Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelajaran Sejarah yang Un-faedah?

19 September 2020   03:48 Diperbarui: 19 September 2020   07:40 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Satu-satunya pelajaran yang bisa diambil dari sejarah adalah kita TIDAK PERNAH belajar dari sejarah".

Kalimat ironis ini dinyatakan oleh George Bernard Shaw, seorang sastrawan Irlandia pada abad ke-19 yang terlenal dengan kemampuannya memprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang. 

Statemen ini sungguh tamparan keras bagi para sejarawan dan guru sejarah yang menjunjung adagium (pepatah) Latin  dari Cicero sang filsuf Romawi kuno "Historia vitae magistra" (Sejarah adalah Guru kehidupan). 

Kontradiksi kedua kalimat ini menjadi relevan dengan kasus hebohnya rencana Kemdikbud untuk menghapusan Sejarah sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum 2020. Banyak yang menolak rencana ini, termasuk yang telah menandatangani petisi untuk menolaknya. 

Terhadap masalah ini, Penulis berusaha untuk bersikap obyektif. Walaupun lulusan S1 jurusan sejarah dan hobi  belajar sejarah, Penulis berusaha menangkap "jiwa zaman" (zeitgeist) sehingga alih-alih membabibuta "membela pelajaran sejarah", lebih memilih untuk bersikap kritis. Mengingat latar belakang keilmuan Penulis, artikel ini bisa dikatakan "tulisan Introspektif" atau  tinjauan Oto-kritik... Harus digarisbawahi bahwa pokok masalah yang dibahas adalah "Pelajaran Sejarah" pada saat ini, bukan Sejarah itu sendiri.

3 KRITIK ATAS PELAJARAN SEJARAH

Ada 3 kritik keras pada pelajaran Sejarah di tanah air : 

1) Membosankan, kesannya hanya menghafal nama, peristiwa dan tahun.. yang dianggap menghabiskan memori otak siswa untuk sesuatu yang kurang penting. Sudah materi pengajarannya "kering" seringkali diajarkan secara "monoton" oleh guru. 

Sudah jarang ada guru yang mampu mengisahkan sejarah dengan cara "story telling" yang memikat... seperti mr. Keating dalam film "Dead Poet Society"... 

Ini membuat pelajaran sejarah "diblacklist" oleh banyak siswa... dianggap buang-buang waktu, atau  dalam bahasa gaul anak sekarang : "unfaedah"

 2) Tidak ada "link and match" dengan dunia kerja. Pertanyaan di benak siswa yang sulit dijawab adalah : "Apa manfaat pelajaran sejarah ini kalau saya sufah lulus sekolah?"... "Apa nilai 9 pada pelajaran sejarah bisa membuat saya diterima kerja di toko atau pabrik?". 

Tidak adanya korelasi langsung pelajaran dengan dunia kerja... jadi ada "gap" (kesenjangan) atau "missing link" (mata rantai yang putus) antara masa lalu yang diajarkan sejarah dengan masa depan dalam kehidupan siswa. 

3). Faktor politis rezim pemerintah. "Sejarah ditulis oleh para pemenang"... Sindiran "History" menjadi "His-story" yang dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa. 

"Politik Sejarah" : penekanan pada masa lalu yang mendukung legitimasi penguasa, diglorifikasi. Sebaliknya peristiwa-peristiwa sejarah yang dianggap bertentangan dengan garis politik penguasa, diredam, kalau bisa dihapuskan dari memori kolektif bangsa. 

Semua ini akibat pelajaran sekarah terlalu fokus  sejarah politik, padahal begitu banyak aspek sejarah lain yang "netral" (ekonomi, sosial, budaya, dll).

 Selama ke-3 kritik tersebut di atas belum dapat dicari jalan keluarnya, maka tidak heran jika pelajaran sejarah dianggap sebagai BUKAN hal yang "dibutuhkan" oleh siswa milenial ... Istilah sarkas-nya "the unnecessary evil". Fenomena ini kalau ditulis menjadi buku, mungkin judul yang cocok adalah "History is Dead!" (Sejarah sudah Mati!)... 

DINOSAURUS YANG BERNAMA "PELAJARAN SEJARAH" 

Dunia berubah... masyarakatpun berubah... apalagi di masa pandemi ini ungkapan "Change or Die" (Berubah atau Binasa!) semakin membuktikan kebenarannya. Semua hal harus mau dan mampu BERUBAH jika tidak ingin dilibas perubahan zaman... 

Survival of the fittest"... yang dapat bertahan hidup adalah yang paling dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Terkait dengan konteks ini ada pertanyaan "Lebih hebat mana : Dinosaurus atau Kecoak?" Membayangkan keperkasaan T-Rex di film Jurassic Park, tentu  saja dengan cepat bilang : "Tentu saja Dinosaurus... masa' dibandingin dengan kecoak, serangga kecil yang menjijikan itu?". 

20200919-033041-5f655324097f36766f323392.jpg
20200919-033041-5f655324097f36766f323392.jpg
Eits tunggu dulu, dilihat dari fisik memang tidak sebanding, tidak "apple to apple"... Seribu kecoak pun takkan bisa menandingi sang Monster purbakala. Tapi para fans Godzilla jangan girang dulu... Lihat secara obyektif, kedua mahluk hidup itu muncul hampir pada zaman yang sama. Tapi kini : Dinosaurus punah, Kecoak masih berkeliaran. Ketika muncul zaman es, Dinosaurus yang berdarah panas, tak mampu bertahan. Sebaliknya kecoak menyelamatkan diri dengan masuk ke dalam  tanah. Ternyata kecoak lebih hebat dari Dinosaurus! ... Dinosaurus si favorit : 0, Kecoak si underdog : 1 

Pelajaran dari perbandingan di atas adalah seperkasa apapun, kita harus mau berubah jika tidak ingin dilibas perubahan zaman. 

PASANG SURUT PELAJARAN SEJARAH

Pelajaran Sejarah pada masa Orde Baru mencapai "puncak keemasannya". Bahkan dulu ada PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Pak Harto menjadikan Sejarah sebagai sarana memperkuat legitimasi kekuasaan militer. Dulu Orde Baru yang antikomunis men-delegitimasi "Orde Lama" (rezim Demokrasi Terpimpin Bung Karno yang dianggap prokomunis) di antaranya melalui "Politik Sejarah". 

20200919-073649-5f6552f2d541df7e9f356f52.jpg
20200919-073649-5f6552f2d541df7e9f356f52.jpg
Pemerintahan era Reformasi gantian men-delegitimasi Orde Baru, di antaranya dengan menanggalkan glorifikasi sejarah militer. Pemerintahan sekarang yang didominasi PDIP - yang merupakan "anak ideologis" Bung Karno - juga punya kecenderungan tersendiri dalam memandang sejarah bangsa.

 Jika dulu di masa Orde Baru, pelajaran sejarah dianggap pelajaran penting bagi pembentukan mental bangsa (character building), secara bertahap makin berkurang arti pentingnya. Terus "terdegradasi" bahkan pada suatu titik, bisa dianggap "tidak relevan" lagi bagi pengajaran generasi milenial... 

Memang jika pelajaran sejarah masih "bermental dinosaurus" dengan tidak mau berubah menyesuaikan diri (adaptasi) dengan perkembangan zaman, maka tidak dapat disalahkan jika masih ada yang menginginkan agar dipetieskan dan dimasukkan ke dalam "museum" saja... sehingga beberapa tahun lagi, ada orangtua yang sedang meninabobokkan balitanya dengan mengisahkan "Once upon a time there was History lesson in school..." 

*Pandji Kiansantang, 19 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun