Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

KRL: Ada Tanggung Jawab Negara Melayani Transportasi Publik yang Murah dan Ramah Lingkungan

23 Januari 2022   09:00 Diperbarui: 23 Januari 2022   09:05 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negara maju sekalipun negara memberikan subsidi bagi transportasi publik bahkan mendorong publik menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Sebab sejatinya transportasi publik adalah sebuah tanggung jawab negara memberikan layanan bagi warganya dengan harga terjangkau semua pihak.

Selain itu transportasi publik adalah pilihan terbaik bagi negara terlebih Indonesia yang penduduknya banyak dengan wilayah yang tersebar dilihat dari segi ekonomi dan lingkungan secara makro maupun mikro.

Jika alasan kenaikan adalah perbaikan kualitas mestinya sudah didapat dari volume penumpang KRL yang tiap tahun terus meningkat. Belum lagi pendapatan lain-lain dari iklan, reklame di rangkaian badan kereta dan di dalam kereta sendiri serta penyewaan area menjadi toko atau tempat komersil yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh manajemen KRL.

Akan tetapi pihak terkait sudah melakukan kajian dan survey dari kemampuan konsumen. Survey yang mana dan siapa respondennya? Apakah sudah mewakili semua populasi? Apakah menaikan 66,66% di situasi masyarakat seperti ini adalah tindakan yang wajar? 

Harusnya menjadi pekerjaan rumah di Kemenhub dan PT. KAI sendiri agar mencari alternatif pembiayaan untuk melakukan pengembangan. Tidak melulu solusinya dibebankan kepada konsumen. Sekali lagi ada fungsi pelayanan publik di kasus KRL, bukan semata-mata menimbun laba.

Seandainya masih tetap ngotot mau naik pun maka seharusnya disesuaikan dengan kenaikan yang wajar sekitar 10-20% saja. Apalagi dengan sistem pembayaran KRL menggunakan kartu (uang digital) tidak ada alasan buat KRL meniru cara lama tak ada kembalian atau membulatkan pembayaran dengan "diganti" permen atau untuk "donasi".

Rencana kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 adalah pembulatan yang terlihat seenaknya seakan pecahan rupiah kecil tidak ada artinya. Justru saatnya dengan sistem digital, satu rupiah pun ada nilainya karena tidak lagi melihat pecahan uang rupiah terkecil yang beredar saat ini. 

Sehingga tidak ada lagi istilah "ngeribetin" pembukuan atau "pemakluman" untuk dibulatkan ke angka yang lebih tinggi saat konsumen melakukan pembayaran.

Selain sistem KRL saat ini telah "membunuh" beberapa kalangan masyarakat yang mengais rejeki di sekitar stasiun dan pedagang di area perkeretaapian. 

Terkadang trenyuh melihat seorang ibu tua yang menggeret kantong besar hasil kulakan di Tanah Abang karena jalurnya memutar dan bahkan naik turun ke bawah tanah. Atau kakek penjual buah pikulan di luar stasiun yang tidak bisa lagi jualan ke tempat yang lebih jauh karena tidak bisa lagi naik KRL membawa barang dagangan.

Ya bagaimana pun inilah hidup. Lagi-lagi sebagian masyarakat harus pasrah karena tidak punya pilihan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun