Yubileum adalah waktu rahmat yang istimewa, sebuah undangan ilahi bagi umat beriman untuk memperbarui hubungan dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan. Dalam tradisi Gereja Katolik, Yubileum tidak sekadar perayaan rutin, melainkan sebuah kesempatan teologis yang mendalam untuk merenungkan kasih Allah yang tanpa batas dan mengalami transformasi batin melalui pertobatan dan rekonsiliasi.
Setiap elemen Yubileum—ziarah, doa, liturgi, pengakuan iman, indulgensi, hingga pembukaan Pintu Suci—mengandung simbolisme spiritual yang mengarah pada pemulihan dan penyucian hidup. Dalam terang iman, umat Katolik diajak untuk memasuki dimensi rohani yang lebih dalam, meneladani Kristus Sang Gembala Baik, dan memperbarui komitmen untuk hidup kudus sesuai panggilan sebagai anggota Tubuh Kristus.
Dengan memahami Yubileum sebagai anugerah ilahi, umat beriman diajak melampaui ritualitas dan menyelami maknanya yang transformatif, yaitu meneguhkan keyakinan bahwa Allah selalu setia menyertai perjalanan kita menuju keselamatan. Ini adalah momen untuk merayakan belas kasih-Nya yang melimpah, merangkul pengampunan, dan membagikan damai yang kita terima kepada dunia.
Apa itu Yubileum?
Yubileum adalah sebutan bagi tahun yang istimewa, yang namanya berasal dari alat musik tiup, yobel (tanduk domba jantan), yang digunakan untuk menandai pembukaannya. Dalam tradisi Yahudi, yobel dipakai untuk memaklumkan Hari Pendamaian (Yom Kippur), sebuah hari raya yang dirayakan setiap tahun. Namun, ketika hari raya ini menjadi awal dari Tahun Yubileum, maknanya menjadi lebih mendalam.
Dalam Kitab Suci, konsep Tahun Yubileum pertama kali dijelaskan dalam Kitab Imamat (Im 25:8-13). Setiap 50 tahun, setelah tujuh kali siklus tujuh tahun (49 tahun), umat Israel dipanggil untuk merayakan Tahun Yubileum. Meskipun pelaksanaannya tidak mudah, Yubileum ini dimaksudkan sebagai momen untuk memperbarui hubungan yang benar dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan. Perayaan ini mencakup penghapusan utang, pengembalian tanah yang dirampas, dan membiarkan ladang beristirahat sebagai tanda pengakuan akan kedaulatan Allah atas segala sesuatu.
Dalam Injil Lukas, Yesus merujuk pada nubuat nabi Yesaya untuk menjelaskan misi-Nya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19; bdk. Yes 61:1-2). Yesus menghidupi misi ini melalui tindakan kasih-Nya sehari-hari, yang membawa pembebasan dan perubahan hati.
Dalam tradisi Gereja Katolik, Yubileum pertama kali dicanangkan oleh Paus Bonifasius VIII pada tahun 1300 dan dikenal sebagai Tahun Suci, karena menjadi waktu di mana kekudusan Allah mengubah hidup umat-Nya. Frekuensi Tahun Suci telah mengalami perubahan: awalnya dirayakan setiap 100 tahun, lalu pada 1343 Paus Klemens VI menguranginya menjadi 50 tahun, dan akhirnya pada 1470 Paus Paulus II menetapkan perayaan setiap 25 tahun. Selain Tahun Suci biasa, ada juga Yubileum Luar Biasa, seperti pada tahun 1933 saat Paus Pius XI memperingati 1900 tahun penebusan, dan pada tahun 2015 ketika Paus Fransiskus memproklamasikan Tahun Kerahiman.
Cara merayakan Tahun Yubileum juga berkembang dari waktu ke waktu. Awalnya, umat diundang melakukan ziarah ke Basilika Santo Petrus dan Santo Paulus di Roma. Kemudian, tanda-tanda lain seperti Pintu Suci ditambahkan. Bagi yang berpartisipasi dalam Tahun Suci dengan sikap tobat dan iman, Gereja memberikan indulgensi penuh sebagai tanda kasih karunia Allah yang melimpah.
Ciri-Ciri Yubileum
1. Ziarah
Yubileum mengundang kita untuk memulai sebuah perjalanan, melintasi batas-batas, baik fisik maupun spiritual. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi juga sebuah transformasi diri. Oleh karena itu, persiapan menjadi bagian penting dari ziarah ini—merencanakan rute, mengenal tujuan, dan mempersiapkan hati untuk memulai langkah. Dalam arti ini, ziarah Yubileum dimulai bahkan sebelum perjalanan fisik terjadi, yakni saat keputusan untuk melangkah pertama kali diambil.
Kata "ziarah" berasal dari bahasa Latin per ager yang berarti "melintasi ladang," atau per eger yang berarti "melintasi batas." Keduanya menggambarkan esensi perjalanan ziarah: sebuah komitmen untuk keluar dari zona nyaman menuju pengalaman baru yang memperkaya iman.