Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia menjadi hal fundamental yang harus diurus oleh sebuah negara. Cara paling mudah ya tentu saja dengan mengimpor seluruh kebutuhan penduduknya.Â
Catatannya negara tersebut harus super makmur atau wilayahnya benar-benar tidak bisa memproduksi bahan pangan. Vatikan dan Uni Emirat Arab mungkin dua negara yang amat minim menghasilkan pangan, kalau tidak bisa dibilang tidak ada sama sekali.
Impor adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Beruntung mereka adalah negara kaya yang pendapatannya melimpah. Hitung-hitungan produktivitas negara pun lebih menguntungkan impor daripada memproduksi sendiri.
Lain halnya dengan Indonesia. Ada 270 juta mulut yang harus mengunyah makanan tiap harinya. Sedangkan sepiring makanan yang kita santap saja bisa terdiri dari nasi (beras)/singkong/jagung, ikan/ayam/daging/telur, sayuran, tempe/tahu, kerupuk, sambal, dan bumbu-bumbu, berapa kebutuhannya tiap bulan? kebutuhan tiap tahun? Tak dapat  dibayangkan jika semua kebutuhan pangan harus diimpor.Â
Selain melayangnya devisa keluar negeri, bisa jadi kesejahteraan rakyat pun menurun karena pendapatannya akan terkuras habis. Alih-alih untuk kebutuhan sandang, papan, dan pendidikan bisa jadi mayoritas akan tersedot untuk kebutuhan perut. Hal ini tentu saja akan membuat daya saing negara merosot.Â
Padahal tanah, air, udara, dan sinar matahari sebagai syarat tumbuhnya tanaman dan berkembangnya ternak tersedia melimpah di sini. Sayangnya sektor pertanian dianggap sudah kurang seksi bagi sebagian masyarakat. Terlebih bagi  kalangan anak muda yang melihat kehidupan kota lebih menjanjikan.
Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) survey tahun 2018 tentang pertanian, jumlah petani di Indonesia ada 27. 682.117 orang, terbagi berdasarkan usia:
1. Usia di bawah 25 tahun : Â Â 191.000
2. Usia 25-34 tahun       : 2.722.446
3. Usia 35-44 tahun       : 6.548.105
4. Usia 45-54 tahun       : 7.841.355
5. Usia 55-64 tahun       : 6.256.083
6. Usia 65 tahun ke atas   : 4.123.128
Bila dilihat secara sepintas berarti profesi petani masih digeluti oleh sekitar 10% penduduk di negara ini. Masih cukup banyak sebenarnya.
Tapi jika dilihat kondisi nyata dan fakta di lapangan harusnya cukup membuat pemerintah waspada. Mari kita bedah lagi lebih lanjut.
Masalah Usia Produktif
Petani di Indonesia didominasi oleh usia 45 tahun ke atas yang jika dijumlahkan bisa mencapai 18 juta termasuk dengan petani usia di atas 65 tahun berjumlah 4 juta jiwa. Usia 65 ke atas seharusnya bukan lagi untuk bekerja secara produktif tapi lebih ke mengisi masa tua dengan hal yang positif karena sebenarnya sudah masuk ke dalam usia pensiun.
Petani usia milenial jika kita ambil dari angka  25-44 tahun "hanya" sekitar 9.2 juta petani. Padahal di rentang usia ini yang disepakati sebagai usia produktif. Petani berusia produktif kalah jumlahnya dari petani berusia senior hingga 50%.
Komposisinya jadi tidak imbang. Saat para petani usia lanjut benar-benar pensiun tentu jumlah petani kita akan menurun sedangkan yang mau menjadi petani semakin sedikit. Ini berarti krisis petani sebentar lagi akan terjadi.
Masalah Lahan Garapan
Mayoritas petani kita adalah petani gurem yang hanya memiliki lahan kurang dari satu hektar. Sebagian lagi malah tak punya lahan alias hanya menjadi petani penggarap.
Dari sini saja dapat dibayangkan tingkat kesejahteraan petani jenis ini. Ditambah kesadaran dan pengetahuan tentang varietas jenis tanaman pun masih sangat terbatas.
Sebagai contoh di suatu daerah puluhan tahun turun temurun menanam padi padahal bisa jadi daerah tersebut lebih cocok dan lebih menghasilkan jika ditanami palawija, tanaman bumbu, atau buah-buahan.Â
Seperti diketahui sering kali menanam padi bukannya untung tapi malah buntung saat harga gabah anjlok sedangkan harga pupuk dan biaya operasional malah meroket. Begitu juga petani sayuran yang harus membiarkan panennya membusuk di kebun karena harga yang anjlok.
Belum lagi permasalahan di petani komoditi perkebunan seperti teh, kopi, kelapa sawit, karet, dan sejenisnya. Hampir bisa dikatakan petani di segmen ini mayoritas hanya sebagai petani buruh. Hanya segelintir petani yang memiliki lahan luas yang menghasilkan. Sektor ini lebih dikuasai pengusaha besar berkantong tebal.
Masalah Sistem dan Aturan
Program petani milenial tidak hanya menarik tapi juga penting bagi kelangsungan ketahanan pangan nasional. Lagi-lagi permasalahannya di sini banyak orang pintar yang menguasai konsep tapi lemah saat eksekusi baik di tingkat pelaksanaan maupun pengawasan.Â
Belum lagi adanya "gangguan" dari pihak atau oknum yang sudah merasa nyaman dan diuntungkan dengan kondisi yang ada sehingga setiap ada program baru selalu saja ada pihak yang berupaya menjenggal.
Kita tidak bisa tutup mata, masalah pertanian nasional tidak beranjak karena ada mata rantai "mafia" yang lebih memilih impor daripada swasembada sebab mereka mendapat untung lebih cepat dan lebih banyak daripada harus memberdayakan ribuan petani yang sudah pasti ribet dan sulit mengatur banyak orang.
Pemikiran lebih mudah impor untuk komoditas yang sebenarnya bisa dikembangkan di tanah air adalah sebuah kejahatan terselubung karena lebih memikirkan kelompoknya sendiri dan mematikan sejumlah besar petani yang harusnya mendapat perhatian juga dari negara.
Menambah jumlah petani adalah suatu keharusan. Petani muda alias kaum milenial menjadi harapan. Sebab seperti gambaran di atas yang dihadapi petani bukan hanya hama, jenis tanaman, penjualan dan lain-lain tapi juga sistem yang harus dibenahi secara komprehensif.
Sistem dan aturan yang adil dan tansparan membawa kenyamanan dan keamanan berusaha. Sebab sejatinya petani milenial tidak hanya akan menjadi petani tapi juga seorang entrepreneur alias pengusaha.
Digitalisasi adalah salah satu alat untuk membenahinya. Dengan digital semua data dan informasi akan terorganisasi dan teridentifikasi dengan baik sehingga akan terkoneksi dengan berbagai pihak jika ada permasalahan, gangguan, atau yang lainnya karena adanya sistem yang adil dan transparan.Â
Dengan petani berbasis digital diharapkan semua informasi harga, pasokan, permintaan, kolaborasi, antar petani di seluruh tanah air dapat terkoneksi dengan mudah.
Meski program petani milenial yang baru terdengar di media adalah program dari pemerintahan provinsi Jawa Barat semoga ini pun menjadi program pemerintah pusat. Tentu program yang dijalankan dan diimplementasikan dengan benar.
Untuk para petani milenial tantangannya bukan hanya mau bermain dengan tanah atau pupuk tapi juga harus kuat mental. Karena secara teknologi pertanian ke depan menjadi petani tidak harus mencangkul sendiri. Banyak temuan-temuan teknologi yang akan memudahkan menjadi petani.Â
Akan tetapi petani yang punya mental kuat, etos kerja, mau belajar, tidak keras kepala, mau bekerja sama, tidak alergi dengan kolaborasi, melek teknologi, berjiwa entrepreneur, tidak mudah menyerah, fight menghadapi gangguan dan ikut berpartisipasi membangun sistem yang adil, transparan, dan bermanfaat bagi bangsa dan negara.Â
Jika petani milenial kita tak kuat mental, siap-siap mental terlempar kembali menjadi petani konvensional atau buruh korporasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H