.

Lynch menggunakan istilah "inquiry" dalam arti yang lebih luas daripada metode kerja ilmiah. Istilah ini juga menyangkut proses, latihan dan kegiatan-kegiatan mencari pengetahuan yang membentang mulai dari tindakan-tindakan teoretis hingga eksperimental; kegiatan mencari kebenaran religius (seperti mencari dirham yang hilang); hingga mencari sumber kerusakan pada salah satu instalasi listrik rumah tangga. Apa yang mendorong pencarian itu tentu saja pengandaian mendasar bahwa kebenaran objektif itu penting dan karena itu pantas dikejar.

  • Kebenaran Pantas Dipertahankan Demi Kebenaran Itu Sendiri

Lynch memberikan ilustrasi tentang realitas buatan yang dapat dialami oleh manusia dalam sebuah mesin virtual reality. Saat kita masuk dalam mesin semacam itu, tidak ada satupun yang benar-benar riil. Akan tetapi, semua itu akan tampak nyata. Bahkan bisa juga diatur sedemikian sehingga sekali kita berada di dalamnya, kita bisa sepenuhnya lupa bahwa kita ada di dalam mesin itu. Kita juga tidak akan pernah bisa keluar dari sana jika kita terperangkap di dalamnya.

Skenario semacam itu pernah ditampilkan dalam film The Matrix (1999). Ketika Neo (Keanu Reeves) dihadapkan pada pilihan meminum pil ilusi atau realitas, ia tetap memilih realitas, sekalipun hal itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Refleksi kita pada situasi tersebut menunjukkan bahwa kita peduli pada kebenaran itu sendiri dan bukan hanya apa keuntungan yang bisa diperoleh daripadanya.

Hal ini tidak berarti bahwa kebenaran tidak punya nilai lain di luar dirinya sendiri. Justru sebaliknya, alasan yang paling jelas untuk mencari kebenaran adalah keyakinan bahwa kebenaran itu bisa membawa kita pada apa yang kita inginkan. Singkatnya, pencarian akan kebenaran itu bermanfaat. 

Lynch membedakan antara nilai-nilai normatif dan nilai-nilai yang berciri normatif secara mendalam. Sebagai contoh, cinta bisa membuat kita memperoleh kehidupan keluarga yang sejahtera, namun hal itu tidak mengatakan kepada kita seluruh hakekat cinta. Sama seperti cinta, kebenaran itu secara radikal berciri normatif.

Apa yang membuat kebenaran itu berciri intrinsik (bernilai pada dirinya sendiri) adalah karena kebenaran itu sendiri merupakan preferensi dasar (optio fundamentalis) yang tidak bergantung pada hal lainnya (sekali lagi, hal ini tidak berarti bahwa kebenaran itu merupakan satu-satunya preferensi dasar. 

Preferensi dasar yang lain, misalnya, menghindari rasa sakit). Kita tidak saja memiliki preferensi dasar untuk mencari kebenaran, tetapi juga peduli padanya. Secara normatif, kepedulian kita pada kebenaran menunjukkan bahwa kebenaran itu penting bagi diri kita.

Sumber: 

Lynch, M. (2004). True to Life: Why Truth Matters? . Massachusetts: Bradford Book.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun