Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Sembalun di Kaki Rinjani

10 Desember 2021   11:07 Diperbarui: 22 Desember 2021   15:45 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indahnya Gunung Rinjani meski tertutup kabut dilihat dari depan kamar hotel | Foto-foto: dokpri

Kami, rombongan Kompasianers dan Kemenparekraf tiba di Sembalun (2/12) menjelang sore. Hal yang pertama dilakukan adalah menuju Desa Beleq, desa adat masyarakat Sembalun yang sudah berusia ratusan tahun. 

Tapi sayang dari tujuh rumah adat tradisional yang dijadikan cagar baru tiga yang diperbaiki setelah gempa besar melanda Lombok tahun 2018 silam. Sisanya masih terlihat roboh dengan kerusakan cukup parah.

Bentuk rumahnya seperti rumah adat Suku Sasak lain yang kami temui di Desa Sade, hanya ukurannya lebih kecil. Sebuah bangunan dengan dinding kayu, atap dari ilalang kering.

Lantai tanah berundak di mana di undakan atas bagian kiri ada tungku tanah untuk memasak dengan pojokannya sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan, sedangkan di sisi kanan adalah bagian untuk tidur alias merebahkan badan tanpa ranjang hanya lantai polos.

Satu hal yang menarik di Lombok, khususnya di desa adat Suku Sasak adalah luluran. Tapi jangan salah, ini bukan sembarangan luluran, juga bukan luluran wajah atau badan tapi melulur lantai rumah  menggunakan kotoran ternak, yaitu kotoran kerbau atau kotoran sapi. Iya, kotoran sapi dioleskan ke seluruh permukaan lantai tanah yang mengering itu. 

Selain untuk menjaga lantai dari keretakan dan menangkal debu juga kebiasaan tersebut merupakan peninggalan nenek moyang dari ratusan tahun lalu yang mereka harus lestarikan.

Tapi ada aturan dalam pemilihan kotoran ternak yaitu harus diambil dari kotoran pertama di pagi hari yang masih segar berwarna kehijauan sehingga tidak berbau dan belum dihinggapi lalat. Meskipun kotoran sapi boleh digunakan tapi kotoran kerbau dianggap lebih suci daripada kotoran sapi.

Keunikan lainnya adalah oleh sebab sebagian besar Suku Sasak beragama Islam maka oleh karena itu mereka lebih memilih untuk sholat di masjid desa dan tidak sholat di dalam rumah. 

Hal ini malah membuat masjid selalu ramai saat waktu sholat karena banyak warganya yang sholat berjamaah di masjid.

Bukit Selong

Kemudian kami diajak menaiki jalan setapak yang menanjak. Kadang harus bergantian dengan sapi-sapi ternak yang dibiarkan bebas berkeliaran. 

Jangan heran bila melihat sapi-sapi di sini ada di lereng-lereng bukit sebab mereka bisa mendaki bukit dan menerobos hutan. Untuk itu kita harus berhati-hati saat melangkah sebab bisa saja terkena jebakan betmen alias menginjak kotoran sapi.

Perbukitan Pergasingan diambil dari Bukit Selong, Sembalun. Foto: dokpri
Perbukitan Pergasingan diambil dari Bukit Selong, Sembalun. Foto: dokpri

Hanya sekitar lima menit mendaki ada spot yang sangat instagramable di Bukit Selong.  Tidak hanya indah difoto tapi aslinya pun sangat indah dipandang. 

Berdiri di sini layaknya sedang dikurung karena 360 derajat dikelilingi tembok-tembok raksasa hijau berkabut yang merupakan Gunung Anak Dara dan Perbukitan Pergasingan dan di kejauhan tampak Gunung Rinjani gagah menjulang meskipun kadang tak tampak jelas karena tertutup kabut tebal. 

Sedangkan di bawah adalah hamparan sawah yang membentang dan perkebunan warga. Sungguh sebuah  pemandangan yang membelalakkan mata.

Kerajinan Tenun Lebak Lauk

Puas berfoto kami mengunjungi perajin tenun di Desa Lebak Lauk. Ibu Weni, salah satu perajin menjelaskan proses pewarnaan benang secara alami. Ikatan benang putih direndam di dalam baskom berisi cairan pewarna alami.

Misalnya untuk warna hijau menggunakan perasaan daun komak atau kacang koro, untuk warna coklat kemerahan dari kulit pohon suren. Proses perendaman ini bisa memakan waktu 5-6 hari, setelah benang dikeringkan dengan dijemur baru bisa digunakan untuk menenun.

Kebetulan seorang ibu tua, pekerja di rumah Ibu Weni, sedang melakukan pekerjaan menenun secara tradisional. Benang beraneka warna disusun sesuai dengan warna dan pola yang diinginkan. 

Selanjutnya tangannya lincah di alat tenun menarik, mendorong, menggencet benang hingga helai demi helai benang membentuk pola tertentu. Ada pola yang menjadi pakem turun temurun tapi ada juga pola bebas yang belakangan ditawarkan sesuai dengan kreativitas perajinnya.

Seorang ibu sedang menenun dengan alat tenun tradisional di Desa Lebak Lauk Sembalun. Foto: dokpri
Seorang ibu sedang menenun dengan alat tenun tradisional di Desa Lebak Lauk Sembalun. Foto: dokpri

Butuh waktu lama untuk menghasilkan satu lembar kain. Oleh karena itu harganya pun tidak bisa dibilang murah. Tentu ada harga ada kualitas. Sebuah kewajaran karena pengerjaannya yang handmade asli. Kesabaran dan ketelatenan sangat dibutuhkan untuk pekerjaan ini.

Sayangnya makin sedikit perempuan muda di Sembalun yang mau melakukan pekerjaan menenun. Selain adanya fakta bahwa banyak rumah yang sudah tidak lagi mempunyai alat tenun tradisional karena dijual atau rusak karena tidak ada yang menggunakan lagi. Dulu hampir setiap rumah memiliki alat tenun tradisional dari kayu ini.

Tari Tradisi di Hotel Pesona Rinjani

Setelah itu kami check-in di Hotel Pesona Rinjani, berupa kamar cottage yang sebagian besar menghadap ke Gunung Rinjani. Dinginnya Sembalun bertambah syahdu dengan hujan yang jatuh rintik-rintik.

Satu yang menarik saat makan malam juga disajikan tarian tradisi dari seniman setempat yang membawakan tiga buah tarian menggunakan pemain gamelan tradisional Lombok.

Disuguhi tarian tradisi Sembalun Lombok di hotel. Foto: dokpri
Disuguhi tarian tradisi Sembalun Lombok di hotel. Foto: dokpri

Tari Selogok menceritakan prosesi membuat tenun dibawakan oleh gadis-gadis cilik yang tampak cantik dengan busana daerah. Selanjutnya Tari Pangkureyong dan Tari Pemidangan Bumi.

Tari Pangkureyong sudah ada sejak tahun 1428 sesuai dengan berdirinya Sembalun. Bercerita tentang tentang tanaman padi merah di Sembalun yang sedang diganggu oleh makhluk gaib, maka dari itu para ulama melawan makhluk gaib pengganggu sehingga tanaman padi merah bisa diselamatkan.

Sembalun sendiri berasal dari kata "sembah" yang artinya patuh dan "ulun" yang artinya pemimpin. Jadi Sembalun adalah wilayah yang masyarakatnya patuh kepada pemimpin.  

Memanen buah alpukat menjadi salah satu wisata petik buah di Sembalun. Foto: dokpri
Memanen buah alpukat menjadi salah satu wisata petik buah di Sembalun. Foto: dokpri

Selain itu di Sembalun juga ada wisata alam lain seperti wisata petik buah, paralayang, paramotor, dan lainnya. Jadi buat Anda yang tidak ingin naik Gunung Rinjani yang bisa memakan waktu 3 hari dua malam, bisa menikmati aneka wisata lainnya di Sembalun yang cukup beragam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun