Bacaan Injil Lukas 3:1-6 yang kita dengar di Minggu Adven II membawa kita pada kisah Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan sebagai persiapan menyambut Tuhan. Seruan ini bukan sekadar panggilan moral tetapi sebuah undangan untuk masuk ke dalam perjalanan iman yang mendalam. Di tengah hiruk-pikuk zaman kita, seruan Yohanes menjadi pengingat bahwa jalan yang kita tempuh sebagai umat Allah adalah jalan pertobatan dan harapan. Pertobatan bukan hanya tentang meninggalkan dosa, tetapi juga tentang menyelaraskan hati dan langkah kita dengan janji Allah.
Di Minggu Adven II ini, kita merenungkan tema "Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan." Sebagai peziarah, kita tidak hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lain, tetapi dari satu tahap rohani ke tahap berikutnya, dengan tujuan akhir bersatu dengan Allah.Â
Setiap langkah yang diambil mengandung harapan akan pemenuhan janji Tuhan. Harapan ini diteguhkan dalam Bulla Spes Non Confundit, yang mengingatkan bahwa kasih Allah, melalui Roh Kudus, telah dicurahkan di hati kita sebagai kekuatan untuk terus berjalan.
Yohanes Pembaptis mempersiapkan jalan bagi Tuhan dengan menyerukan pengampunan dosa, seperti ditulis dalam Injil. Jalan yang ia persiapkan adalah jalan yang harus kita buat juga di hati kita: luruskan jalan yang bengkok, ratakan lembah-lembah keputusasaan, dan rendahkan bukit-bukit kesombongan. Pertobatan ini membuka ruang bagi Tuhan untuk hadir, mengubah hati kita menjadi tempat tinggal-Nya yang kudus.
Sebagai umat Allah yang hidup dalam pengharapan, kita diajak untuk menjadikan perjalanan ini bukan sekadar perjalanan individual, tetapi perjalanan sinodal bersama. Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah komunitas para peziarah yang saling menopang.Â
Dalam kebersamaan inilah kita menemukan kekuatan untuk bertahan menghadapi tantangan dunia modern. Di tengah ketidakpastian, solidaritas kita adalah tanda kehadiran Tuhan yang terus bekerja di tengah kita.
Menyongsong Tahun Yubileum 2025, kita diajak untuk merenungkan pengampunan sebagai tanda harapan terbesar. Bulla Spes Non Confundit menyebutkan bahwa pengampunan tidak mengubah masa lalu tetapi memberi kita peluang untuk menatap masa depan dengan cara baru. Sakramen Rekonsiliasi menjadi salah satu jalur utama di mana harapan ini dapat kita alami secara nyata.
 Dalam pengakuan dosa, kita merasakan kelembutan belas kasih Allah yang tidak hanya menyembuhkan luka tetapi juga memberi kekuatan untuk melanjutkan perjalanan iman.
Pertobatan yang sejati juga memerlukan keheningan untuk mendengarkan suara Allah. Dalam keheningan, seperti yang dilakukan Yohanes Pembaptis di padang gurun, kita belajar untuk mengenali kehadiran Tuhan di tengah kegersangan hidup kita. Keheningan ini adalah undangan untuk berlabuh dalam harapan yang tidak mengecewakan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasul Paulus.
Ini contoh ceritera pengalaman rohaninya tentang pemulihan harapan di tengah ketidakpastian hidup. Dalam sebuah komunitas kecil yang dilanda bencana alam, seorang ibu bernama Maria kehilangan tempat tinggal dan pekerjaannya. Namun, ia tetap setia hadir dalam pelayanan Gereja, mencari kekuatan di tengah ketidakpastian. Melalui Sakramen Rekonsiliasi, Maria menemukan pengampunan atas rasa putus asanya dan kembali berpengharapan.Â