Secara filosofis, pendekatan Borromeus terhadap pendidikan didasarkan pada keyakinan bahwa pengetahuan tanpa kebijaksanaan adalah sia-sia, dan kebijaksanaan tanpa pengetahuan adalah lemah. Ia mengajarkan bahwa pendidikan harus melibatkan pengembangan kapasitas intelektual dan moral secara bersamaan. Dalam kerangka ini, ethical discernment menjadi komponen penting dari pendidikan yang dirancang Borromeus. Ia menekankan bahwa kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, adalah hasil dari pendidikan yang baik. Melalui pendidikan yang ketat, Borromeus berupaya membentuk para pemimpin gereja yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan penuh integritas, mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah dan kebaikan umat manusia.
Dari perspektif teologis, Borromeus memahami pendidikan sebagai sarana untuk mengarahkan manusia kepada kebenaran Allah. Baginya, setiap bentuk pengetahuan sejati mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang Allah dan rencana-Nya bagi dunia. Dengan demikian, pendidikan dalam perspektif teologis tidak hanya bersifat akademis, tetapi juga bersifat transformasional, mengubah hati dan pikiran untuk lebih menyerupai Kristus. Borromeus meyakini bahwa dengan membentuk para imam dan umat yang memiliki pemahaman teologis yang kuat dan kehidupan rohani yang mendalam, Gereja akan lebih mampu melayani dunia dengan cara yang setia pada Injil. Oleh karena itu, ia menempatkan pendidikan di jantung program reformasinya, sebagai sarana untuk membawa gereja kembali kepada misi aslinya sebagai sakramen keselamatan bagi semua orang (De Boer, 2004).
Warisan pendidikan yang ditinggalkan oleh St. Carolus Borromeus terus berlanjut hingga hari ini. Model seminari yang ia dirikan menjadi dasar bagi pendidikan klerus di seluruh dunia. Dengan menekankan intellectual rigor dan ethical discernment, Borromeus telah memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi pengembangan teologi dan spiritualitas dalam Gereja Katolik. Visi pendidikannya mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati melampaui sekadar akumulasi pengetahuan; ia adalah proses pembentukan jiwa, pengembangan moral, dan pertumbuhan spiritual yang menyeluruh. Borromeus menunjukkan bahwa hanya dengan menggabungkan pengetahuan dengan kebijaksanaan, Gereja dapat mencapai pembaruan yang sejati dan berkelanjutan (Oakley, 2010).
3. Pelayanan dengan Kasih (Service through Charity)
St. Carolus Borromeus menjalani hidupnya dengan prinsip caritas, di mana setiap tindakan pelayanannya dilandasi oleh cinta kasih yang tulus. Ia dikenal karena keberaniannya saat menghadapi wabah penyakit di Milan, di mana ia tetap memberikan perhatian dan perawatan kepada yang menderita, menunjukkan compassionate leadership yang cerdas dan berintegritas.
St. Carolus Borromeus adalah perwujudan nyata dari prinsip caritas, cinta kasih yang tak terbatas dan berkorban, yang merupakan inti dari ajaran Kristiani. Borromeus memahami bahwa kasih adalah hukum tertinggi yang harus menjadi dasar setiap tindakan pelayanan dalam Gereja. Baginya, caritas bukan hanya konsep teologis, tetapi juga suatu panggilan untuk bertindak, terutama dalam situasi yang paling menantang. Dalam filosofi pelayanannya, Borromeus menekankan bahwa kasih harus diwujudkan melalui tindakan nyata, terutama dalam melayani mereka yang paling membutuhkan. Kasih yang ia tunjukkan tidak bersyarat, tanpa memandang status sosial atau kondisi kesehatan mereka yang dilayani, mencerminkan komitmennya yang mendalam terhadap ajaran Yesus Kristus tentang kasih yang melampaui batas.
Keberanian Borromeus dalam menghadapi wabah penyakit yang melanda Milan pada tahun 1576 adalah bukti nyata dari dedikasinya terhadap prinsip caritas. Saat banyak pemimpin memilih untuk melarikan diri demi keselamatan pribadi, Borromeus justru tinggal dan mengambil tanggung jawab penuh untuk merawat mereka yang terkena dampak. Ia turun langsung ke jalanan, mendirikan rumah sakit, dan memberikan bantuan kepada yang sakit dan sekarat. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan keberanian fisik, tetapi juga kekuatan spiritual yang luar biasa. Borromeus percaya bahwa pelayanan dalam cinta kasih harus mengorbankan diri, menempatkan kebutuhan orang lain di atas kenyamanan dan keselamatan pribadi. Dalam situasi ini, ia menunjukkan apa yang disebut sebagai compassionate leadership, di mana pemimpin tidak hanya mengarahkan dari jauh, tetapi juga hadir dan berpartisipasi dalam penderitaan umatnya (Jones, 2007).
Secara teologis, tindakan Borromeus selama wabah adalah cerminan dari kasih Allah yang tak terbatas kepada umat manusia. Ia melihat setiap orang yang menderita sebagai citra Allah yang harus dihormati dan dilayani dengan penuh kasih. Pandangannya sejalan dengan ajaran Gereja mengenai martabat manusia, yang mengakui bahwa setiap individu, terlepas dari situasi mereka, memiliki nilai yang tak terukur di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, caritas Borromeus tidak hanya bersifat filantropis tetapi juga sakramental, karena melalui pelayanannya, ia membawa kehadiran Allah yang menyembuhkan kepada mereka yang menderita. Dalam pelayanan ini, Borromeus menghidupi sabda Yesus dalam Injil Matius 25:40, "Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Marini, 2014).
Dari perspektif filosofis, tindakan Borromeus mengajarkan bahwa kasih adalah kekuatan transformatif yang melampaui logika duniawi. Dalam situasi yang tampaknya tanpa harapan, seperti wabah yang mematikan, Borromeus melihat kesempatan untuk mewujudkan kasih Allah yang tidak terbatas. Filosofi caritas-nya menantang kita untuk melampaui rasa takut dan egoisme, dan sebaliknya, mengarahkan kita kepada tindakan yang didorong oleh kasih yang tulus. Borromeus memahami bahwa kasih yang sejati tidak pernah statis atau pasif; ia selalu dinamis dan berupaya membawa kebaikan bagi orang lain, bahkan jika itu memerlukan pengorbanan besar. Dalam hal ini, caritas menjadi prinsip etika tertinggi yang mendefinisikan tindakan moral seorang Kristen (Tanner, 1990).
Pelayanan Borromeus yang dilandasi oleh caritas memberikan teladan bagi Gereja dan umat beriman di sepanjang zaman. Ia menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dalam Gereja harus berakar pada kasih yang mendalam dan tulus kepada semua orang, terutama mereka yang paling membutuhkan. Dengan meneladani Borromeus, Gereja dipanggil untuk tidak hanya berbicara tentang kasih tetapi juga untuk mewujudkannya dalam tindakan nyata. Melalui compassionate leadership yang berintegritas, Gereja dapat terus menjadi sakramen kasih Allah di dunia, menghadirkan harapan dan penyembuhan di tengah-tengah penderitaan. Borromeus mengingatkan kita bahwa di tengah tantangan terbesar, kasih adalah jawaban yang paling kuat, karena di dalam kasih itulah Allah sendiri hadir dan bekerja (Knecht, 2001).
4. Asketisme dan Disiplin Diri (Asceticism and Self-Discipline)
Menjalani hidup yang penuh disiplin dan pengorbanan, St. Carolus Borromeus mengajarkan pentingnya spiritual integrity melalui asketisme pribadi. Ia menolak kemewahan duniawi dan memilih hidup sederhana sebagai wujud komitmen penuh kepada Tuhan. Integritas moral dan spiritualitas mendalam menjadi dasar dalam setiap keputusannya.
St. Carolus Borromeus menjalani kehidupan yang ditandai dengan asketisme yang ketat dan disiplin diri yang luar biasa. Baginya, asketisme bukan sekadar tindakan menahan diri dari kesenangan duniawi, tetapi merupakan jalan menuju kesucian dan kedekatan yang lebih dalam dengan Tuhan. Dalam pandangan Borromeus, dunia ini penuh dengan godaan yang dapat mengalihkan perhatian manusia dari tujuan utamanya, yaitu bersatu dengan Tuhan. Oleh karena itu, ia memilih untuk menolak segala bentuk kemewahan dan kenyamanan yang dapat mengganggu konsentrasi rohani. Asketisme bagi Borromeus adalah sarana untuk mencapai spiritual integrity, di mana seseorang tidak hanya menjaga kesucian hati tetapi juga memurnikan niat dan tindakan agar selalu selaras dengan kehendak ilahi.