Mohon tunggu...
Saepiudin Syarif
Saepiudin Syarif Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ajaran Bajik yang Bijak pada Anak dengan Mencontoh Nabi Muhammad SAW

22 Oktober 2021   07:02 Diperbarui: 28 Oktober 2021   11:49 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenalkan pada anak Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang bukan Tuhan yang suka memghukum | Ilustrasi foto: theasianparent.com

Kita sering mengajarkan anak-anak kita untuk berbuat baik. Berbuat baik adalah salah satu kebajikan yang akan dihitung pahala oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Begitu ajaran yang kita dapat saat kecil dulu dan itu yang kemudian kita ajarkan pada anak-anak kita. Kemungkinan itu juga yang akan diajarkan anak-anak kita pada keturunannya kelak.

Berbuatlah kebajikan untuk orang lain agar kita mendapat pahala. Seolah pahala adalah tujuan akhir dari kita berbuat baik. Memang dalam setiap agama atau keyakinan mengenal hal tersebut.

Bahwa setiap yang kita lakukan di dunia akan ada ganjarannya baik ataupun buruk. Perbuatan baik akan mendapatkan pahala dan perbuatan buruk akan diganjar dosa.

Tentu saja hal tersebut tidak salah tapi  apakah ajaran Tuhan hanya urusan reward and punishman saja?

Agama mengajarkan kebaikan dengan memberikan contoh kejadian yang baik dan yang buruk di masa lalu melalui cerita dan pengalaman nabi-nabi yang diutus-Nya.
Tetapi apakah hal tersebut selalu hitam putih, mengajarkan pahala dan dosa saja?

Alasan anak masih kecil yang penting kenal agama dulu. Yang paling tepat mengajarkan agama pada anak kecil ya tentang pahala dan dosa agar dewasanya takut berbuat dosa.

Apakah memang seperti itu? Apakah harus seperti itu?

Saya bukan ahli agama juga bukan ahli pendidikan tapi mengenalkan Tuhan sebagai "penghukum" rasa-rasanya ada yang mengganjal di hati.

Bukankah Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebagaimana kalimat pembuka dari surat-surat yang kita baca dalam ritual ibadah kita?

Bukankah kita, manusia dan makhluk lainnya adalah produk dari cintanya Tuhan yang Maha Esa?

Bukankah tidak ada sesuatu yang diciptakan Tuhan dengan maksud untuk mencelakai kita sebagai hamba?

Di zaman yang serba canggih sekarang ini, belajar agama dan Tuhan menjadi susah-susah gampang.

Dibilang gampang karena semua informasi (ceramah, kajian, khotbah) bisa didapat dan dipelajari melalui internet. Dibilang susah karena menemukan narasumber yang benar dan sesuai itu pun tidak mudah.

Banyaknya narasumber yang tidak bertanggung jawab, oknum dengan motif ekonomi atau popularitas, tidak ada standard kualifikasi dari profesi yang disebut ustadz atau guru.

Belum lagi distraksi untuk fokus belajar dan mengikuti kajian. Gangguan dari internet berupa media sosial atau media hiburan adalah musuh bersama. Musuh anak-anak sekolah, musuh para pekerja kantor, musuh para orang tua.

Hilangnya fokus yang akhirnya menggerus motivasi kita untuk mempelajari agama. Dengan beragama lebih baik diharapkan mengerti kehidupan lebih baik. Mengerti kehidupan lebih baik diharapkan kita menjalani hidup dengan lebih baik.

Sifat-sifat pemarah, arogan, pembenci, mau menang sendiri, serakah, mengambil hak orang lain, pembohong, manipulasi, dan lainnya dapat kita hindari.

Kita tunjukan akhlak yang baik pada anak-anak kita, adik-adik kita, sebagaimana dicontohkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliaulah teladan manusia yang paling utama yang seharusnya menjadi idola.

Bila dilihat dari sejarahnya sungguh malang bagi Muhammad kecil yang tidak mengenal ayahnya karena meninggal saat beliau masih dalam kandungan. Ibunya pun meninggal saat beliau masih kecil.

Hidup yatim piatu sejak kecil lalu menjalani kerasnya kehidupan sebagai penggembala kambing tak membuat Muhammad kecil menjadi anak pemberontak. Justru semua itu menjadikan beliau makin bijak melihat hidup.

Tak ada keinginan untuk melukai orang lain. Tak ada keinginan untuk membohongi orang lain. Selalu jujur hingga mendapat gelar "Al Amin", orang yang dapat dipercaya.

Kelembutan, kasih sayang, gigih, bekerja keras, kejujuran, cinta sesama, adalah yang membentuk pribadi beliau dan menjadi jati diri beliau yang terus disandangnya setiap saat dan sepanjang hayat.

Sumber dari kezaliman adalah karena semena-mena tidak menjaga lidah dan tangan yang dapat menyakiti orang lain. Berkata sesuka hati tanpa dipikir terlebih dulu. Memukul dan merampas hak orang lain. Tak ada cinta dan kasih sayang.

Bahkan saat situasi yang mengharuskan beliau untuk berperang. Aturan dalam berperang menurut ajarannya pun sangat mengedepankan kasih sayang dan kejujuran. Perang sebagai pilihan terakhir dan bertujuan demi kebaikan.

Perempuan, anak-anak, dan tumbuhan di sekitar harus dilindungi. Jangan melakukan kecurangan, berperang secara fair. Kedamaian lebih diutamakan.

Anak-anak kita harus lebih banyak terpapar dan melihat cinta dan kasih sayang dibanding kekerasan dan mau menang sendiri.

Anak-anak kita harus berani bersuara dengan bahasa cinta, belajar dengan cinta, berteman dengan cinta, bersosialisasi, dan kelak berkarya dengan cinta.

Kemajuan zaman akan terus berjalan akan tetapi nilai-nilai kebaikan, keluhuran budi pekerti, cinta dan kasih sayang jangan sampai luntur tergerus modernitas zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun