Kebutuhan akan bahan-bahan kimia sintetis hingga saat ini masih cukup tinggi dalam usaha budidaya pertanian. Mengutip data FAO (FAOSTAT. 2023. Pesticides Use) Indonesia merupakan negara konsumen pestisida terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Amerika Serikat pada tahun 2021.Â
Selain pestisida, seiring dengan pengembangan kawasan pertanian baik sektor pangan, hortikultura, perkebunan tentunya permintaan akan input budidaya lainnya termasuk pupuk juga semakin meningkat.
Presiden Joko Widodo sendiri kemudian meminta agar aturan mengenai pupuk bersubsidi dalam Permentan Nomor 10 tahun 2022 untuk disesuaikan, bahkan menegaskan bahwa pupuk organik harus diatur kembali dalam Permentan.Â
Beberapa hal penting dalam arahan Presiden yang dilansir dari siaran pers (presidenri.go.id) tanggal 27 April 2023 diantaranya keberpihakan bahwa pupuk organik harus tetap diakomodasi, dibangun kembali pola pikir mengenai pupuk organik serta mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para petani mengenai pertanian organik dalam komunitas atau asosiasi.
Berbicara mengenai pertanian organik tentu tidak lepas dari input bahan-bahan organik, bahan alami dalam budidaya pertanian baik pupuk, bahan pengendalian dan penanganan pasca panen yang minim bahkan bebas dari bahan kimia sintetis.
Tentu tidak mudah bagi petani untuk sama sekali tidak bersinggungan dengan bahan-bahan kimia sintetis tersebut dalam kegiatan budidaya mereka.Â
Dampak atau hasil yang diperoleh ketika menggunakan bahan-bahan kimia lebih cepat jika dibandingkan dengan respon yang diperoleh ketika menggunakan bahan organik/bahan alami lainnya dalam budidaya tanaman, menjadi salah satu penyebab kurangnya minat untuk beralih kepada pertanian organik.Â
Demikian juga terjadinya penurunan hasil ketika masa peralihan dari cara budidaya konvensional menggunakan bahan-bahan kimia sintetis, beralih pada sistem budidaya organik.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi stakeholders terutama bagi petani-petani swadaya jika hendak menerapkan pertanian organik dalam skala yang lebih luas.
Dalam tahapan on farm, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti arahan presiden adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan pengendali hayati yaitu musuh alami organisme pengganggu tumbuhan.Â
Secara alami, organisme pengganggu tumbuhan baik hama penyakit maupun gulma tanaman memiliki musuh alaminya sendiri. Musuh alami dapat berupa predator, jamur entomopatogen, jamur patogen tular tanah, parasit(oid) yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Pada kondisi tertentu dimana terjadi peningkatan populasi hama penyakit, diperlukan campur tangan manusia untuk meningkatkan populasi musuh alami di lapangan agar keseimbangan populasi ekosistem kebun tetap terjaga. Campur tangan manusia dilakukan dengan cara intorduksi, inundasi, augmentasi musuh alami. Proses ini yang kemudian dikenal dengan pengendalian secara hayati.
Proses terpilihnya satu agens hayati tentu harus melewati berbagai tahapan dan dimulai dari ekplorasi musuh alami potensial di lapangan berupa jamur, bakteri dan virus, parasitoid, predator yang diperoleh dari lapangan.
Setelah melakukan eksplorasi tahapan berikut yang harus dilalui adalah seleksi potensi musuh alami, uji viabilitas maupun virulensi, uji parasitasi, kemampuan predasi, tahapan Postulat Koch, pengujian kesesuaian media tumbuh buatan yang sesuai untuk perkembangan jamur kemudian musuh alami terpilih akan dikembangkan di laboratorium.
Laboratorium Utama Pengendalian Hayati merupakan salah satu instalasi teknis yang dimiliki oleh Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak dengan wilayah kerja meliputi seluruh Provinsi di Pulau Kalimantan.Â
Sesuai namanya, laboratorium ini bekerja dalam ruang lingkup pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami hama penyakit tanaman.
Sejak awal dibentuknya laboratorium ini memiliki fungsi untuk melaksanakan eksplorasi dan inventarisasi musuh alami Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) perkebunan, pengembangan teknologi perbanyakan, penilaian kualitas, pelepasan dan evaluasi agens hayati OPT perkebunan.Â
Dalam proses panjangnya, LUPH telah mengeksplorasi musuh alami potensial dan mengembangkannya sebagai agens hayati baik berupa jamur entomopatogen dan jamur antagonis tular tanah, termasuk bakteri, virus, parasitoid dan predator untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman perkebunan.
Saat ini laboratorium telah dan terus menerus memproduksi berbagai jenis jamur entomopatogen dan jamur antagonis tular tanah yang efektif mengendalikan hama dan penyakit sesuai dengan kebutuhan kelompok tani. Jamur entomopatogen adalah jamur yang tumbuh dan hidup didalam tubuh serangga sehingga menyebabkan kematian serangga inangnya.
Beberapa jenis entomopatogen yang dikembangkan LUPH diantaranya Metarhizium dari berbagai inang hama, Beauveria bassiana yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama penggerek buah kopi, penggerek batang kopi dan lada, jamur Cordyceps yang dapat digunakan untuk mengendalilkan hama ulat api pada tanaman kelapa atau kelapa sawit.Â
Sementara jamur antagonis tular tanah adalah musuh alami patogen (penyakit) tanaman yang berada di dalam tanah. Jamur antagonis tular tanah yang dikembangkan adalah genus jamur Trichoderma.Â
Beberapa kisah sukses LUPH ini adalah ketika terjadi serangan hama penyakit tanaman perkebunan beberapa waktu lampau. Ketika di sepanjang pesisir wilayah Kalimantan Barat terjadi serangan hama kumbang kelapa, LUPH berkontribusi nyata dengan melakukan pengendalian menggunakan musuh alami hama kumbang yaitu jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae.Â
Pengendalian serentak (Gertakdal) dilakukan dengan melibatkan kelompok tani para pemilik kebun yang didampingi personil dari laboratorium.
Proses pengendalian dilakukan dengan cara menaburkan formulasi jamur kedalam sarang-sarang alami hama kumbang kelapa. Pada kondisi yang optimal jamur akan tumbuh dan menginfeksi larva kumbang kelapa pada sarang-sarang tersebut.Â
Proses yang dilakukan secara berkesinambungan terbukti mampu menurunkan serangan hama kumbang kelapa pada saat itu. Ketika serangan belalang kembara (Locusta migratoria) menyerang beberapa wilayah Kalimantan Barat, jamur Metarhizium juga digunakan selain penggunaan insektisida kimia untuk mengendalikan hama belalang.
Jamur antagonis Trichoderma merupakan salah satu agens hayati yang banyak digunakan oleh petani di Kalimantan Barat. Hal ini wajar mengingat Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah sentra tanaman karet, dengan tingkat serangan penyakit jamur akar putih yang cukup tinggi.Â
Jamur antagonis Trichoderma yang dikembangkan pada media beras dan dedak juga menjadi andalan ketika terjadi serangan penyakit jamur akar putih pada beberapa daerah sentra karet.Â
Dengan dosis 100-150 gram/pohon karet terserang, Trichoderma efektif mengendalikan penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. Demikian juga untuk pengendalian penyakit busuk pangkal batang lada yang menyerang lada Kalimantan Barat pada tahun 2000an.
Golongan agens hayati lain yang juga dikembangkan adalah parasitoid salah satunya adalah Tetrastichus brontispae. Parasitoid Tetrastichus brontispae yang dikembangkan juga efektif dalam menurunkan serangan hama kumbang janur kelapa yang menyerang pertanaman kelapa di beberapa sentra kelapa Kalimantan Barat.
Laboratorium juga bekerja sama dengan peneliti dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk memperbanyak parasitoid yang digunakan untuk melakukan pengendlaian di Kabupaten Sumba Timur.
Berbagai jenis kegiatan pelatihan perbanyakan dan pengendalian OPT perkebunan telah dilakukan untuk mengkampanyekan penggunaan agens hayati dalam usaha budidaya tanaman perkebunan.Â
Melalui kegiatan pelatihan kepada petani peserta diajarkan untuk membuat  media dan memperbanyak agens hayati dengan prosedur yang telah disederhanakan.Â
Telah dipastikan bahwa penyederhanaan prosedur yang bertujuan agar kelompok tani dapat membuat jamur menggunakan peralatan yang tersedia, tetap mempertahankan tingkat aseptis serta tidak menurunkan kualitas agens hayati yang dihasilkan. Untuk memverifikasi kualitas agens hayati yang dihasilkan di tingkat petani, laboratorium melakukan uji kualitas sampel produk agens hayati.Â
Apabila kualitas agens hayati memenuhi persyaratan untuk digunakan, diantaranya jumlah kandungan spora jamur per gram, maka agens hayati tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pengendalian di lapangan.
Dalam perkembangannya laboratorium ini juga ditingkatkan kompetensinya dengan mengajukan akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN). Melalui proses yang cukup panjang akhirnya Laboratorium Penguji BPTP Pontianak memperoleh sertifikat akreditasi dengan Kode LP990-IDN dengan ruang lingkup pengujian kerapatan dan viabilitas konidium Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, serta pengujian kerapatan, viabilitas konidium dan kemampuan antagonis Trichoderma.
Peluang pengembangan agens hayati yang pertama adalah adanya serangan hama penyakit tanaman perkebunan yang masih cukup tinggi. Pengembangan kawasan perkebunan karet, kelapa sawit dan komoditas lainnya tentu disertai dengan perkembangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman.Â
Patogen tular tanah penyebab penyakit jamur akar putih karet, penyakit busuk pangkal batang lada, penyakit busuk pangkal batang tanaman kelapa sawit, dapat menyebabkan kematian tanaman dan tentu keberadaanya akan terus berkembang seiring dengan ketersediaan tanaman inang melalui pengembangan kawasan perkebunan.Â
Karena bersifat wide spread host maka patogen-patogen tersebut juga dapat bertahan pada tanaman inang lain selain tanaman yang dibudidayakan, bahkan memiliki kemampuan membentuk struktur khusus pada spora, sehingga mampu bertahan di dalam tanah ketika inang tidak tersedia. Hal ini merupakan ancaman nyata yang tidak terlihat ketika membuka lahan baru tanaman perkebunan.
Serangan penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah antara lain dengan tindakan preventif, melakukan aplikasi jamur antagonis tular tanah seperti Trichoderma pada lubang-lubang tanam sebelum melakukan penanaman. Kemampuan Trichoderma untuk tetap bertahan di alam atau persisten dalam kondisi kering sekalipun, menjadi nilai tambah dalam penggunaan agens hayati untuk pengendalian penyakit tanaman perkebunan.
Pengembangan kawasan kelapa dan kelapa sawit yang begitu masif memiliki ancaman tersendiri yaitu serangan hama kumbang Oryctes serta berbagai jenis ulat pemakan daun. Serangan kumbang kelapa dan ulat pemakan daun kelapa akan menyebabkan kerusakan daun dan menyebabkan kehilangan hasil hingga 26%. Penggunaan jamur entomopatogen Metarhizium yang sudah terbukti efektif, terlebih jika dipadukan dengan komponen pengendalian lainnya tentu akan mencegah kehilangan hasil produksi pada kebun-kebun petani.
Permasalahan derasnya isu kesehatan dan keamanan produk pertanian tercemar atau memiliki residu pestisida. Isu ini merupakan peluang pengembangan agens hayatai yang harus disikapi dan ditindaklanjuti oleh personil laboratorium.Â
Pemanfaatan agens hayati yang memiliki karakteristik aman bagi organisme bukan sasaran, menjadi kelebihan untuk menjawab permasalahan terkait isu kesehatan produk-produk perkebunan seperti kakao, kopi dan lada.Â
Penggunaan predator dan parasitoid yang bersifat aktif mencari mangsa terbukti efektif digunakan dalam pengendalian hama. Pemanfaatan predator dan parasitoid secara masif tentunya akan mengurangi penggunaan insektisida kimia dan dampak residu pestisida dalam pengendalian hama.
Tindakan konkrit yang dapat dilakukan untuk menanggapi peluang yang ada adalah dengan kembali mengkampanyekan dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pelatihan perbanyakan dan pengendalian OPT secara hayati. Penyediaan stok isolat agens hayati juga perlu agar para petani pekebun dapat melakukan perbanyakan dengan lebih mudah. Pemetaan sebaran serangan hama penyakit tanaman perkebunan menjadi salah satu dasar dalam penyediaan isolat agens hayati.
Laboratorium senantiasa harus melakukan evaluasi dan menganalisis data hasil kegiatan penyebaran maupun pelatihan pengendalian secara hayati yang telah dilaksanakan.Â
Tingkat keberterimaan kelompok tani akan kemudahan cara pengendalian, formulasi yang digunakan, efektivitas agens hayati, kemampuan bertahan dalam penyimpanan, ketersediaan isolat maupun tingkat kesulitan dalam  proses perbanyakan secara mandiri, menjadi indikator yang perlu dikaji dan menjadi referensi dalam merumuskan pengembangan kegiatan pengendalian hayati oleh personil laboratorium.Â
Laboratorium harus berani berbenah dan lebih peka terhadap perkembangan teknologi adaptif yang dikehendaki petani khususnya petani milenial. Tuntutan inovasi kemudahan cara aplikasi dan efektivitas penggunaan agens hayati perlu menjadi concern insan laboratorium.Â
Pemanfaatan metabolit sekunder, penyederhanaan atau penyediaan berbagai jenis formulasi tanpa harus kehilangan kualitas agens hayati, akan menjadi salah satu nilai jual bagi agens hayati saat ini.Â
Hal positif penggunaan agens hayati seperti tingkat persistensi yang tinggi sehingga dapat mengurangi biaya pestusuda kimia, potensi resistensi hama yang lebih rendah, faktor resiko terhadap kesehatan yang rendah, dapat menjadi nilai lebih dalam mengkampanyekan penggunaan agens hayati dalam kegiatan pengendalian OPT.
Inovasi pengendalian hayati harus serta merta diikuti langkah nyata di lapangan, melakukan gerakan-gerakan pengendalian pada titik-titik serangan OPT perkebunan dengan melibatkan stake holder terkait di tingkat Kabupaten/Kota, para penyuluh pertanian, kelompok-kelompok tani dan tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh baik teknis maupun sosial budaya.Â
Pendampingan terhadap kelompok tani peserta kegiatan perlu dilakukan untuk melakukan penguatan dan menggugah kesadaran kelompok tani dalam melakukan kegiatan pengendalian secara hayati sebagai salah satu perwujudan pembangunan pertanian berkelanjutan.Â
Pembinaan dan pendampingan kelembagaan petani perlu dilakukan secara berkesinambungan agar terjadi transformasi pola pikir petani dalam memahami klasifikasi penyakit tanaman yang masih dapat dilakukan pengendalian secara hayati, maupun mekanisme kerja agens hayati yang perlu waktu untuk dapat "mematikan" serangga hama atau menghambat perkembangan penyakit tanaman perkebunan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia.
Dari berbagai kebutuhan tersebut diatas yang disertai dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan kesehatan produk dan lingkungan pertanian yang bebas dari residu pestisida kimia hendaknya dapat dijadikan peluang investasi inovasi bidang hayati Laboratorium Utama Pengendalian Hayati BPTP Pontianak.
***
*) Penulis adalah POPT Madya BPTP PontianakÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H