Saya sempat terkejut saat menuju masjid hendak Jumatan lalu dan di jalan bertemu segerombolan anak kecil, sekitar 6 orang, usia antara 7-10 tahun sedang bernyanyi, "Mugunghwa Kkoci pieot seumnida"
Iya, lagu itu terdapat di serial Netflix berjudul Squid Game produksi Korea Selatan. Dinyanyikan oleh sebuah boneka besar berwujud anak perempuan.
Lagu tersebut diartikan sebagai permainan "lampu merah lampu hijau". Saya tidak tahu bagaimana permainan aslinya tapi di serial tersebut digambarkan jika boneka itu bernyanyi maka para pemain boleh bergerak tapi saat nyanyian berhenti pemain tidak boleh ada yang bergerak.
Jika ada pemain yang bergerak saat nyanyian sudah berhenti maka dari mata boneka itu akan mengeluarkan senjata laser yang langsung menembak mati pemain tersebut. Sadis.Â
Permainan anak tradisional Korea memang menjadi ide dasar dalam membuat serial ini. Tiap babak menggunakan permainan tradisional Korea yang berbeda, tentu ending permainannya adalah matinya peserta yang kalah.Â
Serial ini sukses besar dan menjadi nomor satu di 90 negara saluran Netflix dan mencatat rekor baru sebagai serial Netflix paling banyak ditonton.Â
Squid Game menjadi fenomena tersendiri saat seragam pemain semacam setelan olahragawan yang menggunakan 3 digit angka dijual di mana-mana. Selain itu permen dalgona, seragam petugas berwarna merah, dan tentu saja lagu "lampu merah lampu hijau" menjadi ikon  kepopuleran serial ini.
Sudah jelas serial ini berisi tidak hanya kekerasan tapi sudah menjurus sadis dan brutal. Netflix sudah membandrolnya dengan label 18+ dan tentu bukan untuk anak-anak. Kemudian timbul pertanyaan kenapa bisa populer di kalangan bocil alias anak-anak?Â
Lalu apakah mereka menonton serialnya? Berapa jumlah pelanggan Netflix di Indonesia? Apakah batasan usia menonton tayangan dipatuhi oleh pelanggan di sini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu menggelitik tapi juga bukan perkara mudah bila ingin mengetahuinya secara akurat. Perlu ada penelitian ilmiah dengan sample data dan metode yang tidak murah.