Mendorong kreativitas (Encouraging creativity): DTÂ mendorong kreativitas, dan orang tua yang mengadopsi pola pikir ini dapat mendorong anak mereka untuk mengembangkan solusi baru dan inovatif untuk masalah yang mereka hadapi.
Membina keterampilan memecahkan masalah (Fostering problem-solving skills): DT membutuhkan keterampilan memecahkan masalah, dan orang tua yang mendorong pola pikir ini dapat membantu anak-anak mereka mengembangkan keterampilan berpikir analitis dan kritis yang akan menguntungkan mereka dalam kehidupan akademik dan profesional mereka.
Mempromosikan kolaborasi (Promoting collaboration): DT membutuhkan kolaborasi, dan orang tua yang mengadopsi pola pikir ini dapat mendorong anak-anak mereka untuk bekerja secara efektif dalam tim dan mengembangkan keterampilan komunikasi dan interpersonal mereka.
Mengembangkan empati (Developing empathy): DT membutuhkan empati, dan orang tua yang mengadopsi pola pikir ini dapat membantu anak-anak mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang orang lain dan kebutuhan unik mereka, yang dapat meningkatkan keterampilan dan hubungan sosial mereka.
Secara keseluruhan, memiliki pola pikir DT di antara orang tua dapat menghasilkan lingkungan belajar yang lebih mendukung dan menarik bagi anak-anak mereka. Dengan memasukkan DT ke dalam pendekatan pengasuhan mereka, orang tua dapat menumbuhkan kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, kolaborasi, dan empati pada anak-anak mereka. Ini pada akhirnya dapat mengarah pada hasil akademik dan pribadi yang lebih baik untuk anak-anak mereka dan mempersiapkan mereka untuk sukses dalam karir masa depan mereka.
"Design Thinking is not a linear process, but rather a cycle of inspiration, ideation, and implementation that can be repeated and refined over time." - IDEO, "Design Thinking for Educators Toolkit"
9. Bagaimanakah mindset ini diaplikasikan dalam setiap pembelajaran di kelas?
DT dapat diterapkan di setiap pelajaran di kelas dengan memasukkan langkah-langkah berikut:
Berempati (Empathize): Guru harus mulai dengan memahami kebutuhan dan tantangan siswa mereka. Ini bisa melibatkan melakukan survei, wawancara, atau observasi untuk mendapatkan wawasan tentang pengalaman dan perspektif siswa mereka.
Tentukan/mendefinisikan (Define): Setelah guru memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan siswa mereka, mereka harus menentukan masalah atau tantangan yang ingin mereka tangani dalam pelajaran.
Ideate:Â Guru harus mendorong siswa mereka untuk menghasilkan ide-ide tentang bagaimana mengatasi masalah atau tantangan. Ini bisa melibatkan brainstorming, pemetaan pikiran, atau teknik ide lainnya.
Prototipe (Prototype): Siswa harus mengembangkan dan menguji ide-ide mereka dengan membuat prototipe, atau model dari solusi mereka.
Tes (Test): Siswa harus menguji prototipe mereka untuk melihat seberapa baik mereka mengatasi masalah atau tantangan. Ini bisa melibatkan melakukan pengujian pengguna atau mendapatkan umpan balik dari rekan atau guru.
Dengan menggabungkan DT ke dalam setiap pelajaran di kelas, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih menarik dan kolaboratif yang mendorong kreativitas, pemikiran kritis, dan keterampilan memecahkan masalah. Selain itu, pendekatan ini membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang lebih aktif dengan mengambil kepemilikan atas proses pembelajaran mereka dan mengembangkan keterampilan yang berharga baik di dalam maupun di luar kelas. Pendekatan DT adalah berpusat pada siswa.
"Design Thinking is not a silver bullet, but rather a tool that can help educators to approach their work in a more strategic, creative, and empathetic way." - Alyssa Gallagher and Kami Thordarson, authors of "Design Thinking for School Leaders"