Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pesan dari Seorang Yatim Piatu...

11 Juni 2021   08:26 Diperbarui: 11 Juni 2021   08:28 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehilangan seseorang yang kita cintai pastilah menyakitkan. Apalagi jika kehilangan 2 orang, Ibu dan Kakak, dalam 2 hari berturut-turut... pastilah menjadi tragedi keluarga. 

Ini adalah riwayatku menjadi yatim piatu. Semoga bisa menggugah mereka yang masih punya orangtua agar LEBIH berupaya membahagiakan mereka... karena usia lanjut mereka terus berjalan dan sisa umurnya makin berkurang... apalagi ditambah ancaman pandemi Corona.

Setelah wafatnya Papa, H. Pandji Denny (1930-1997) pada 30 November 1997 (15 hari sesudah ulang tahun Papa ke-67), Mama tinggal menjadi satu-satunya orang tua bagi kami, 4 anak kakak beradik : Ritha, Teddy, Dewi dan saya (Kenny). Dua puluh tahun kami merawat Mama, berusaha membahagiakannya... berusaha menjadi "anak berbakti". 

Tapi "setengah jiwa" Mama hilang setelah ditinggal Papa. Keduanya benar-benar "soul mate" : pasangan suami - istri ideal yang saling mencintai hingga akhir hayat. Mama jatuh sakit berkepanjangan setelah Papa tiadanya. Seberapapun kami, anak-anak, berusaha menyenangkannya : mengajak jalan-jalan ke tempat yang disukainya atau makan makanan favoritnya, selalu kulihat kegetiran pada Mama : rasa kehilangan Papa di relung hatinya. Momen kebersamaan dengan  anak cucu mengingatkannya pada masa bahagia keluarga kami semasa Papa hidup. Kami sadar, kami TAKKAN dapat menggantikan figur Papa... 

Mamaku, Hj Tuty Istiawaty (1939-2017) adalah "orang hebat". Sebelum menikah, menjadi Juara Tenis Nasional, pernah mewakili Indonesia dalam partai Tunggal Putri pada Asean Games 1962 di Tokyo. Pialanya sangat banyak di rumahnya di Bandung... saking banyaknya sampai-sampai Opa memakai sebagiannya Trophy timah sebagai tempat minum bagi ayam ternak di rumahnya. Jika Mama berkarir tenis pada masa kini, pasti sudah kaya raya. Dulu sebagai pemain amatir, hadiah uang "diharamkan", hadiahnya cuma trophy dan trophy.

 Jiwa olahragawan-nya dilanjutkan setelah berkeluarga dengan prestasi dalam Golf, walau hanya dalam skala lokal. Mama seorang kreatif, wirausaha yang memulai bisnis pembuatan kayu jati dengan ukiran klasik yang dibuatnya sendiri. Usaha ini berkembang, tapi karena belum mengerti tentang hak cipta, desainnya ditiru oleh tukang kayu yang pernah bekerja untuknya. 

Setelah Papa pensiun PNS, Mama membuka usaha rangkaian bunga hias (florist) bernama "Kanny's Florist" (dinamai berdasarkan nama panggilan cucu pertama : Kanny). Bisnis florist ini sempat berjaya dan lalu diteruskan oleh putranya Kak Teddy dan Mbak Anie. Mama juga jago masak. Bakat masaknya ini menurun dari Oma (Woeryan). Hampir semua saudara-saudarinya juga jago masak. Kakaknya, Tante Tien mendirikan Catering "Estrella" yang kini diteruskan oleh putrinya : Kak Ruby. Kakak pria Mama : Om Toto membuka sekolah memasak. Masakan Mama yang paling kami gandrungi adalah : Bistik Lidah dan Sop Buntut. Yummy. 

Sebagai anak bungsu, saya tergolong "mandiri" dalam perkembangan di usia remaja. Keinginanku agar tidak menyusahkan orang tua. Dari SD, SMP, SMA hingga Universitas, alhamdulillah saya selalu masuk sekolah negeri. Juga tidak pernah ambil les atau bimbingan tes. Bersyukur saya dikaruniai "otak encer", walau sebenarnya tidak rajin belajar. 

"Karir akademis"ku yang relatif lancar membuatku tidak terlalu "membutuhkan" bantuan Papa dan Mama dalam proses belajarku (di luar membiayai sekolah dan kuliah). Akibatnya kurangnya ketergantungan pada orangtua, hubungan pribadiku dengan Papa dan Mama biasa-biasa saja. Apalagi setelah kuliah di UI, saya kost di Depok selama 5 tahun. 

Keadaan berubah setelah Papa wafat, sesuai keinginannya : "ingin wafat di rumah di samping istri tercintanya" (ketika Papa wafat dengan tenang di tempat tidur setelah shalat Subuh, saya dan Mama ada di sampingnya). Kepergian Papa begitu mengguncangku. 

Ketika itu, saya yang baru lulus bekerja membantu Papa menyelenggarakan Pelatihan K-3 (Kesehatan & Keselamatan Kerja) dalam lembaga yang Papa dirikan : LKKPI (Lembaga Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas Indonesia). Selama hampir setahun, saya meneruskan rintisan Papa ini.. sampai akhirnya tergulung badai  Krisis Moneter, yang memaksaku "banting stir" menyelamatkan diri menjadi karyawan di perusahaan swasta selama 21 tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun