Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Pemerhati Bahasa, Memberi Hati Pada Bahasa, Meluaskan Dunia Lewat Bahasa

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lem_Spasi_Amplop

23 November 2019   10:10 Diperbarui: 23 November 2019   10:19 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senin, 7 Januari 2019

Misa pagi diakhiri dengan berkat pelepasan bagi 14 frater filosofan. Olla, David, Heri, dan Jevan keluar kapel lebih awal yaitu seusai misa. Makan pagi dengan telur sambal balado (atau sejenisnya) dan bekal uang transport sebesar 100.000 untuk 4 orang. P. Advent memesan Grab Car bagi kami berempat. Ongkosnya 20.000. Jalan Garuda di Kemayoran masih sepi. Sampai di depan gerbang bertuliskan angka 86, kami turun. 

Kemunculan kami berempat agaknya membuat Pak Arif, satpam di situ curiga. Ia mencegah kami masuk ke dalam gedung. Ia mempersilahkan kami menunggu di depan pos satpam. Memang begitulah aturannya, setidaknya lewat tulisan besar, "Tamu Wajib Lapor".  Setelah mendapat konfirmasi dari yang empunya kantor, baru kami diperbolehkan menunggu di Lobi Utama. Datanglah HRD Manager. Ia mengendus "kefrateran" kami berempat. Kami menimpali bahwa belum jadi frater.

Setelah menunggu cukup lama, Ibu datang dan mengajak kami ke bagian finishing. Briefing pagi dimulai setelah bel panjang berbunyi (mirip dengan bel seusai olahraga sore di WSDB Sunter). Ibu memancing kesadaran akan pentingnya disiplin, dengan gaya yang jarang saya dengar. Maklumlah, bicara dengan para karyawan pasti tidak seindah homili atau boa noite di biara.

Para frater mendapat kehormatan melipat kertas amplop yang menunggu di atas lantai hingga setinggi lutut. Yang paling mengejutkan saya adalah seorang anak perempuan berumur 16 tahun yang saya lihat amat cantik. Saya kemudian mengetahui belakangan bahwa ia sedang sakit. Perutnya membuncit sehingga orang mudah mengira bahwa dia hamil. Bersama dengan dia ada pekerja lain (harian) sekitar 15 orang.  Mereka diupah 6.000 per hari. Entah makin bertambah atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Cukup atau tidak? Malam ini mereka makan dengan apa? Tidur dimana? Dengan siapa? Apakah mereka aman, gerah kepanasan?

Hal mengejutkan yang lain adalah perihal tidak bertemunya kami dengan angkot yang menyebabkan kami berempat jalan kaki. Jauh, terasa dekat karena harapan yang besar akan sebuah rumah yang menanti kami di ujung jalan. Nyasar sampai di jalan Dakota dan menyusuri gang rusun, tembus di Wisma Atlet. Banyak orang jualan duren di pinggir jalan.

Saya bertemu dengan Falah, Ester, dkk yang tekun di depan meja kerja ruang finishing. Panas, gerah, bercampur dengan deru mesin produksi, bel berdering, lift yang naik dan turun. Di sela-sela itu semua, masih sempat-sempatnya mereka bercanda, tersenyum, dan memberikan semangat. Ada yang mengendap-endapkan kopi di dalam ruang kerja. Lem kertas bercampur kanji terus diracik. 

Mess di belakang kantor terlihat messy.

Makan siang di pinggir jalan, kering.

Bertemu seorang bapak perokok yang pengangguran.

Hidup ini keras

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun