Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Inspirasi "Film Seni": The Science of Fictions

11 Desember 2020   05:04 Diperbarui: 11 Desember 2020   05:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film "The Science of Fictions" (Hiruk Pikuk Si-Alkisah),  yang tayang PERDANA di bioskop Indonesia pada hari ini, 10 Desember 2020. Saya tonton di Bassura XXI. Ini adalah film BARU yang saya sambut baik sebagai "moviegoer" (pengunjung setia bioskop) pada saat kini lebih banyak ditayangkan film2 tahun lalu. 

Yang perlu digarisbawahi, ini adalah "FILM SENI" (Art film / Arthouse film) : film independen yang bertema serius yang biasanya dibuat untuk alasan artistik dibanding mengejar laba komersial dan berisi konten yang sangat simbolis atau tidak biasa. Oleh karenanya film ini TIDAK ditujukan untuk penonton "mainstream" melainkan pada segmen tertentu yang lebih sempit. Hanya karena PANDEMI, dimana terdapat kekosongan pasokan film2 baru, maka film jenis ini dapat diputar di Bioskop jaringan. 

Film produksi 2019 ini tayang perdana justru di luar negeri dan "berkelana" di festival2 film, dengan memenangkan beberapa penghargaan. Tapi memang film seni sulit memikat penonton mainstream sehingga dapat diprediksi tidak akan lama tayang di bioskop. Ketika menonton tayangan di hari pertama saja,  studio yang saya tonton hanya terdapat 5 penonton dari 124 kursi, alias kosong melompong. Foto kami di studio menunjukkan hal ini. 

dok. pribadi
dok. pribadi
"Menonton Sastra dalam film", "penuh simbolis", "memaksa berpikir" dan "sulit dipahami untuk penonton umum" (bahkan terkesan "absurd"), itulah kesan yang kudapat seusai menonton film berdurasi 106 menit ini. 

Film terasa BERJARAK dengan penonton kota masa kini karena :

 1. Setting masa lalu : 1960an 

2. Pedesaan  : bersetting di desa Yogya

 3. Pemeran utamanya bisu karena lidahnya putus, tidak berdialog 

4. Gerak lambat (slow motion) pemeran utamanya yang mempengaruhi alur lambat film berdurasi  lebih dari 1,5 jam ini. 

5. Penggambaran Hitam-putih B/W sampai 45 menit pertama. 

Bagi saya yang paham sejarah Indonesia, cukup terbantu mereka-reka setting waktu dengan beberapa peristiwa historis seperti pendaratan manusia di bulan dalam misi Apollo pada 1969, peristiwa G30S 1965 dan pembantaian simpatisan komunis 1966 (ada indikasi film ini cenderung "kiri" secara ideologis). 

Ada figur mirip Bung Karno yang dipanggil "Paduka" dan pesannya agar bangsa Indonesia jangan lemah dan menjadi "antek asing".  Ada lagu berisi kritik sosial "Orang miskin dilarang mabuk. 

Politisi korup mabuk kekuasaan. Negara munafik...". Adegan pembuka reportase tentang janji Presiden AS Richard Nixon (yang baru menjabat) pada MayJend Soeharto (yang baru menjadi Presiden RI menggantikan Soekarno) untuk memberikan hadiah "batu bulan" yang diambil dari misi Apollo 11 pada 1969 mengindikasikan adanya "persekongkolan" militer Orde Baru dan AS. 

Tapi film ini ANAKRONISTIS karena bersifat meloncat2, tidak linier, seperti "lompatan kesadaran". Tokoh utamanya tampak tidak menua dari tahun 1960-an sampai ke masa kini dimana sudah dikenal HP. Ya harus dimaklumi karena seperti judul filmnnya yang berarti "Ilmu tentang Fiksi" (Rekaan).

Ada 3 INSPIRASI dari Film "The Science of Fictions" (Hiruk Pikuk Si-Alkisah):

1. Wong cilik yang jadi "korban" peristiwa besar dan harus berjuang survive menghadapi perubahan zaman. Tokoh utama, Siman, menyaksikan konspirasi yang melibatkan sang Pemimpin dan negara asing : "rekayasa" adegan pendaratan manusia di bulan, yang "kenyataannya" dibuat di pantai Yogya. 

Ini berdasar 50 tahun pendaratan manusia di bulan dalam Apollo 11 pada 20 Juli 1969 yang menimbulkan teori konspirasi yang meragukan keotentikannya. 

Supaya tidak membocorkan rahasia tingkat tinggi ini, Siman yang terpergok sebagai saksi mata dipaksa menggigit putus lidahnya sendiri. Selanjutnya Siman masuk pada "zaman edan" dengan "banjir darah" (Penumpasan G30S PKI), berganti ganti pekerjaan sampai jadi penari "astronot" dalam pegelaran Janthilan (Kuda Lumping). Tema ini tercermin dari lirik lagu film ini :  Siapa kita manusia.. ada di sana di sini, diseret-seret waktu... kita terus berjalan walau kita tak tahu ujung jalan ini... kita tak juga akan berhenti, kita terus berjalan" 

2. Obsesi yang disebabkan trauma rahasia yang disaksikan : adegan pendaratan astronot pendaratan di bulan. Ini mempengaruhi hidupnya dan seakan2 ingin membuktikam bahwa apa yang disaksikannya dulu itu nyata. 

Ia mulai bergerak serba lambat seperti gerak astronot pada antigravitasi (moonwalk), membangun rumah seperti modul pendaratan di bulan Apollo 11 : Eagle,  dan akhirnya membuat kostum astronot dan memakainya dalam pagelaran seni Janthilan (dalam spanduk acara disebutkan : "menampilkan bintang tamu Astronot Bulan"). 

3  Gerak serba lambat, slow motion Siman di dunia yang serba cepat, termasuk dunia  kerja menjadi pembeda. Seperti seni gerak (moonwalk Michael Jackson). Disebut orang desa "Menari". Menyiratkan manusia harus berhenti sejenak untuk refleksi dari cepatnya berjalannya waktu atau ia "ditelan hiruk pikuk" waktu. 

Ada beberapa nilai-tambah film ini. Akting pemeran utama - tanpa dialog (bisu)  -  yang berpenampilan "wong deso" : Gunawan Maryanto patut diacungi jempol. Tata gambar yang terkadang puitis dan mencekam pada bagian hitam putih. 

Efek suara yang misterius seperti suara dengung seperti kedap suara di luar angkasa dan beberapa kali suara kereta yang lewat tanpa sekalipun ada penggambaran kereta.

Sekali lagi, walaupun endingnya dibuat "populer" (rumah Siman yang jadi mirip modul pendaratan di bulan, menjadi viral dan dikunjungi banyak "wisatawan"), tapi film "anti-mainstream" ini BUKAN untuk semua orang, bukan hiburan ringan yang bisa ditonton sambil makan popcorn. Banyak adegan simbolis. 

Saya menduga setting "pendaratan di bulan" yang memberi bungkus science-fiction pada film ini adalah metafora. Perlu "wawasan" dan ketajaman berpikir untuk dapat memahaminya. 

*Pandji Kiansantang, 10 Desember 2020 

..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun