"Kematian" sebagai Tema Sosialisasi Protokol Kesehatan (Prokes) melawan pandemi Corona : Dari Peti mati, Keranda Jenazah, Kuburan dan Pocong...Â
Hal-hal "seram" ini belakangan digunakan sebagai media sosialisasi dan sanksi bagi pelanggar Prokes. Ini dilakukan di DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan tempat-tempat lain.Â
Bentuknya :Â
A. Sebagai media sosialisasi :Â
1) Kampanye sambil menggotong peti mati di jalan-jalan rayaÂ
2) Pembuatan Tugu Peti Mati beserta data update korban Covid
 3) Sosialisasi 3 M ke masyarakat dengan membawa PocongÂ
B. Sebagai sanksi bagi pelanggar Prokes dalam razia PSBB (selain sanksi standar seperti membersihkan jalan dengan pakai rompi "Pelanggar PSBB" dan didenda) :
 1) Dipaksa masuk ke peti mati selama 5 menit (sanksi ini sudah dihentikan karena disorot media asing dan menimbulkan pro-kontra)Â
2) Masuk ke dalam ambulans yang ada peti jenazahnya supaya merenung bahaya CovidÂ
3) Ditandu di atas keranda dan dibawa ke pemakamanÂ
4) Membersihkan komplek pemakaman
 5) Membaca doa (Surah Yaasiin) di pemakaman pada malam hari, dll.Â
Di tingkat Asia, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling tinggi angka kematiannya akibat Covid, khususnya untuk tenaga kesehatan (dokter dan perawat) dan anak-anak. Di tengah meningkatnya angka kematian akibat Covid (termasuk Sekda DKI yang wafat kemarin), sebetulnya cara mengkaitkan langsung dengan kematian ini adalah cara KREATIF ... mengingat semua orang takut pada kematian, apalagi pada masyarakat kita yang religius dan cenderung supranatural (buktinya banyak penggemar film horror)...Â
Tujuannya adalah menyadarkan tentang SANGAT berbahayanya Covid-19 yang dapat menimbulkan kematian bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Diharapkan masyarakat tidak lagi memandang remeh bahaya pandemi dan mau disiplin menjalankan prokes, khususnya memakai masker jika keluar rumah dan menghindari berkerumun.Â
Ya, cara ini mungkin HANYA ada di Indonesia... seperti membawa pocong pada kampanye sosialisasi atau sanksi berupa masuk ke peti mati dan membaca doa di pemakaman pada malam hari...  Mungkin pandemi Corona yang sangat memukul perekonomian, khususnya parawisata di Bali ini, akan mengilhami untuk membuat "raksasa virus  Corona" pada pawai Ogoh-ogoh menyambut Nyepi tahun depan.
Kreatif tapi apa efektif? Apakah sosialisasi model ini efektif sebagai persuasi untuk merubah perilaku masyarakat? Apakah sanksi model ini efektif menimbulkan "efek jera"? Apakah efektif untuk menimbulkan kesadaran tentang sangat bahayanya mengabaikan prokes pada masa pandemi... sehingga masyarakat dapat menyimpulkan sendiri dalam pemikirannya : Â "(Pakai) Masker atau Mati". Untuk menjawab pertanyaan ini, Â perlu survei khusus untuk membuktikannya.Â
Tapi jika manfaatnya dalam persuasi perilaku hidup sehat masyarakat masih dipertanyakan, sedikitnya ada 1 manfaat dari aspek RELIGIUS. Mungkin dari aspek ini Kementerian Agama bisa dilibatkan (diminta feedbacknya) agar cara dan pelaksanaanya dapat lebih efektif.Â
Seharusnya kampanye model ini dapat membuat kita INGAT MATI... menjadi bahan perenungan dan introspeksi... Menyadarkan kita bahwa Corona tidak pandang bulu menyerang siapa saja, termasuk pada orang-orang yang kita kenal yang sebagiannya meninggal karena virus ini. Fakta bahwa "kematian itu sudah DEKAT" Â seharusnya menyadarkan bahwa kita semua sedang dalam "antrian panggilan" untuk berpulang ke rahmatullah.Â
Ingat Mati akan menggugah kita untuk mempersiapkan diri dan memperbanyak amal sholeh sebagai "bekal" kehidupan akhirat. Membuat kita insyaf dan bertobat. Lebih mensyukuri usia dan kesehatan sebagai karunia Tuhan yang "paling sering kita remehkan"... mengisi "sisa usia," dengan untuk menjadikan hidup kita bermakna dan bermanfaat bagi sesama, dan di atas segalanya, agar kita dapat menjadi hamba Tuhan yang lebih bersyukur... "naik klas menjadi manusia yang lebih baik"... Semoga...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H