Di sisi lain aku merasa bersalah telah menuduh mereka telah berzina. Pikiran manusiaku seakan tidak adil pada makhluk hidup lain. Pikiran manusiaku masih sering berprasangka.
Pertarungan makin seru. Cicak 1 dan 2 seakan tak memberi jeda untuk mengambil napas. Serangan demi serangan terjadi bergantian. Cakaran, gigitan, tendangan, seakan tak berhenti mereka lancarkan. Tubuh keduanya sudah mulai baret-baret kemerahan. Luka sudah tampak.
Hingga tes. Setitik cairan berwarna merah menetes di ubin lantai masjid di depanku. Cicak 2 tidak hanya berhasil mengigit leher Cicak 1 tapi juga mencengkram dalam lalu dicabiknya keras-keras. Leher Cicak 1 tampak robek berlubang.
Untungnya tak mengenai sajadahku. Segera Kuambil tisu untuk mengelapnya dan kusemprotkan pembersih tangan untuk membersihkannya dari darah yang katanya bisa menjadi najis.
Saat kualihkan lagi perhatianku pada perkelahian dua cicak, mereka sudah bergeser sekitar satu meter dari tempat semula. Pertempuran bukannya mengendor tapi malah makin intens.
Cicak 1 dengan segala kekuatan yang tersisa balas menggigit ekor Cicak 2. Sekuat apa pun Cicak 2 berusaha melarikan diri, cengkeraman gigi dan cakar Cicak 1 ternyata sungguh kuat. Ekor keduanya saling mengibas yang satu sebagai penambah serangan dan yang lain sebagai upaya untuk melepaskan cengkraman.
Mataku terpaku. Fokusku tersedot. Tak kudengarkan lagi khutbah dari mimbar. Bersamaan dengan pikiranku yang melayang. Siapa yang akan menang? Cicak 1 atau Cicak 2? Apakah yang kalah akan mati? Mengapa mereka berkelahi demikian kejamnya? Apa yang mereka perebutkan? Makanan? Pasangan? Kekuasaan? Atau sekadar pamer kekuatan?
Tiba-tiba otakku terasa pusing. Hingga kemudian seseorang di sebelahku menepuk pundakku. Agar terkesiap dan menyadari semua jamaah sudah berdiri bersiap untuk melakukan sholat. Aku jadi malu setelah menyadari posisiku yang masih duduk bersila dengan mata melongo seperti orang bego.
Bodohnya saat sholat pun fokusku tak juga datang. Sebelah otakku menyuruh mataku memicing untuk mengintip masih adalah cicak-cicak itu di langit-langit tapi sebelah otakku yang lain menahannya, "jangan lakukan sebab kau sedang berdoa di hadapan Tuhan."
Kenyataannya mataku tak melirik ke arah cicak tapi otakku masih membayangkan pertempuran seru antar dua cicak tadi. Ibadah pun selesai, jamaah berpencaran meninggalkan masjid, dan aku dengan pikiranku masih tertuju kepada duel dua cicak tadi.
Di kepalaku tersusun cerita seandainya di dunia cicak ada kehidupan seperti manusia setelahnya jika ada korban mati akan ada penyidikan, penyelidikan, dan pengadilan bagi cicak lainnya.