Mohon tunggu...
Pj Fatamorgana
Pj Fatamorgana Mohon Tunggu... -

lebih baik mati terlupakan, daripada selamanya dikenang orang karena menyerah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Homicide

24 Desember 2013   21:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:31 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi lagi gw nga bosan bercerita tentang sebuah group hiphop asal bandung ini,
nama groupnya "HOMICIDE" Seperti yang banyak diakui orang,
Homicide adalah sebuah anomali.
Mereka adalah band hiphop yang
lebih dikenal di scene hardcore/
punk dibanding popularitas mereka
di scene hiphop. Meski beberapa pelaku di scene hiphop indonesia
mengakui bahwa Homicide adalah
salah satu pioneer di tanah air,
mereka tak cukup dikenal terutama
oleh para anak-anak hiphop
kemaren sore. Ini dikarenakan oleh Homicide sendiri yang sangat
tidak peduli pada produktivitas
materi. Untuk seukuran band
seperti mereka yang sudah
berumur hampir 12 tahunan,
mereka terhitung sebagai band yang sangat pelit dalam
menghasilkan materi. Lagu-lagu
mereka hanya beredar dikalangan
tertentu dan sangat sulit didapat,
hanya ada di beberapa kompilasi
dan demo yang sangat sukar ditemukan di ‘pasar’. Tapi mereka terkenal karena hebatnya materi-
materi itu sendiri. Legends live
because they are that great.
Meskipun sedikit tapi cukup
membelalakkan mata orang, tak
hanya penggemar hiphop tapi juga para penggemar genre lain,
terlebih di scene punk/hardcore
dimana mereka sering memberi
cameo (featuring) di beberapa
band underground Bandung dari
Undercontrol hingga Balcony hingga Puppen. Tak boleh
dilupakan pula, keterlibatan
mereka di aktivisme, konsistensi
mereka thd etos D.I.Y dan
integritas mereka sebagai MC
yang tak kenal kompromi dalam hal estetika hiphop, melahirkan
anekdot lucu bahwa Homicide
adalah band hiphop yang lebih
‘punk’ dari band punk di Indonesia, sekaligus sebuah band punk yang
lebih ‘hiphop’ dari grup-grup hiphop di tanah air. Tak heran jika banyak
orang yang menanti terlalu lama
untuk album ini dan untungnya
penantian itu berakhir
memuaskan. Oke… langsung ke album. “Album ini bukan album artian sesungguhnya” begitu tulis Morgue Vanguard
dalam liner notes pengantar CD
ini. Dan memang demikian adanya.
Album ini lebih merupakan
dokumentasi karya mereka sejak
formasi 3 MC & 1 DJ, hingga menyisakan Morgue Vanguard
seorang (atau sosok yang lebih
kita kenal sebagai Ucok).
Semuanya 18 lagu, setengah dari
EP mereka “Prosa Tanpa Tuhan” yang dijadikan materi split dengan
Balcony, setengahnya lagi dari EP
“Barisan Nisan” yang dibuat setelah Aszi (Sarkasz) meninggalkan
Homicide, namun tidak jadi dirilis
Ucok entah alasan kenapa,
(kemungkinan besar masalah
finansial). Sisanya single-single
dari kompilasi dan satu demo mereka yang menggebrak di
bawah tanah jaman Suharto dulu,
“State of Hate” yang pernah masuk di album kompilasi band-band
Bandung, “Brain Beverages”. Singkatnya album ini adalah “koleksi ’sonic works’ mereka selama 11 tahun eksistensi Homicide”, begitu penjelasan press release dari
Subciety Records yang merilis
album ini. Dokumentasi ini cukup
memperlihatkan kita rangkaian
evolusi musik mereka dan sekaligus
menunjukkan integritas mereka
sebagai MC dengan menembus
batas-batas penulisan lirik hiphop dalam bahasa indonesia yang
selama ini ada. Tak hanya layak
diapresiasi sebagai ‘album hiphop’ tetapi, dalam segi bentuk lirikal-
nya sendiri, syair yang mereka
buat adalah sebuah bentuk baru
yang bisa diapresiasi sebagai
‘karya sastra’ kalau kita berbicara pada wilayah pantun dan puisi. Kecepatan flow mereka, delivery
yang acak, kosakata yang bejibun
dan cerdas, dan metafor yang tak
lazim dan jelimet. Semuanya
memang membuat materi mereka
agak sulit dicerna awam dengan sekali mendengar. Majas
pengandaian (metafor) yang
dalam hiphop sering dipakai, oleh
mereka tak dibiarkan tergeletak
sebagai kepingan tunggal. Metafor
itu tak hanya berbentuk ‘kata’ namun dalam wujud bangunan
kalimat solid yang sambung-
menyambung tak bisa dipisahkan
begitu saja sehingga tak bisa
diartikan dalam satu penggalan
dan saya jamin, akan menghasilkan orang-orang yang
membenci mereka lebih benci lagi
dengan mengutipnya setengah-
setengah. Dari track satu ke
lainnya, Homicide tak pernah
kehilangan sentuhan yang membuat mereka terkenal:
mengawinkan bahasa intelektual
dengan bahasa terminal, plus
balutan kosakata battle yang
menghasilkan lirik-lirik mutan yang
sulit dicari padanannya di khasanah hiphop dalam negeri.
Pada lyric sheet mereka (yang
super panjang) kalian akan
menemukan kata ‘inkuisisi’ dan ‘** sensor **’ sekaligus dalam satu kalimat, atau mungkin ‘mediasi’ dan ‘bondon’ dalam satu verse. Saya ingin sekali memuat kutipan
lirik mereka disini. Namun sialnya,
hampir semua lirik mereka tidak layak
kutip. Jadi daripada tidak adil,
saya sarankan lebih baik kalian
buktikan saja sendiri dengan mendengarkannya. Dari materi
awal mereka ketika Lephe masih
bergabung, “Post Mortem Hiphop”, lagu manifesto mereka “Boombox Monger”, track kontroversial “Puritan”, hingga brengseknya “Semiotika Rajatega”, adalah bukti dari formasi duet MC paling maut
di tanah Jawa; Ucok dan Aszi plus
Iwan sebagai DJ mereka. Sedangkan 7 track terakhir
membuktikan mengapa Ucok layak
disebut frontman dan garda depan
Homicide. Selain reputasi dirinya
secara personal sebagai seorang
individu kharismatik dan influential dengan segala aktivitasnya diluar
Homicide yang sama ikonik-nya, ia
membuktikan bahwa meskipun
sendirian (dalam hal menulis lirik
dan musik) ia tetap dapat menjaga
Homicide tak kehilangan taringnya. Meski sudah beranak dua, Ucok
tak kehilangan sedikit apapun.
Buktikan saja dengan menyetel
keras-keras track spoken words
“Barisan Nisan” yang menggetarkan dan “Senjakala Berhala” yang menegakkan bulu kuduk jika di
setel tengah malam hingga “Belati Kalam Profan” yang buas dan “Nekropolis”, track gila yang berisiknya minta ampun,
menghadirkan guest vocal Addy
Gembel, vokalis band death metal
ternama, Forgotten, dari Bandung
(ya betul, saya bilang death
metal!!). Dengarkan juga lagu ‘perpisahan’ ucok dengan Sarkasz yang meninggalkan Homicide
berjudul ‘Membaca Gejala dari Jelaga”, sangat-sangat emosional, politis namun sangat personal.
Juga cek lagu tribut Ucok bagi
Widji Thukul, sang penyair
favoritnya yang dihilangkan
pemerintah di era Suharto. Pada
“Sajak Suara” Ucok membaca puisi Thukul, berjudul sama, dengan
sangat brutal. Tapi yang paling
mengejutkan adalah lagu ber-titel
“Rima Ababil” yang radio-friendly namun tak sedikitpun mengurangi
bobot isinya. Ucok nge-rap
dengan flow yang tak biasa dia
pakai sebelumnya. Namun dengan
sample suara Munir almarhum
(menyebut militer sebagai orang- orang pengecut) yang dipakai
sebagai intro, lagu ini tak dijamin
juga bisa diputar di radio-radio. Bisa saya bilang, semua materi
tadi memiliki kekuatan magis yang
membuat orang-orang yang tak
suka musik hiphop atau tak suka
politik harus terpaksa menaruh
perhatian pada mereka. Namun karena begitu kuatnya lirik
mereka, ada satu hal yang banyak
luput dari perhatikan orang,
bahwa musik Homicide adalah
sebuah kekuatan tersendiri. Kalian
dapat mendengarkan musik mereka tanpa harus terganggu
dengan apa yang mereka
bicarakan, menganggukkan kepala
pada beat-beat mereka tanpa
harus khawatir bosan dengan
kalimat-kalimat mereka. Secara keseluruhan album ini pun
membuktikan bahwa Homicide
tidak peduli dengan trend beat
yang menyapu dunia. Mereka
konsisten dengan gaya hiphop
awal 90-an mereka. Raungan sirine, noise, beat James Brown,
dan loop hook yang dibiarkan
kotor, mengingatkan kita pada
kejayaan hiphop di era RUN DMC,
Public Enemy, Gang Starr, atau
EPMD dan Soul Assasins di akhir 80-an hingga pertengahan 90-an.
Tak hanya berhenti disitu, mereka
juga berhasil meminang sound dan
sample dari musik-musik
avantgardis seperti This Heat dan
Godflesh, juga drones melodis menyayat ala Godspeed You!
Black Emperor. Meski memberi
album ini 4 bintang alias keren,
Rolling Stone sama sekali salah jika
mengatakan bahwa apa yang
mereka lakukan secara musikal bukanlah sesuatu yang baru!
Peran Iwan sebagai DJ di hampir
setiap track pun luar biasa. Meski
Ucok yang menulis semua musik,
kontribusi Iwan dalam membuat
musik Homicide secara artistik menakjubkan tak bisa dilihat
sebelah mata. Silahkan dengar
“Belati Kalam Profan” dan versi remix dari “Boombox Monger” jika tak percaya. Pada kesimpulan akhir, “The Nekrophone Dayz” ini adalah kesempatan baik bagi mereka
yang tak pernah mengenal
Homicide untuk mendengarkan
sendiri apa yang membuat mereka
hebat dan se-legendaris yang
dibicarakan orang. Dan bagi yang pernah dan tahu sosok mereka, ini
dapat membuat kita cukup
menempatkan mereka pada posisi
yang seharusnya; sebagai salah
satu grup musik terpenting yang
pernah lahir di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun