Raisa sepertinya menjadi penyanyi yang paling terpukul begitu Covid-19 melanda Indonesia. Rencana konser tunggal terbesar dalam sejarah karirnya juga yang akan tercatat sebagai penyanyi perempuan Indonesia pertama yang melangsungkan konser tunggal di Stadion Utama Gelora Bung Karno pun hancur berantakan.
Sejak akhir tahun 2019 promosi konser tersebut digeber, bahkan tiket pun sudah banyak terjual. Bisa dibayangkan persiapan produser, sutradara acara, kreatif, musisi, penyanyi dan penari latar, sponsor, dan tentu saja booking panggung, lampu, dan sebagainya.Â
Raisa dan tim masih cukup nyakin konser masih bisa dilaksanakan di Jakarta dengan memundurkan jadwal dari bulan Juni ke bulan November. Akan tetapi serangan Covid-19 terus mengganas. Semua pihak harus pasrah menerima kenyataan konser tunggal di SUGBK dibatalkan hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
Patah hati sudah pasti, kecewa sudah jelas tidak hanya bagi Raisa tapi juga industri musik nasional di mana artis perempuan  pertama dari negeri sendiri bisa melakukan konser tunggal di stadion sepak bola yang belum terjadi sebelumnya mengadakan konser tunggal.
Sebelumnya hanya artis internasional yang bisa konser di SUGBK seperti Ed Sheeran, Guns n Roses atau Super Junior. Kalaupun ada artis Indonesia yang bisa konser tunggal di SUGBK adalah Iwan Fals, Kantata Takwa, dan Slank. Yang lain kalaupun pernah manggung di SUGBK biasanya untuk konser keroyokan acara televisi, acara partai, acara perusahaan, dan lainnya.Â
Tak lupa ajang pembukaan Asian Games 2018 bisa dibilang "konser" keroyokan artis Indonesia yang paling spektakuler selama ini di tanah air.
Rupanya mimpi Raisa mungkin akan kembali bersemi setelah pemerintah membuka kembali izin untuk penyelenggaraan konser musik. Ia kembali manggung di Joyland di Bali akhir Maret 2022 kemarin yang sukses besar. Joyland adalah festival musik selama tiga hari di Nusa Dua yang menghadirkan artis lain seperti Maliq & D'essentials, Isyana Sarasvati, Kunto Aji, The Sigit, Pamungkas, White Shoes & The Couples Company, dan lain-lain.
Kemudian ada kabar Rossa yang akan melakukan konser tunggal 25 tahun berkarya dan Justin Bieber yang beberapa hari belakangan ini menjadi buah bibir di kalangan netizen tanah air.Â
Meski konser tunggal Justin Bieber di SUGBK akan berlangsung bulan November nanti, tapi tiketnya sudah mulai dijual. Tak tanggung-tanggung tiket termahalnya dijual dengan harga 6 juta rupiah dan tiket termurah seharga 1.5 juta rupiah.
Jika diambil harga rata-ratanya di kisaran 3.000.000 rupiah dengan jumlah penonton di angka 50.000 orang maka ada perputaran uang 150 milyar rupiah. Jika jumlah penonton hingga 75.000 orang maka menghasilkan 225 milyar rupiah untuk satu kali konser. Itu baru dari konsernya saja belum efek sampingannya dari akomodasi dan transportasi penonton yang pastinya banyak dari kota-kota lain di Indonesia bahkan luar negeri.
Jumlah yang relatif besar untuk ajang yang juga besar karena meskipun konsernya hanya beberapa jam saja tapi persiapannya butuh berbulan-bulan dengan melibatkan ratusan hingga ribuan orang.Â
Sebut saja salah satu konser termahal yaitu saat Celine Dion melakukan konser tunggal di Sentul International Convention Center tahun 2018 lalu, tarif termahalnya sebesar 25 juta rupiah. Bisa dimaklumi karena Celine Dion termasuk diva dunia yang jarang mau konser ke Asia.
Jadwalnya padat apalagi Celine Dion punya show rutin tiap minggu di Caesar Palace di Las Vegas yang selalu dipadati penonton dan menjadikannya artis kaya dengan pendapatan ratusan juta dollar. Makanya untuk konser di Asia hanya Jakarta, Singapura, Bangkok, Tokyo, Macau, Taipeh, dan Manila.Â
Apalagi Dion membawa 60 orang kru dan membuat panggung sendiri. Selain penggunaan SICC yang berkapasitas "hanya" 12.000 penonton sedangkan di banyak negara konser artis superstar internasional dilakukan di stadion besar sehingga bisa menekan harga tiket.
Sejak dulu Indonesia memang jadi incaran para artis internasional untuk melakukan konser akan tetapi beberapa kasus keamanan seperti peledakan bom pernah menjadi kekhawatiran tersendiri.Â
Oleh karena itu saat Coldplay atau Michael Jackson tidak memasukkan Jakarta ke dalam jadwal konser mereka, banyak penonton Indonesia yang rela terbang ke Singapura, Bangkok ,atau Melbourne untuk bisa menyaksikan langsung konser mereka.
Beruntung saat ini venue dengan kapasitas dan fasilitas lebih modern sudah berdiri di sekitaran Jakarta seperti SICC di Sentul, ICE di BSD, melengkapi venue di area Senayan seperti JCC, Istora, dan Tennis Indoor.
Sudah jelas musik sebagai salah satu bidang kreatif menjadi tempat perputaran uang dan pergerakan ekonomi. Untuk itu perlu kesadaran dan upaya bersama agar Indonesia tidak hanya menjadi penikmat konser artis luar negeri tapi juga menjadi pemain di event musik dalam negeri dan syukur-syukur mengekspor talenta musik ke dunia internasional.Â
Untuk itu perlu diperbanyak spot publik atau venue di berbagai daerah agar talenta daerah bisa manggung di daerahnya masing-masing sambil belajar bagaimana menghadapi crowd, bagaimana interaksi di panggung. Saya sangat percaya banyak talenta daerah yang punya kualitas bagus akan tetapi belum terekspose atau belum mendapat kesempatan untuk tampil.
Kita bisa mengambil contoh Baceprot, group rock metal perempuan berhijab asal Garut Jawa Barat yang berhasil mendapat kontrak manggung di beberapa kota di Eropa. Ada juga Eki, seorang penyanyi kafe di Jakarta yang menikah dengan seorang wanita Italia dan memenangkan ajang pencarian bakat di televisi Italia. Sebelumnya ada Emmanuella Claudia Santoso, mahasiswi Indonesia di Jerman yang menjadi pemenang The Voice Germany 2019.Â
Tentu saja perlu menyebut dua nama Indonesia yang sudah berkarir lama di luar negeri seperti Anggun dan Agnezmo.
Di tengah kondisi penjualan fisik album yang sudah tidak bisa lagi diharapkan oleh para musisi serta sistem industri musik yang serba digital dan perhitungan pembagian hasil serta copyright yang masih minim, manggung adalah sumber penghasilan yang masih bisa diharapkan.Â
Rutin manggung sehingga bisa rutin berkarya atau sebaliknya rutin berkarya sehingga bisa manggung adalah sebuah usaha. Akan tetapi jika bencana pandemi terjadi sehingga menyebabkan tidak bisa manggung selama dua tahun belakangan ini tentu menimbulkan kesulitan tersendiri. Bukan hanya artis tapi juga banyak tenaga, banyak orang di belakang panggung yang menjadi mata rantai sebuah pertunjukan tersaji bagi penonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H