Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ribut Soal Zina Duluan, Telaah Soal Substansi Belakangan

19 November 2021   08:36 Diperbarui: 19 November 2021   08:36 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korban kekerasan seksual bisa mengalami trauma yang panjang. | Sumber foto: discoverymood.com

Pro kontra kembali terjadi kali ini terkait dengan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 201/21 yang dikeluarkan Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi. 

Peraturan menteri ini berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di kalangan Perguruan Tinggi di mana menurut Nadiem dan jajarannya sudah cukup mengkhawatirkan jumlahnya. 

Masalah kekerasan seksual menjadi isu penting bagi kehidupan manusia. Bagaimana bisa sesuatu hubungan yang sakral, privat, dan yang sejatinya dilandasi cinta kasih tapi dilakukan menggunakan kekerasan.

Apalagi dilakukan tidak pada tempatnya. Perguruan Tinggi adalah institusi pendidikan di mana semua pihak yang menjadi bagiannya adalah orang-orang terdidik, sehingga perilaku dan pola pikirnya pun terdidik. Termasuk urusan pelecehan seksual, kekerasan seksual, bahkan kegiatan seksual pun sudah jelas tidak diperbolehkan terjadi di lingkungan kampus.

Individu-individu yang masuk menjadi bagian dalam institusi perguruan tinggi semestinya adalah pribadi yang telah dewasa secara usia. Baik mahasiswa, dosen, dan semua civitas akademika yang menjadi komunitas perguruan tinggi diharapkan juga punya sikap dan budi yang tinggi. 

Seksualitas sejatinya adalah hal privat dan sakral akan tetapi sebagai umat beragama dan bernegara ada aturan yang berlaku yang bisa dikenakan bagi para pelanggarnya. 

Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan adalah tempat untuk memperoleh ilmu, mengembangkan ilmu, membentuk sikap dan karakter mahasiswa agar cakap dalam pengetahuan dan keilmuan. 

Sedihnya pelecehan dan kekerasan seksual masih terjadi di kalangan kampus, baik antar sesama mahasiswa atau relasi kuasa senior-junior, atau dosen-mahasiswa. 

Sayangnya pola pikir memandang orang lain sebagai objek seks-- apalagi yang menganggap posisinya lebih tinggi dari-- masih terjadi di kalangan terdidik sekali pun. 

Catcalling berupa kata-kata vulgar, godaan bernada seksual, tatapan birahi, masih terjadi di tengah masyarakat termasuk di lingkungan kampus. Bahkan yang belum lama viral di media adalah seorang dekan meminta cium bibir saat sedang melakukan bimbingan skripsi mahasiswinya. 

Menurut Nadiem, berdasarkan survei yang dilakukan oleh institusinya, ada 77% dosen mengakui bahwa mereka melihat kekerasan seksual terjadi di dalam kampus dan 67% tidak melaporkan kejadian tersebut alias memilih diam. Sungguh hal yang memprihatinkan. 

Tindakan seperti tatapan mesum, panggilan vulgar, dan sentuhan di bagian tubuh orang lain adalah bentuk pelecehan seksual yang tidak boleh terjadi dengan siapa pun apalagi di lingkungan kampus. Sekali lagi peraturan ini  ditujukan bagi anggota di lingkungan perguruan tinggi. Bukan mengatur kegiatan seksual orang dewasa dengan segala aturan dan konsekuensinya masing-masing. 

Permendikbudristek No. 30 ini dianggap sebuah langkah progresif karena mengedepankan korban sebagai pihak yang harus diselamatkan. Pelaku dan calon pelaku akan berpikir ulang untuk melakukan tindakan pelecehan atau kekerasan seksual yang sebelumnya dianggap angin lalu karena tidak ada payung hukumnya atau tak ada yang berani mengusiknya.

Sebagai masyarakat sehat tentunya menyambut baik peraturan yang akan melindungi anak-anak kita, adik-adik kita dari predator seksual di lingkungan kampus. Sejatinya untuk bisa kuliah di perguruan tinggi saja masih sebuah perjuangan di banyak keluarga di Indonesia. Institusi pendidikan harus menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.

Masyarakat yang sehat bisa tercipta dari masyarakat yang cerdas dan taat aturan. Menjalankan hak dan kewajibannya secara baik, dengan niat baik, dengan perilaku baik. Telaah terlebih dahulu segala sesuatu dari berbagai segi lalu bersuara. Bukannya ribut dan membuat kegaduhan duluan, berpikir dan menelaah belakangan. 

Masyarakat madani ditandai pula oleh kecerdasan emosi dan kecerdasan sosial sehingga isu sosial seperti pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi ini harus sadar untuk menggunakan empati lebih tinggi. 

Masyarakat cerdas ketika memandang seksualitas pada konteksnya bukan sekadar  asal njeplak zina dan esek-esek belaka. Dalam Islam pun seksualitas mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan manusia. Pembahasannya bisa luas bukan sekadar zina atau tidak zina, bukan sekadar sesuatu yang menimbulkan nafsu.

Mencegah dan melindungi anak-anak kita dan adik-adik kita di lingkungan kampus adalah tugas semua pihak. Negara dengan kekuatan membuat kebijakan dan pelaksanaan aparaturnya sudah bergerak melalui permendikbudristek ini. Jika ada yang belum sempurna sampaikan saran dengan cara yang baik. Semoga ke depannya tak ada lagi kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Berikut 21 Tindakan bentuk kekerasan seksual berdasarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 pasal 5 yaitu:

1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban
2. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban
3. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban
4. Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman
5. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban
6. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
7. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban
8. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
9. Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi
10. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban
11. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual
12. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban
13. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban
14. Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual
15. Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual
16. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi
17. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin
18. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi
19. Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil
20. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja
21. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun