Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

I Left My Heart in Bali: Terpesona Tanpa Jatuh cinta

8 Juni 2022   12:13 Diperbarui: 8 Juni 2022   12:40 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan Galungan pada hari ini, 8 Juni 2022, mengingatkanku pada kenangan 5 bulan tinggal di Bali. Traveling di Pulau Dewata selama masa PUNCAK pandemi (Juni - November 2021) membuatku lebih sehat dan lebih "open minded".

Sungguh beruntung saya bisa ke Bali. Berangkat pada Juni 2021 sesaat menjelang pandemi merajalela di ibukota yang disusul dengan pemberlakuan PPKM level 4 di Jawa dan Bali. 

Parawisata Bali "mati suri". Jalur parawisata internasional ditutup. Banyak Wisatawan domestik enggan ke Bali karena wajib PCR yang biayanya lebih mahal dari tiket ke Bali. Akibatnya Bali sepi turis, domestik apalagi mancanegara. Pantai-pantai umum (seperti "pantai sejuta umat" Kuta) dan hampir semua obyek wisata (termasuk "Monkey Forest" di Ubud) DITUTUP. 

"Stranded in Paradise" (terdampar di Surga) itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisiku selama Puncak PPKM di Bali. Untungnya saya adalah tipe "pembangkang"... menolak untuk tetap tinggal di hotel. Nekad seorang diri diantar Ojek online "blusukan". Masuk dan menikmati  pantai-pantai berpasir putih yang sepi kosong melompong... serasa "private beach".  Hasil foto dan videonya memukau.. "tidak bocor" sama sekali (terlihat banyak orang di background).

"SOLO Traveling" (traveling seorang diri) selama hampir setengah tahun di "Pulau Surga" (paradise island) sungguh banyak godaan. Bisa saja jadi "Surga Dunia" hidup hedonis dan hura-hura.. party all night long. Tapi alhamdulillah itu TIDAK kulakukan. 

Jika boleh salut pada diri sendiri, maka ada 3 "Don'ts" (Larangan dalam ajaran Islam) yang sama sekali TIDAK pernah kulakukan selama bertualang sendirian  di Bali :

 1) Makan daging Babi... padahal makanan berdaging babi ada dimana-mana. Konon "Babi kriuk" yang viral itu sangat lezat... kuakui itu sungguh godaan bagiku (foodlover) yang suka mencicipi makanan setempat... tapi syukurlah aku sanggup menahan godaan itu dan mencari makanan halal. 

2)  Konsumsi minuman keras. Di daerah wisata yang cosmopolitan seperti Bali, tempat penjualan minuman -  dari minimarket, kafe sampai warung makan - minuman keras beredar luas... dari whiskey sampai arak Bali. Untuk yang satu ini, karena saya tidak suka cita rasa minuman keras (bahkan beer) dan enggan mabuk, ini sama sekali tak masalah.

 3) "Cinlok" (cinta dan lokasi) dan "main perempuan". Bali adalah "surga" bagi mata pria... "cuci mata".  Biasanya daya tariknya ada pada wisatawan - asing dan domestik - yang berpenampilan sexy, termasuk cuma pakai bikini. Karena saya tinggal di Bali pada saat parawisata internasional belum dibuka, maka godaan itu belum menonjol. Hanya sekali dua kali melihat beberapa gadis cantik dan sexi Rusia (yang mencari nafkah di Bali sebagai foto model) berjalan-jalan saat sunset di pantai Canggu. 

Di masa pandemi, di mata penduduk lokal Bali, Canggu bagaikan "negara" tersendiri : turis-turis Rusia yang tinggal di sana hampir tak tesentuh dengan berbagai pembatasan PPKM. 

Saya justru terpesona dengan kecantikan alami perempuan Bali (jegeg Bali). Setiap hari dari pagi, mereka rajin mempersembahkan banten. Pergi ke pura setempat adalah keseharian aktivitas mereka. Para Perempuan Bali - tua dan muda -  dengan dalam busana kebaya tradisionalnya dalam menjalankan ritual agamanya... sungguh mempesonaku. "Inner beauty" mereka sungguh terpancar.

 Biasanya "keterpesonaan" pada lawan jenis akan berlanjut pada romansa. Bisa cinlok bahkan affair. Apa lagi ada adagium (meniru di Las Vegas, AS) "apa yang terjadi di Bali, tetaplah tinggal di Bali". 

Bisa jadi seorang pria berkeluarga  ketika berlibur di Bali menjadi "liar", gila-gilaan dan main cewek,  tapi setelah kembali ke Jakarta akan kembali ke rangkulan istri dan anak-anaknya... kembali menjadi "pria baik-baik" seakan tak pernah terjadi apa-apa di Bali... 

NIAT saya ke Bali untuk bekerja mencari nafkah, BUKAN untuk senang-senang. Niat itulah yang kupegang selama di Bali. Makanya saya sejak awal "BERTEKAD untuk Setia" pada istri Amalia... yang mengikhlaskan dan mendoakan kepergianku ke Bali.

 Ternyata memang benar, UJIAN kesetiaan seorang suami bukanlah saat tinggal bersama istrinya, tapi ketika berada JAUH dari istrinya. LDR (long distance relationship) dan LDM (long distance marriage). Istriku pasti tahu membiarkanku tinggal 5 bulan di Bali memiliki "resiko atas perkawinan" kami (yang sampai saat ini tidak memiliki anak). Sungguh kuhargai "kepercayaan" (trust) istriku padaku bahwa aku takkan "macam-macam" di Bali... tidak melakukan "affair" bahkan kawin lagi.

 Oh ya pasti ada pertanyaan, kenapa istriku tidak ikut ke Bali sajs untuk mendampingiku saat itu? Jikalau ia mau, ia tidak bisa karena harus menunggui dan menjadi caregiver Mama-nya yang dirawat selama 3 bulan di Rumah Sakit. Bakti seorang anak pada Ibunya yang sakit. 

Saya punya cara sendiri agar tidak "aneh-aneh" di Bali : berusaha konsisten untuk selalu sudah pulang ke kamar hotel saat maghrib. Membuatku tak punya peluang untuk "dugem".

 Rutin menelpon dan video call menjadi "obat rindu" kami Karena kesendirian dan kesepianku di Bali selama 5 bulan itu justru saya proaktif menjalin silaturahmi "jarak jauh". 

Dengan media ZOOM berbayar, dengan akun baru "PandjikiansantangBali" saya MENGORGANISIR berbagai silaturahmi dan reuni online, yaitu : 

1) Maljuming (Malam Jumatan Daring) untuk baraya Pandji 

2-3) Tahlilan online untuk 2 saudara yang wafat di Jakarta : Om Yoyo (keluarga Mukadi) dan Kak Sri (keluarga Pandji)

 4) HUT Suprise untuk kakakku Dewi Sintawaty dengan mengundang teman-teman lamanya secara online 

5) Reuni online dengan Alumni Sejarah UI 87

 6) Apresiasi online untuk Bunda Nana Nurliana, sesepuh dosen sejarah UI yang melibatkan Dosen dan Alumni 

7) Reuni online aktivis Yavitra (Yayasan Historia Vitae Magistra) dari alumni Sejarah UI 

8) Reuni online BesuKids 81 (alumni SDN Menteng 01 Besuki angkatan 81) 

9) Reuni pengurus WCS (Wonderful Clubs of Summarecon) sebagai wadah hobi karyawan Summarecon yang dulu kudirikan

 10) Reuni online QIRSA (Qalbu Islami Karyawam Summarecon Agung) sebagai wadah Rohis (Rohani Islam) yang dulu kudirikan.

 Rutin berkomunikasi dengan istri dan Sibuk "silaturahmi jarak jauh" (Wifi gratis dari hotel sungguh membantu)... membuat hatiku damai, tak kesepian sehingga tak perlu mencari "hati yang lain". 

Tapi sekuat-kuatnya "iman",  ada juga momen rindu romansa. Khususnya ketika menikmati keindahan sunset di PANTAI Bali... seperti lagu romantis "Kuta Bali". Untungnya tidak terjadi apa-apa... sehingga "kemurnianku" di Bali tetap terjaga. Astungkara 

 * Keterangan foto : 1) bersama 2 gadis Bali di depan patung Dewi Sri dari anyaman rotan di Bali Funtastic, Ubud pada 16 September 2021, 2) bersama 3 perempuan Bali saat hari suci Saraswati di Pura Saraswati, Ubud pada 28 Agustus 2021

*Pandji Kiansantang saat hari raya Galungan di Jakarta pada 8 Juni 2022 mengenang pengalaman 5 bulan (Juni- November 2021) tinggal seorang diri di Bali pada masa puncak pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun