Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Semoga Kalah... Introspeksi Fans Klub

26 Mei 2022   13:46 Diperbarui: 27 Mei 2022   11:48 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada 2 jenis penggemar sepakbola di dunia : 1) Fans klub / tim tertentu 2) Penonton "netral"

Arti Fans adalah  penggemar atau pengagum. Fans ini terkait dengan kata Fanatik seperti "Fanatisme klub". Kata "fanatik" sebenarnya berasal dari bahasa Latin "fanaticus", yang dalam bahasa Inggris diartikan: frantic atau frenzied. Artinya, gila-gilaan, kalut, mabuk, atau hingar-bingar

Hanya sedikit saja penonton bola yang "berpikir jernih" dan mampu bersikap obyektif. Pandangan mereka "May the Best team Win". Karenanya mereka lebih apresiatif dan menikmati pertandingan, apapun hasilnya.

 Bagi mereka hanya ada 2 macam pertandingan. Yang mereka sukai adalah laga yang seru, kedua tim agresif menyerang sehingga jual beli serangan dan terjadi "hujan gol". Yang mereka benci adalah pertandingan yang monoton, membosankan, apalagi jika berakhir  kacamata tanpa gol : draw kosong - kosong. Bagi mereka ini sama saja buang-buang waktu 1,5 jam. 

Jadi yang dipentingkan adalah "kualitas pertandingannya", bukan siapa yang menang, siapa yang salah. "Enjoy the game" itulah karakter "Penonton Netral".

 Mayoritas "gibol" (gila bola) atau "football mania" adalah Fans klub / tim tertentu. Berdasarkan tingkat "fanatisme"nya Fans dibagi 2 : garis keras (ultra, militan) dan yang moderat (mayoritas).

 Kebanyakan ulah di dunia sepakbola adalah perbuatan fans "garis keras". Satu dekade lalu dikenal dengan fenomena "hooliganisme". "Ultras" adalah sebutan bagi kelompok suporter sepak bola yang cenderung fanatisme dan ekstremisme dalam memberikan dukungan bagi klub sepak bola tertentu. Terkadang ultras juga dapat disebut dengan "hooligan", tetapi istilah ini lebih dekat ke budaya sepak bola Inggris. 

Mencaci maki (mem-bully) fans klub lain, terutama rival adalah hal biasa. Contohnya di kalangan fans Liga Inggris dipakai sebutan celaan bagi tim rival mereka : Loser-pool, MU-nyuk, Chel-shit, Arsen-dal, dll.

Perkelahian antar fans, bukan hanya terjadi di dalam stadion selama pertandingan, tapi juga di luar. Di Eropa sering terjadi perkelahian di bar antar fans yang mabuk. 

Fanatisme hooligans juga menumpahkan darah. Tragedi Heysel pada 1985  menewaskan 39 orang dan melukai lebih dari 600 orang. Kejadian itu diawali dengan perkelahian massal hooligan Liverpool melawan Tifosi Juventus. 

Perilaku anarkis dan brutal fans garis keras bermula dari mindset yang begitu memuja klub mereka. "Football is Religion"... Sepakbola adalah "Agama abad ke-20" adalah fenomena kultus sepakbola. 

Tentu tidak fair menyamaratakan semua fans klub sebagai "ekstrimis". Mayoritas fans klub adalah moderat. Dari fans klub sepakbola kita bisa belajar tentang loyalitas (kesetiaan). Tetap mendukung tim, walau mereka seri, kalah atau gagal juara. Itulah kenapa disebut "supporter" (pendukung), yang dukungan penuh mereka berupa teriakan yell, nyanyian (chant) maupun pengibaran panji klub, akan meningkatkan semangat pemain yang bertanding... merekalah "pemain kedua belas". 

Penulis termasuk fans moderat Liverpool. Sangat puas jika ikut nobar (nonton bareng)  fans Liverpool. Seperti yang kulakukan pada Nobar final Piala FA pada 14 Mei 2022 bersama Big Reds Jakarta. Sebelum pandemi, rutin ikut Nobar fans Liverpool, khususnya pertandingan melawan 2 rival utama : Manchester Merah dan Manchester Biru. 

Berkumpul bersama fans menumbuhkan "emosi kolektif" dalam psikologi massa. Penulis yang menjadi salah satu fans paling tua (gaek) di antara hampir semua fans usia belasan sampai 20-an. 

Tak terlupakan euforia fans Liverpool ketika menjuarai FA Cup melalui adu penalti. Nobar "meledak" ketika sepakan penalti Tsimikas menjebol gawang Chelsea yang memastikan The Reds juara. Penonton Nobar termasuk penulis meloncat-loncat sambil berteriak kegirangan... sejenak "lupa umur". Itulah momen manis sebagai fans klub yang juara.

 Terus terang, di bawah kepemimpinan Juergen Klopp inilah "saat terbaik" menjadi fans Liverpool. Mengalami "Tsunami Trophy" setelah 3 dekade puasa gelar. 

Tapi harus diakui ada "efek negatif" pada psikologis mayoritas fans klub.

 Pertama, saking dekat ikatan emosionalnya, semakin memacu adrenalin. Beda dengan "Penonton Netral" yang santai menikmati pertandingan, fans klub sangat emosional. "Sport jantung" apalagi jika adu penalti. Bagi penderita penyakit jantung sebaiknya menghindari nonton "live match' tim favoritnya. Beberapakali kita melihat berita fans sepakbola yang meninggal ketika menonton bola. Terutama ketika klubnya kalah.

 Kedua, Mood (suasana hatinya) sangat dipengaruhi kinerja klub. Jika klub menang, apalagi dalam pertandingan "derby" (rival sekota) atau melawan rival utama, maka akan bergembira sepanjang hari. Apalagi jadi juara, euforia bisa berlanjut berminggu-minggu... inilah peran positif  Sepakbola sebagai "moodbooster".

 Tapi sebaliknya jika kalah dan gagal juara dalam pertandingan final. Ini bisa bad-mood seharian. Menjadi "sensi, baper, ilfeel"  yang tentunya jika ia bekerja,  berakibat pada dropnya semangat kerja dan bisa menurunkan produktivitas. Hanya sedikit klub-klub favorit yang prosentase kemenangannya tinggi. Sebut saja "Big Six" Liga Primer Inggris. 

Mayoritas klub (16 klub lain di EPL) tergolong "medioker"... yang lebih sering kalah atau draw daripada menang. Bayangkan kondisi mental fans ke-16 klub ini - sebagian adalah klas pekerja (working class) di Inggris. Mungkin perlu diadakan riset tentang korelasi kinerja klub dan produktivitas kerja buruh yang menjadi fansnya. 

Dampak negatif ketiga,  adanya sikap negatif, bahkan "toxic" dari fans klub. Selain mengharapkan klubnya (bahkan sampai berdoa untuk itu), hampir semua dari mereka punya "harapan negatif" yang tersembunyi... berharap agar tim rival kalah. Fans klub adalah "haters" klub rival. Harapan "Semoga kalah"... 

Muncul harapan "Asal Bukan ...." yang mengacu pada klub rival. Contohnya,  Fans Liverpool berharap klub kebanggaanya itu boleh saja sekali-kali kalah, Asal Bukan dari Everton (rival derby),  MU (musuh bebuyutan) atau ManCity (rival utama perburuan gelar EPL). Hal yang sama berlaku bagi fans Real Madrid, bisa saja gagal juara La Liga, Asal bukan : Barcelona (musuh abadi) atau Atletico Madrid (rival sekota).

Belum lama ini  ada berita dengan berakhirnya Seri A Italia, fans Sampdoria turun ke jalan untuk melakukan perayaan... bukan karena klubnya juara tapi karena rival utamanya Genoa FC terdegradasi ke Seri B. Bayangkan selebrasi massal atas nasib buruk rival derby (sekota). Ini menunjukkan kuatnya haters terhadap klub rival.

Ini mungkin bisa dipahami karena pada suatu kompetisi seperti Liga Primer Inggris dan Seri A Italia, penentuan juara ditentukan dari kemenangan klub favorit dan kekalahan klub rival utama dari klub-klub lain. Berharap agar klubnya lancar jaya dan klub rival terpeleset. Berdoa untuk "kesialan" tim lawan. 

Seringkali harapan itu meleset dan klub rival utama justru menang dan jadi juara. Apa yang dirasakan mereka : kecewa dan bete. Puncak kekecewaan adalah jika klub favoritnya dikalahkan klub rivalnya. Seperti yang dialami Liverpool yang gagal juara EPL musim ini karena kalah 1 point dari ManCity. Lebih menyakitkan Inter Milan yang di babak akhir ditelikung rival sekotanya AC Milan. Fans Milan Biru harus berduka digagalkan oleh seteru mereka :  Milan Merah.

Ingin melihat kegagalan tim lain kelihatannya sepele, hanya dalam pertandingan sepakbola. Yang tidak disadari sikap ini berimbas pada tingkat paradigma (pola pikir) yang negatif. 

Disingkat SMOS yaitu "Senang Melihat Orang lain (klub lain) Susah" dan "Susah Melihat Orang lain (klub lain) Senang". Ini adalah wujud sikap hasad (dengki). Lebih luas lagi sikap "Win-Lose" ini membuat konflik dalam hubungan antar manusia. Mengarah pada "Zero-sum game" : situasi di mana keuntungan yang dimenangkan oleh salah satu pihak atas kekalahan pihak lain. 

Jelas dampak negatif dari sikap mental fans klub ini harus disadari dan dikoreksi. Memang sulit, tapi untuk kebaikan diri kita sendiri.. harus bermental "siap menang" dan "siap kalah". Perlu legowo jika klub kita kalah karena memang bermain buruk. Lebih bisa "menerima kenyataan" hasil buruk pertandingan. Sedapat mungkin tidak membiarkannya menghancurkan mood dan menyerap habis energi kita (energy sucker). Berprinsip "That just a game. Not my life".

 *Pandji Kiansantang, Jakarta, 26 Mei  2022, seorang fans Liverpool, 3 hari menjelang "super big match" Final Liga Champions UEFA antara Liverpool vs Real Madrid, 29 Mei 2022 di Paris 

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Dok. pribadi
Dok. pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun