Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duel Cicak

28 November 2021   12:33 Diperbarui: 28 November 2021   12:40 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duel Cicak di langit-langit masjid saat sholat Jumat. | Ilustrasi gambar: insectscreensingapore.com

Adzan berkumandang. Kulirik peta digital petunjuk arah di ponselku. Masih duapuluh lima kilometer lagi ke tempat tujuanku. Akhirnya kuputuskan berhenti di masjid terdekat sekalian untuk rehat.

Hari itu hari jumat. Jalanan jalur selatan cukup sepi tapi masjid yang kudatangi telah ramai dengan jamaahnya. Sebuah masjid yang tidak terlalu besar di pinggir jalan di sisi sungai yang mengarah ke laut.

Masjidnya penuh oleh jamaah hingga tak bisa lagi masuk ke dalam ruang utama. Jadilah aku duduk di selasar paling belakang bagian kiri yang berbagi tembok dengan ruangan gudang yang tampak kusam dan berdebu.

Aku sudah siap siaga dengan masker, sajadah, dan pembersih tangan antiseptik. Tapi sudah tak ada lagi jaga jarak antar jamaah, tanda silang di lantai hanya tinggal bekasnya saja dari noda lakban. Meski sebagian masih mengenakan masker tapi sebagian yang lain seakan sudah tak peduli. Meskipun daerah ini terletak di luar Jabodetabek namun daerah ini sudah banyak yang divaksin.

"Keluarga saya ada lima orang udah divaksin semua. Udah dua kali," begitu pengakuan satu bapak yang kutemui saat berwudhu tadi.

Khotbah terdengar mengalir dalam bahasa daerah yang hanya bisa kutangkap setengah-setengah. Tiba-tiba di dinding di depanku ada dua cicak sedang berkejaran.

Ternyata mereka tidak hanya berkejaran tapi kemudian mereka juga bergumulan. Dasar binatang. Melampiaskan birahi tak kenal tempat dan situasi. Ini adalah tempat suci dan sedang diadakan ibadah suci pula.

Ternyata aku salah. Mereka tidak bermaksud untuk berasyik masyuk. Ternyata mereka sedang berkelahi, adu kekuatan saling hantam.

Saat Cicak 1 berhasil menerkam Cicak 2, terjadi perkelahian seru dan kejam. Cicak 1 dan Cicak 2 saling gigit saling cakar. Kibasan ekor pun digunakan dengan kekuatan penuh untuk menyerang.

Aku kaget. Ternganga sampai melupakan isi khotbah. Aku terkesima dengan pertarungan seru itu. Tak kenal lelah mereka saling hantam untuk menjatuhkan lawan.

Di sisi lain aku merasa bersalah telah menuduh mereka telah berzina. Pikiran manusiaku seakan tidak adil pada makhluk hidup lain. Pikiran manusiaku masih sering berprasangka.

Pertarungan makin seru. Cicak 1 dan 2 seakan tak memberi jeda untuk mengambil napas. Serangan demi serangan terjadi bergantian. Cakaran, gigitan, tendangan, seakan tak berhenti mereka lancarkan. Tubuh keduanya sudah mulai baret-baret kemerahan. Luka sudah tampak.

Hingga tes. Setitik cairan berwarna merah menetes di ubin lantai masjid di depanku. Cicak 2 tidak hanya berhasil mengigit leher Cicak 1 tapi juga mencengkram dalam lalu dicabiknya keras-keras. Leher Cicak 1 tampak robek berlubang.

Untungnya tak mengenai sajadahku. Segera Kuambil tisu untuk mengelapnya dan kusemprotkan pembersih tangan untuk membersihkannya dari darah yang katanya bisa menjadi najis.

Saat kualihkan lagi perhatianku pada perkelahian dua cicak, mereka sudah bergeser sekitar satu meter dari tempat semula. Pertempuran bukannya mengendor tapi malah makin intens.

Cicak 1 dengan segala kekuatan yang tersisa balas menggigit ekor Cicak 2. Sekuat apa pun Cicak 2 berusaha melarikan diri, cengkeraman gigi dan cakar Cicak 1 ternyata sungguh kuat. Ekor keduanya saling mengibas yang satu sebagai penambah serangan dan yang lain sebagai upaya untuk melepaskan cengkraman.

Mataku terpaku. Fokusku tersedot. Tak kudengarkan lagi khutbah dari mimbar. Bersamaan dengan pikiranku yang melayang. Siapa yang akan menang? Cicak 1 atau Cicak 2? Apakah yang kalah akan mati? Mengapa mereka berkelahi demikian kejamnya? Apa yang mereka perebutkan? Makanan? Pasangan? Kekuasaan? Atau sekadar pamer kekuatan?

Tiba-tiba otakku terasa pusing. Hingga kemudian seseorang di sebelahku menepuk pundakku. Agar terkesiap dan menyadari semua jamaah sudah berdiri bersiap untuk melakukan sholat. Aku jadi malu setelah menyadari posisiku yang masih duduk bersila dengan mata melongo seperti orang bego.

Bodohnya saat sholat pun fokusku tak juga datang. Sebelah otakku menyuruh mataku memicing untuk mengintip masih adalah cicak-cicak itu di langit-langit tapi sebelah otakku yang lain menahannya, "jangan lakukan sebab kau sedang berdoa di hadapan Tuhan."

Kenyataannya mataku tak melirik ke arah cicak tapi otakku masih membayangkan pertempuran seru antar dua cicak tadi. Ibadah pun selesai, jamaah berpencaran meninggalkan masjid, dan aku dengan pikiranku masih tertuju kepada duel dua cicak tadi.

Di kepalaku tersusun cerita seandainya di dunia cicak ada kehidupan seperti manusia setelahnya jika ada korban mati akan ada penyidikan, penyelidikan, dan pengadilan bagi cicak lainnya.

Dan di koran cicak akan ada judul berita, "Telah terjadi duel antar dua cicak yang sangat brutal", atau "Ditemukan mayat cicak tak dikenal dengan leher putus korban perkelahian."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun