Nasib rakyat kecil itu bagai penumpang Bis. Saat sopirnya menyetir ugal-ugalan, kita yang terpontang-panting. Lapisan terbawah masyarakat yang menyangga strata sosial, justru yang paling berat menahan beban.
Jungkir balik menyiasati hidup dari hari ke hari. Kadang terjerat Utang sehingga memaksa "gali lobang, tutup lobang". Ngeles dari problematika hidup menjadi ketrampilan yang wajib dimiliki.Â
Tidak perlu naik Roller coaster atau loncat Bungee-Jumping, menghadapi hidup sehari-hari sudah memacu adrenalin. Â Penuh tanda tanya dan mencekam. Dihadang awan tebal dan gemuruh halilintar seakan mengarah pada Masa depan yang suram.Â
Kekecewaan, stres dan frustasi sudah jadi makanan sehari-hari. Mengeluh, nyinyir dan julid sudah menjadi kebiasaan baru. Harapan makin jauh terbang tak tergapai. Cita-cita telah menjadi masa lalu.Â
Bertahan hidup di situasi yang semakin sulit. Tetap jujur dan mencari nafkah yang halal menjadi jalan terjal yang makin sulit didaki.
Berjalannya waktu, bertambahnya umur, bagai naik ke puncak gunung. Nafas semakin tersengal-sengal, tubuh semakin berat. Setiap langkah ke depan perlu kekuatan besar yang menghabiskan tenaga.Â
Jika tidak ada Iman yang tersisa, niscaya jalan-pintas yang akan diambil. Tak peduli Dosa dan Neraka, itu urusan belakangan...Â
Iman di hati menyisakan sebersit harapan, api kecil yang kian redup. Niscaya Tuhan akan memberi jalan keluar dari arah yang tak disangka-sangka.Â
Pada akhirnya, dengan segala pahit manisnya, Hidup itu harus Dijalani, Dinikmati dan Disyukuri.Â
*Pandji Kiansantang, Â Jakarta, 2 Mei 2021 (20 Ramadhan 1442 Hijriah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H