Masalah Usia Produktif
Petani di Indonesia didominasi oleh usia 45 tahun ke atas yang jika dijumlahkan bisa mencapai 18 juta termasuk dengan petani usia di atas 65 tahun berjumlah 4 juta jiwa. Usia 65 ke atas seharusnya bukan lagi untuk bekerja secara produktif tapi lebih ke mengisi masa tua dengan hal yang positif karena sebenarnya sudah masuk ke dalam usia pensiun.
Petani usia milenial jika kita ambil dari angka  25-44 tahun "hanya" sekitar 9.2 juta petani. Padahal di rentang usia ini yang disepakati sebagai usia produktif. Petani berusia produktif kalah jumlahnya dari petani berusia senior hingga 50%.
Komposisinya jadi tidak imbang. Saat para petani usia lanjut benar-benar pensiun tentu jumlah petani kita akan menurun sedangkan yang mau menjadi petani semakin sedikit. Ini berarti krisis petani sebentar lagi akan terjadi.
Masalah Lahan Garapan
Mayoritas petani kita adalah petani gurem yang hanya memiliki lahan kurang dari satu hektar. Sebagian lagi malah tak punya lahan alias hanya menjadi petani penggarap.
Dari sini saja dapat dibayangkan tingkat kesejahteraan petani jenis ini. Ditambah kesadaran dan pengetahuan tentang varietas jenis tanaman pun masih sangat terbatas.
Sebagai contoh di suatu daerah puluhan tahun turun temurun menanam padi padahal bisa jadi daerah tersebut lebih cocok dan lebih menghasilkan jika ditanami palawija, tanaman bumbu, atau buah-buahan.Â
Seperti diketahui sering kali menanam padi bukannya untung tapi malah buntung saat harga gabah anjlok sedangkan harga pupuk dan biaya operasional malah meroket. Begitu juga petani sayuran yang harus membiarkan panennya membusuk di kebun karena harga yang anjlok.
Belum lagi permasalahan di petani komoditi perkebunan seperti teh, kopi, kelapa sawit, karet, dan sejenisnya. Hampir bisa dikatakan petani di segmen ini mayoritas hanya sebagai petani buruh. Hanya segelintir petani yang memiliki lahan luas yang menghasilkan. Sektor ini lebih dikuasai pengusaha besar berkantong tebal.