Tantangan ekonomi memiliki dampak signifikan pada partisipasi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dalam pendidikan. Anak-anak yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu seringkali menghadapi hambatan yang serius dalam akses dan partisipasi dalam pendidikan. Hal ini bertentangan dengan SDG 1, yang menetapkan tujuan untuk mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk.
Dr. Amartya Sen, seorang ekonom dan penerima Hadiah Nobel dalam bidang Ekonomi, menekankan pentingnya pendidikan dalam mengatasi kemiskinan. Ia menyatakan, "Education is the most powerful tool for reducing inequality and promoting sustainable development."Â
Tantangan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga berpenghasilan rendah dapat mencakup keterbatasan akses ke sumber daya pendidikan, seperti buku teks, alat tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya. Selain itu, biaya pendidikan, termasuk biaya sekolah, seringkali menjadi beban yang tidak terjangkau bagi keluarga dengan penghasilan rendah. Akibatnya, anak-anak mungkin terpaksa untuk bekerja atau tidak dapat mengikuti pendidikan yang berkualitas.
Pencapaian SDG 1, yaitu mengakhiri kemiskinan, secara erat terkait dengan pendidikan. Anak-anak yang dapat mengakses dan menyelesaikan pendidikan berkualitas memiliki peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kondisi ekonomi mereka sendiri dan keluarganya di masa depan. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi tantangan ekonomi yang mempengaruhi partisipasi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dalam pendidikan adalah kunci dalam mencapai SDG 1.
Dalam konteks ini, pendidikan inklusif memiliki peran penting dalam memberikan kesempatan yang lebih merata untuk semua anak, termasuk mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Dengan memastikan bahwa pendidikan berkualitas dapat diakses tanpa hambatan ekonomi, pendidikan inklusif berkontribusi pada mengurangi ketidaksetaraan dan mendukung pencapaian SDG 1 yang berupaya untuk mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk.
Akar Penyebab Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan dan Implikasinya pada SDG 5 (Kesetaraan Gender)
Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan memiliki akar penyebab yang kompleks dan bervariasi, tetapi beberapa faktor utama termasuk stereotip gender, peran tradisional yang diharapkan dari masing-masing gender, dan ketidaksetaraan dalam akses dan kesempatan pendidikan. Ketidaksetaraan ini bertentangan dengan SDG 5, yang menekankan pentingnya mencapai kesetaraan gender dan memberikan hak yang sama kepada semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Dr. Rukmini Banerji, CEO Pratham Education Foundation, menyoroti akar penyebab ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Ia menyatakan bahwa "Gender inequality in education often stems from gender stereotypes maintained by society, leading to different expectations of boys and girls."Â
Stereotip gender dapat menghasilkan ekspektasi yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam hal pencapaian akademik dan pilihan karir. Anak perempuan seringkali dihadapkan pada tekanan untuk memilih pekerjaan yang dianggap sesuai dengan gender mereka, sementara anak laki-laki mungkin diharapkan untuk mengambil jalur pendidikan yang lebih teknis atau ilmiah. Hal ini dapat menghambat potensi individu dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, ketidaksetaraan dalam akses dan kesempatan pendidikan juga merupakan faktor penting. Di beberapa negara, anak perempuan masih menghadapi hambatan akses ke sekolah, baik karena faktor ekonomi, budaya, atau sosial. Akibatnya, mereka memiliki peluang terbatas untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, yang bertentangan dengan semangat SDG 5 yang mengadvokasi kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan.
Dalam rangka mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan, diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi akar penyebab ketidaksetaraan gender. Ini termasuk mengubah stereotip gender, memastikan akses yang merata ke pendidikan, dan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin. Upaya-upaya ini mendukung pencapaian SDG 5 yang bertujuan untuk mengakhiri ketidaksetaraan gender dalam semua bidang kehidupan.
Manfaat Jangka Panjang dari Pendekatan Kurikulum Inklusif dalam Menciptakan Masyarakat Beragam dan Toleran Sesuai dengan Semangat SDG 16
Pendekatan kurikulum yang inklusif memiliki dampak yang signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih beragam dan toleran, sesuai dengan semangat SDG 16 yang menekankan perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat. Kurikulum yang inklusif berfokus pada pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman individu dan kelompok dalam masyarakat, serta mempromosikan pemahaman dan toleransi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya