Kitab Suci memberikan banyak gambaran tentang perjalanan iman. Abraham, misalnya, dipanggil Allah untuk meninggalkan tanah kelahirannya: "Pergilah dari negerimu, dari sanak saudaramu, dan dari rumah bapamu" (Kejadian 12:1). Perjalanan ini membawa Abraham ke Tanah Perjanjian, dan ia dikenang sebagai "seorang Aram pengembara" (Ulangan 26:5). Demikian pula, pelayanan Yesus dapat dipandang sebagai perjalanan dari Galilea menuju Yerusalem: "Ketika hampir tiba waktunya Ia diangkat ke surga, Ia memantapkan hati-Nya untuk pergi ke Yerusalem" (Lukas 9:51). Sebagai murid Kristus, kita dipanggil untuk mengikuti jejak-Nya, memulai perjalanan iman bersama-Nya.
Ziarah adalah pengalaman yang berlangsung secara bertahap, melibatkan berbagai rute, tempat, dan momen berharga. Dalam perjalanan ini, kita menemukan kesempatan untuk belajar, merenung, dan bertumbuh melalui katekese, ritus suci, dan liturgi. Para pendamping perjalanan sering kali memberikan wawasan baru yang memperkaya pemahaman kita. Kontemplasi atas ciptaan juga menjadi bagian dari ziarah ini, membantu kita menyadari bahwa merawat ciptaan adalah bentuk iman dan ketaatan kepada kehendak Allah (Paus Fransiskus, Surat untuk Yubileum 2025).
Ziarah juga merupakan pengalaman pertobatan, suatu proses transformasi diri menuju kekudusan Allah. Dalam perjalanan ini, kita belajar memahami perjuangan mereka yang, karena berbagai alasan, harus meninggalkan tanah kelahiran mereka demi mencari kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka dan keluarga. Dengan demikian, ziarah bukan hanya perjalanan pribadi, tetapi juga kesempatan untuk merasakan solidaritas dan belas kasih terhadap sesama.
2. Pintu Suci
Pintu Suci memiliki makna simbolis yang mendalam, menjadi tanda paling kuat dalam perayaan Yubileum. Melalui pintu ini, para peziarah menjalani momen istimewa yang menggambarkan inti dari perjalanan rohani mereka. Pembukaan Pintu Suci oleh Paus menandai dimulainya Tahun Suci secara resmi. Awalnya, hanya ada satu Pintu Suci di Basilika Santo Yohanes Lateran, katedral Uskup Roma. Namun, untuk memberikan kesempatan kepada lebih banyak umat beriman, Pintu Suci kemudian juga dibuka di basilika-basilika utama Roma lainnya, bahkan di katedral dan co-katedral di seluruh dunia.
Melangkah melewati ambang Pintu Suci adalah tindakan iman yang menggambarkan ajakan Kristus seperti tertulis dalam Injil Yohanes: "Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan diselamatkan dan ia akan masuk dan keluar serta menemukan padang rumput" (Yohanes 10:9). Tindakan ini mencerminkan keputusan untuk mengikuti Yesus dan membiarkan diri dibimbing oleh-Nya sebagai Gembala Baik. Pintu Suci adalah simbol transisi menuju tempat yang kudus—sebuah pengingat bahwa gereja bukan hanya ruang suci, tetapi juga simbol persekutuan umat beriman dengan Kristus.
Gereja adalah tempat perjumpaan, dialog, rekonsiliasi, dan damai. Di sana, umat Allah dipersatukan dalam iman, saling menyapa dalam cinta kasih, dan merasakan kehadiran Tuhan yang hidup. Memasuki gereja melalui Pintu Suci adalah ajakan untuk merenungkan panggilan kita sebagai bagian dari komunitas iman yang setia.
Di Roma, pengalaman ini memiliki makna yang lebih mendalam karena hubungan istimewa antara Kota Abadi ini dengan Santo Petrus dan Santo Paulus, dua rasul yang mendirikan komunitas Kristen pertama di sana. Makam keduanya, yang terletak di Roma, menjadi saksi iman mereka hingga kemartiran, serta menjadi sumber inspirasi rohani yang terus mengalir hingga saat ini. Bersama dengan katakomba, situs-situs suci ini mengundang setiap peziarah untuk merenungkan teladan hidup mereka yang telah membangun Gereja Universal.
3. Rekonsiliasi
Tahun Yubileum adalah lambang rekonsiliasi, sebuah “waktu yang berkenan” (bdk. 2 Korintus 6:2) untuk pertobatan. Melalui perayaan ini, umat beriman diundang untuk menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan, bertumbuh dalam iman, dan mengakui keutamaan-Nya atas segala sesuatu. Seruan Kitab Suci untuk memulihkan keadilan sosial dan menghormati bumi berakar pada kenyataan teologis: jika Allah adalah pencipta semesta, maka Ia harus menjadi prioritas utama di atas segala kepentingan duniawi. Allah sendiri yang menjadikan tahun ini kudus, dengan menganugerahkan kekudusan-Nya kepada umat-Nya.
Seperti yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam bulla Tahun Suci Luar Biasa 2015, “Kerahiman tidak bertentangan dengan keadilan, melainkan mencerminkan cara Allah mendekati orang berdosa, memberikan kesempatan baru untuk mengenali dirinya, bertobat, dan percaya. [...] Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya yang diberikan kepada semua orang sebagai anugerah yang mengalir dari wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Maka, salib Kristus adalah penghakiman Allah atas kita semua dan atas dunia, karena melaluinya Ia menawarkan kepastian cinta dan kehidupan baru” (Misericordiae Vultus, 21).
Secara praktis, rekonsiliasi terwujud melalui penerimaan sakramen tobat. Tahun Yubileum menjadi kesempatan istimewa untuk menegaskan kembali nilai pengakuan dosa dan merasakan secara mendalam sabda pengampunan Allah yang pribadi. Beberapa gereja Yubileum bahkan dibuka sepanjang waktu untuk memfasilitasi penerimaan sakramen ini. Umat diajak mempersiapkan diri dengan bimbingan rohani, sehingga pengakuan dosa menjadi pengalaman pembaruan yang sejati.
Melalui rekonsiliasi, umat beriman diajak untuk berdamai, bukan hanya dengan Allah, tetapi juga dengan diri sendiri, sesama, dan seluruh ciptaan. Hal ini menjadi wujud nyata dari kasih Allah yang membebaskan dan memperbarui kehidupan setiap orang yang kembali kepada-Nya.