Rencana kenaikan tarif KRL alias Kereta Rel Listrik Commuterline sudah diangkat ke media. Tarif dasar perjalanan 25 kilometer pertama akan naik dari Rp 3.000 menjadi 5.000 rupiah, sedangkan untuk 10 kilometer selanjutnya tidak mengalami kenaikan alias tetap Rp 1.000.
Berarti ada kenaikan Rp 2.000 yang sama sama dengan kenaikan sebesar 66,66%. Perhitungan dari mana sebuah produk naik sebesar itu. Apalagi KRL adalah sebuah pelayanan publik, ada misi pelayanan di sana. Jadi bagaimana bisa sebuah usaha pelayanan publik yang mendapat subsidi negara menaikan tarif hingga 66,66%?
Tidak bisa dipungkiri perbaikan kondisi dan pelayanan KRL meningkat sejak ditangani Ignatius Jonan yang menjabat Dirut PT. KAI di tahun 2009-2014 lalu. Perubahan yang cukup signifikan itu membuat masyarakat mau beralih ke transportasi umum daripada menggunakan kendaraan pribadi.
Hal ini tentu sebuah langkah positif dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan. Dibanding memberikan subsidi bensin atau solar untuk kendaraan bermotor lebih banyak manfaatnya memberikan subsidi untuk transportasi publik yang ramah lingkungan seperti KRL yang tidak menghasilkan pencemaran karbon dioksida.Â
Sekitar 220 juta penumpang KRL Jabodetabek dan 4 juta penumpang KRL Jogjakarta dilayani KRL tiap tahunnya dan akan meningkat seiring waktu berjalan adalah sebuah bentuk tanggung jawab negara terhadap pelayanan transportasi publik yang layak.Â
Jika tarifnya naik, berapa yang akan kembali menggunakan sepeda motor karena dianggap KRL dirasa lebih mahal. Berapa yang akan kembali naik angkot. Perhitungan konsumen bukan di angka Rp 2.000 tapi ongkos pulang pergi selama satu bulan.Â
Saat ada penambahan Rp 4.000/hari maka akan ada penambahan pengeluaran masyarakat Rp 88.000 hingga Rp 120.000/bulan tergantung jumlah hari mereka menggunakan KRL untuk beraktivitas.
Jika satu rumah ada Bapak dan Ibu yang bekerja (aktivitas di luar rumah) serta dua anak yang sekolah atau kuliah, akan ada penambahan pengeluaran keluarga sebesar Rp 352.000 hingga Rp 480.000/bulan.
Di sisi lain pemerintah juga tidak kuasa menekan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, telur, dan lainnya yang juga memberatkan masyarakat terutama masyarakat kelas bawah dan masyarakat korban penurunan ekonomi akibat pandemi yang belum pulih.Â
Jadi rencana kenaikan tarif KRL hingga 66,66% adalah sebuah langkah kurang simpatik dan mau enaknya saja dari jajaran Kemenhub dan pimpinan PT. KAI. Apalagi negara pun sanggup memberikan subsidi tiap tahunnya pada PT. KAI untuk KRL.
Di negara maju sekalipun negara memberikan subsidi bagi transportasi publik bahkan mendorong publik menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Sebab sejatinya transportasi publik adalah sebuah tanggung jawab negara memberikan layanan bagi warganya dengan harga terjangkau semua pihak.
Selain itu transportasi publik adalah pilihan terbaik bagi negara terlebih Indonesia yang penduduknya banyak dengan wilayah yang tersebar dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan secara makro maupun mikro.
Jika alasan kenaikan adalah perbaikan kualitas mestinya sudah didapat dari volume penumpang KRL yang tiap tahun terus meningkat. Belum lagi pendapatan lain-lain dari iklan, reklame di rangkaian badan kereta dan di dalam kereta sendiri serta penyewaan area menjadi toko atau tempat komersil yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh manajemen KRL.
Akan tetapi pihak terkait sudah melakukan kajian dan survey dari kemampuan konsumen. Survey yang mana dan siapa respondennya? Apakah sudah mewakili semua populasi? Apakah menaikan 66,66% di situasi masyarakat seperti ini adalah tindakan yang wajar?Â
Harusnya menjadi pekerjaan rumah di Kemenhub dan PT. KAI sendiri agar mencari alternatif pembiayaan untuk melakukan pengembangan. Tidak melulu solusinya dibebankan kepada konsumen. Sekali lagi ada fungsi pelayanan publik di kasus KRL, bukan semata-mata menimbun laba.
Seandainya masih tetap ngotot mau naik pun maka seharusnya disesuaikan dengan kenaikan yang wajar sekitar 10-20% saja. Apalagi dengan sistem pembayaran KRL menggunakan kartu (uang digital) tidak ada alasan buat KRL meniru cara lama tak ada kembalian atau membulatkan pembayaran dengan "diganti" permen atau untuk "donasi".
Rencana kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 adalah pembulatan yang terlihat seenaknya seakan pecahan rupiah kecil tidak ada artinya. Justru saatnya dengan sistem digital, satu rupiah pun ada nilainya karena tidak lagi melihat pecahan uang rupiah terkecil yang beredar saat ini.Â
Sehingga tidak ada lagi istilah "ngeribetin" pembukuan atau "pemakluman" untuk dibulatkan ke angka yang lebih tinggi saat konsumen melakukan pembayaran.
Selain sistem KRL saat ini telah "membunuh" beberapa kalangan masyarakat yang mengais rejeki di sekitar stasiun dan pedagang di area perkeretaapian.Â
Terkadang trenyuh melihat seorang ibu tua yang menggeret kantong besar hasil kulakan di Tanah Abang karena jalurnya memutar dan bahkan naik turun ke bawah tanah. Atau kakek penjual buah pikulan di luar stasiun yang tidak bisa lagi jualan ke tempat yang lebih jauh karena tidak bisa lagi naik KRL membawa barang dagangan.
Ya bagaimana pun inilah hidup. Lagi-lagi sebagian masyarakat harus pasrah karena tidak punya pilihan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H