Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Ngayal Bebas dari Polemik Naturalisasi Atlet Sepak Bola Nasional

26 Januari 2022   10:44 Diperbarui: 26 Januari 2022   10:46 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi timnas sepak bola dengan pemain naturalisasi | Foto: bolasport.com

Kita mungkin pernah dengar ungkapan "cari 11 orang pemain bola yang jago dari 270 juta orang Indonesia kok susah banget ya?" setiap tim sepak bola nasional melakukan pertandingan melawan negara lain dan berakhir dengan kekalahan. 

Kenyataannya memang tak semudah itu mencari pemain sepak bola yang bagus di negeri ini. Pemain sepak bola memang banyak tapi yang bagus sangat jarang.
Sebagai olah raga memang sepak bola adalah yang paling populer di dunia termasuk di Indonesia. Apa ini berarti ngomongin dan nonton sepak bola lebih menarik daripada menjadi atlet sepak bola?

Bahkan penggemar klub-klub sepak bola Eropa, baik dari liga Inggris, Italia, Spanyol, Belanda, Prancis, Jerman, isinya banyak orang Indonesia. Netizen +62 kalau sudah urusan dukung mendukung terutama di dunia maya pasti masif dan menonjol. 

Oleh karena menjadi pemain profesional sepak bola itu susah tapi yang hobi sepak bola banyak maka siaran langsung sepak bola baik di stadion maupun di televisi dan streaming internet tetap diburu. 

Termasuk permainan atau game sepak bola di mana kita bisa menjadi manajer atau pemilik klub yang mengatur komposisi pemain, membuat strategi pertandingan, dan melakukan jual beli pemain di liga sepak bola ternama tapi di dunia maya.

Kembali ke pertanyaan awal kenapa susah sekali mencari sebelas pemain sepak bola nasional sekelas pemain dunia? Apa orang Indonesia memang tidak "berbakat" jadi pesebak bola?

Jawabannya seharusnya dipikirkan oleh negara dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olah Raga dan PSSI sebagai organisasi resmi cabang sepak bola di Indonesia. Selama dua lembaga ini tidak punya program jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek yang jelas maka ya mohon maaf sepak bola nasional hanya akan berjalan di tempat. 

Siapapun pelatih yang ditugaskan ujungnya bakalan mentok lalu terlempar keluar lapangan. Program naturalisasi pemain blasteran hanyalah satu cara untuk mendapatkan pemain bukan resep utama menjadi timnas yang unggul.

Yang terjadi selama ini sepak bola nasional hanya mengandalkan (menunggu) momen -- munculnya satu dua pemain cemerlang atau momen mendapat pelatih bagus-- bukan menciptakan momen melalui serangkaian program yang dirancang dan direkayasa sedemikian rupa sehingga kualitas timnas selalu konsisten pencapaian dan prestasinya.

Pembinaan yang tidak konsisten dan kebijakan yang berganti-ganti adalah "penyakit" yang sering dilakukan di berbagai lembaga di negeri ini, termasuk urusan olah raga. Kepentingan pribadi maupun kelompok disinyalir menjadi hambatan nyata perkembangan dunia olah raga tanah air. 

Tanpa menyebut nama ada pesepak bola naturalisasi begitu main di sini jadi selebriti, pasangan gonta ganti, hobi dansa dansi, tak ada prestasi, lalu tak terdengar lagi.

Bila kebijakan naturalisasi dilakukan tanpa rencana dan tujuan yang jelas bisa dipastikan mereka hanya akan jadi pemanis timnas atau pemompa motivasi yang temporer saja. Bermain sepak bola adalah permainan tim, sehebat-hebatnya pemain tanpa ada kekompakan tim, saling percaya dalam tim, dan kerja sama tim, tak akan bisa menjadi tim yang hebat. 

Sebagai masyarakat awam yang gregetan melihat prestasi olah raga tanah air terkadang suka ngayal bebas seandainya dilakukan ini dan itu. Apakah para pengurus dan semua stakeholders yang terkait juga suka ngayal untuk mencari ilham apa langkah yang seharusnya dilakukan atau minimal dicoba dengan segala kondisi yang kita punya?

Berbicara mengenai "rekayasa" pemain naturalisasi perlu dibedah mengapa perlu pemain tersebut? Tebakan saya karena postur dan daya tahan pemain kita yang tipikal melayu ya memang gen-nya seperti itu, misalnya masalah tinggi badan, struktur tulang, postur badan, yang tentu berbeda dengan gen-nya orang Eropa atau Afrika.

Seperti pelatih timnas Shin Tae-yong bilang di media, bermain sepak bola mau tidak mau harus ada body, oleh karena itu latihan beban seharusnya rutin dilakukan. Dapat dipahami, sehebat apa pun pemain nasional kita dengan tinggi badan rata-rata di bawah 180 cm dan postur otot seadanya akan kalah saat adu body di lapangan dengan pemain yang tinggi badannya hampir 2 meter dengan postur tegap berotot proporsional.

Lihat saja postur dan tinggi badan pemain Eropa yang "menguasai" persepakbolaan dunia, tinggi badan, postur badan, otot, semua tampak proporsional. Meskipun lagi-lagi ada pengecualian untuk bakat luar biasa seperti Maradona, Messi, atau Mohammad Salah, yang termasuk pemain tidak terlalu tinggi.

Ini khayalan saya berkaitan proses "rekayasa" olah raga yang berkaitan dengan tinggi badan dan postur tubuh terutama di cabang sepak bola. 

Intinya adalah menemukan pasangan (suami-istri) yang punya kualitas yang prima sehingga menghasilkan anak-anak yang unggul. 

Cara pertama adalah dengan memberlakukan dua kewarganegaraan bagi anak-anak dari pasangan campur yang salah satu orang tuanya adalah WNI, maka anaknya pun otomatis menjadi WNI. Hal ini membuat tidak perlu lagi ada proses naturalisasi bagi anak-anak keturunan Indonesia yang sudah telanjur memegang paspor asing seperti saat ini. 

Nanti siapapun anak keturunan orang tua campur akan menjadi WNI dan negara bisa menawarkan dan memanggil anak-anak tersebut untuk membela Indonesia di berbagai bidang yang dianggap mereka unggul. 

Cara kedua melihat pada kasus pemberian beasiswa untuk menggenjot sumber daya anak bangsa. 

Jika Kemendikbudristek mempunyai program LPDP yang memberikan beasiswa S2 dan biaya hidup di perguruan tinggi di luar negeri selama rata-rata dua tahun, misalnya satu penerima menghabiskan dana sebesar 2 milyar. Tiap tahun negara mengirimkan ratusan hingga ribuan penerima beasiswa LPDP yang jumlah dananya cukup besar.

Maka seandainya Kemenpora bisa membuat program serupa tapi tak sama berupa pencetakan anak-anak unggul dari pasangan-pasangan unggul (baik sesama WNI atau yang kawin campur). 

Mekanismenya bisa digodok lebih lanjut dengan menggandeng Kementerian Kesehatan dan lembaga-lembaga lain. Tapi intinya ada proses "perjodohan" dari pemuda dan pemudi Indonesia yang unggul dengan mencarikan pemuda pemudi dari mancanegara yang juga unggul untuk dikenalkan, didekatkan, dan jika cocok semua persyaratan maka dinikahkan dengan subsidi negara (memberi pekerjaan pada kedua orangtuanya).

Salah satu persyaratannya dengan perjanjian anak-anak keturunannya menjadi "anak negara", bukan diambil negara tapi bersama negara (lembaga yang ditunjuk) memberikan pendidikan, pengawasan, dan pengarahan sejak dini untuk menekuni bidang-bidang yang menjadi potensi keunggulannya. Tentu saja ini hanya salah satu cara dan bukan berarti semua atlet harus blasteran.

Contoh kasus untuk mencari 11 pemain sepak bola timnas agar bisa juara dunia di tahun 2050 misalnya, maka Kemenpora bisa menjadi "biro jodoh" bagi 100 pemuda pemudi unggul yang siap dan bersedia kawin campur dengan pasangan yang juga unggul. 

Melalui serangkaian pemeriksaan gen dan kesehatan serta data dari semua kandidat maka akan bisa dipasangkan si A yang unggul di olah raga cocok dengan Si Z yang unggul dalam analisa. Maka ada kemungkinan anak keturunannya menjadi atlet yang pandai menganalisa permainan. 

Agar tidak jadi sekadar merekayasa manusia berdasarkan teknologi semata maka kebijakannya harus terbuka dan tetap ada pernikahan atas dasar persetujuan bersama mempelai. 

Semua kebijakan tetap dalam koridor peri kemanusiaan, hak asasi, budaya, dan agama. Hanya proses pencocokan pencarian profil pasangan berdasarkan data dan AI untuk menghasilkan anak-anak bangsa yang unggul di masa depan.

Jika proyek ini dilakukan satu dua tahun ini, maka di tahun 2045 akan ada anak-anak unggulan yang maksimal sudah berusia 21-22 tahun, di mana jika semua persiapan dan pembinaan kontinyu dilakukan kualitas anak-anak bangsa kita akan meningkat dan bertambah banyak tiap tahunnya. 

Selama prosesnya tidak menyalahi aturan agama, budaya, dan hak asasi manusia, maka teknologi bisa dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan sumber daya unggulan suatu bangsa.

Jika kita melihat di film-film bahkan ada yang lebih ekstrim lagi dalam merekayasa manusia dan bukan tidak mungkin di negara lain sudah ada yang melaksanakan perekayasaan sumber daya manusianya secara diam-diam. Tentu saja sebagai negara yang masih menjunjung nilai agama dan budaya, di Indonesia perekayasaan segala hal tidak bisa semena-mena. 

Tapi berkaca pada Fiki Naki, YouTuber raja gombal Indonesia berusia 22 tahun yang piawai "menggaet" gadis-gadis mancanegara di OmeTV mematahkan jika ada asumsi yang mengatakan kalau cewek bule susah didapatin sama cowok Indonesia. 

Kalau perempuan Indonesia sih jangan ditanya lagi, orang bule (barat), Arab, Afrika malah suka dengan perempuan Indonesia yang eksotik, lemah lembut, penyabar, dan perhatian.

Bukankah dunia pada dasarnya hanya desa kecil. Dengan teknologi komunikasi dan transportasi, semua bisa dicapai dalam waktu relatif singkat. 

Meskipun ancaman perang semoga tidak ada lagi, tapi perdamaian dunia akan lebih harmonis jika kita saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik. Jika kita merasa bersaudara dengan bangsa lain apalagi ada pertalian darah. Ego dan konsep manusia tentang ras siapa yang paling hebat akan usang. Semua kegiatan di dunia akan terjadi atas nama persaudaraan, kesenangan, kebermanfaatan.

Sekali lagi ini hanya khayalan siang bolong sambil ngopi di warung burjo. Sekian dan terima kasih. Piss.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun