Mohon tunggu...
Piyama Mania
Piyama Mania Mohon Tunggu... -

ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Koneksi

9 Juni 2011   07:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:42 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti saya bilang dalam tulisan kemarin kalau saya sedang belajar menulis. Saya mulai menulis kira-kira pertengahan tahun kemarin, agak lama perkembangannya karena saya punya pekerjaan lain jadi tidak bisa terus-terusan menulis.

Tapi saya bertekad sekali ingin menjadi penulis. Kata beberapa orang, saya harus mulai menulis disurat kabar atau majalah. Jujur saya tidak PD karena sebelumnya saya tidak pernah menulis sekalipun. Saya juga tidak tahu harus menulis apa tapi karena ingin mencoba ya saya coba.

Saya menulis essai tentang buku-buku sastra dan buku-buku populer. Saya mengirimnya kesalah satu surat kabar, ada yang bilang pemuatannya setelah 3 mingguan tulisan itu di kirim, jadi saya tunggu hasilnya. Lalu 3 minggu kemudian saya membeli surat kabar yang dimaksud, tulisan saya tidak di muat. Mungkin minggu depannya, saya pikir, jadi saya kembali lagi membeli koran minggu depannya... Eeehhhhh... tidak ada juga. Tapi saya masih berpikir positif kalau tulisan saya mungkin akan dimuat minggu berikutnya.

Minggu depannya... Tidak dimuat juga. Saya sedih dan bertanya-tanya kenapa. Saya pikir akan ada pemberitahuan kalau tulisan saya tidak di muat karena apa, ternyata saya cek e-mail tidak ada kabar apa-apa dari surat kabar itu.

Kata teman saya, mungkin tulisan saya tidak memenuhi standar tulisan di surat kabar itu. Mungkin saja. Saya tidak pernah mengingat ini sebelumnya. Saya mengirim tulisan ya mengirim saja tidak ada pemikiran apa-apa. Ah, tapi mungkin benar juga kata teman saya. Tulisan saya tidak sesuai dengan standar surat kabar tersebut.

Lama saya tidak menulis, akhirnya saya menulis lagi akhir tahun kemarin. Kali ini cerpen dan saya kirim ke surat kabar lokal. Nasibnya sama dengan tulisan saya sebelumnya. Tidak ada kabar tidak ada berita. Kemudian saya kasih lihat cerpen saya itu ke teman saya, siapa tahu jelek karena maklum, saya kan baru belajar menulis. Kata teman saya, masalahnya ada di grammar. Saya tidak bisa menempatkan tanda baca dan kata depan dengan baik, katanya. Sementara isi cerita tidak ada masalah, selain alur cerita yang kadang kurang nyambung dan kosa kata saya yang tidak banyak, jadi saya memakai kata yang sama berulang-ulang.

Saya hanya menerima kritik itu sembari berkata pada diri sendiri kalau lain kali kalau akan menulis saya harus memeriksanya dengan teliti, apalagi masalah grammar tadi. Saya juga minta bantuan teman saya untuk tidak bosan membaca tulisan-tulisan saya karena sebagai anak bahasa dia pasti mengerti grammar. Apalagi grammar bahasa Indonesia yang bisa memusingkan itu. Tapi disitulah kekayaan bahasa persatuan kita.

Lalu saya dan teman saya berbicara tentang menulis. Dia mengaku katanya juga pernah menulis di surat kabar. Dari kira-kira 6 naskah hanya 1 yang dimuat. "Kenapa?" saya bertanya pada dia. Teman saya juga tidak tahu persisnya kenapa. Yang satu itu katanya untung-untungan bisa dimuat. Sedangkan yang lainnya tidak jelas nasibnya.

Kata teman saya, mungkin karena tulisannya tidak sesuai standar surat kabar yang bersangkutan atau idenya tidak brilian. Atau... karena editor atau redakturnya sama sekali tidak membaca tulisan dia.

Yang terakhir ini bikin saya melohok, bagaimana bisa editor tidak membaca tulisan yang masuk ke redaksi?

Kata teman saya, bisa saja hal itu terjadi karena e-mail yang di maksudkan untuk menampung tulisan dari luar tidak pernah di buka. Itu e-mail formalitas, yang sebenarnya adalah tulisan yang masuk dikirim ke e-mail editornya langsung, dan biasanya tulisan yang dimuat adalah tulisan penulis yang sudah kenal editornya. Jadi singkatnya, untuk mengirim tulisan ke surat kabarpun harus ada koneksi, seperti pencari kerja yang akan bekerja di sebuah perusahaan tertentu yang suka membutuhkan koneksi dengan orang dalam.

Mendengar cerita itu saya kecewa, saya memang tidak tahu itu betulan atau tidak, tapi saya kecewa begitu saja. Kok dunia menulis itu bisa jahat? Padahal tadinya saya pikir jujur dan idealis.

Lalu teman saya berkata lagi bahwa uang mungkin tidak ada, tapi koneksi atau kenal itu perlu, dan itu tidak hanya terjadi di surat kabar saja tapi juga penerbit buku, kata teman saya menambahkan.

Ah kalau begini caranya saya tidak tahu harus bagaimana. Bagaimana bisa jadi penulis kalau caranya harus seperti itu? Itu seandainya kata teman saya itu benar adanya.

Saya sih hanya berharap itu tidak benar. Tapi kalaupun benar ya mau bagaimana lagi, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kesempatan di lirik editor atau penerbit buku sambil terus mengasah kemampuan menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun